Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.
Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat. "Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati. Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata. "Mas! Mbak! Tolong!" teriak Via. Via membuka sabuk celana Reza, kemudian dengan perlahan melepaskan diri dari tubuh laki-laki itu. "Masih kuat 'kan?" "Saya bisa sendiri." Namun, tentu saja Via tidak yakin dengan jawaban Reza terlebih melihat kondisinya yang memang mengkhawatirkan. Walau darah tak lagi keluar, tetap saja lukanya harus diobati. Via membantu Reza berjalan sembari terus memanggil orang, meminta pertolongan. Seseorang datang dan langsung membantu Reza juga, mereka pun menidurkan Reza ke tempat tidur klinik. "Ini kenapa?" "Saya ketemu dia lagi di jalan dengan kondisi kayak gini. Mungkin dia korban tabrak lari atau—" "Saya tidak apa-apa!" ucap Reza berbohong. Dia sendiri sedang bingung harus memberi alasan macam apa. Tak mungkin menceritakan kebenarannya, yang ada nanti akan menjadi rumor dan nama baik Raysa semakin buruk. Reza tak ingin hal itu terjadi. Perawat di sana langsung menengahi, karena sepertinya Reza memang enggan buka mulut perihal apa yang menimpanya. Jadi perawat langsung membantunya mengobati semua luka di tubuh laki-laki itu. "Itu kayak kecelakaan mobil, kena ...." Via malah menduga-duga sembari melihat luka di tubuh Reza yang sedikit tidak dia mengerti kronologinya. Via merasa kalau Reza mengalami kecelakaan mobil, tetapi di tempat kejadian dan sepanjang jalan sana dia tidak menemukan kendaraan yang mengalami kecelakaan. "Mbak, sebaiknya Anda urus administrasi-nya dulu sana. Biar ini urusan saya dan untuk masalahnya nanti biarkan saja dulu!" ucap perawat yang membuat senyuman di wajah Via seketika luntur. Via melirik Reza yang tengah menahan kesakitan, terlebih saat beberapa pecahan kaca disambut dari tubuhnya. Dia merasa kasihan, tetapi dia lebih kasihan lagi melihat dompetnya yang isinya tak seberapa itu, bahkan mungkin tak akan mampu membayar biaya pengobatan Reza. Via membuka dompetnya, dia memasang wajah sedih. Reza bisa melihatnya, dia tidak sengaja melihat Via yang tampak frustasi dengan isi dompetnya sendiri. "Aish, kalau gak dibantu kasian banget kayaknya dia gak punya keluarga. Tapi kalau dibantu, besok aku makan apa?" Via mengeluh, mengumpat, dan bahkan memaki dirinya sendiri karena malah menempatkan dirinya di kondisi serba salah seperti ini. "Udah tahu miskin, masih aja so so-an bantuin orang lain. Pusing sendiri 'kan?" ucapnya lagi sembari memukul kepalanya sendiri. Reza bisa melihat tunggak Via dengan jelas, dia tersenyum kecil karena baginya itu lucu. Namun, dia kembali mengulum senyuman saat menyadari kalau dia kehilangan dompetnya. Dari ekor matanya, Reza melihat kalau Via membayar semuanya. Tubuh Reza sudah dibersihkan dari luka, bahkan semua lukanya sudah diobati dengan baik. Dia kini masih terbaring di tempat tidur, sementara perawat kini tengah berbincang dengan Via. "Ini baju untuk pacarmu!” “Pacar.” Via mengernyitkan keningnya sembari memanyunkan bibirnya yang mungil. Perawat memberikan satu setel pakaian pada Via, yang mana itu untuk dikenakan Reza. Keduanya kini saling melirik, tentu saja mereka canggung dengan keadaan saat ini. Namun, menolak pun percuma karena hanya ada di sana dan perawat itu sudah tak di tempat. "Ini perawat yang minta loh, ya! Lihat tuh bajumu sudah basah, kotor lagi.” "Aku gak ada niatan pegang badan kamu loh, Mas!" ucapnya lagi yang terus membuat Reza tersenyum tipis. Via terdiam sesaat sembari berfikir bagaimana caranya mengenakan baju pasien ini. gadis dengan rambut panjangnya yang diikat seperti ekor kuda itu pun menghela napas kasar, hingga akhirnya dia membantu Reza untuk duduk di tepi ranjang. Via mengangkat satu tangan Reza, ya karena satu tangan lagi terpasang infus yang mana di bagian itulah bantuan Via dibutuhkan. "Merepotkan, padahal tinggal gak usah pake baju aja, kan, simple. Kenapa di bikin susah!” gerutunya. "Kamu mau lihat saya tanpa busana?" "Ehh, mulutnya." Via langsung memicingkan matanya. Via mencubit pakaian Reza, dengan perlahan membukanya. Sikapnya yang malu malah terkesan jijik pada Reza yang saat ini masih basah kuyup. Sebenarnya Via pun begitu, hanya saja dia tidak terluka jadinya tidak diprioritaskan. "Kalau bisa sendiri, aku gak bakalan biarin kamu sentuh aku." "Dih, emang aku mau gitu sentuh kamu. Aneh banget, udah ditolong gak tau terima kasih," ucap Via menggerutu. Namun, ucapan Reza berhasil membuat Via dengan cepat membuka pakaiannya. Terlihat jelas semua luka-luka itu, membuat Via yakin kalau Reza baru saja mengalami kecelakaan mobil. Keduanya saling menatap, tepatnya Via menatap Reza dengan memelas membuat laki-laki itu hanya menaikkan sebelah alisnya. Via menatap celana Reza, ya tentu saja dia merasa bingung sekarang. "Aku panggil perawat dulu lah, takut banget burungnya keliatan." "Burung apaan?" Bukannya menjawab, mata Via malah kembali melirik ke bagian celana Reza. Dia kembali mencubit ujung celana Reza dengan ragu. "Matanya kenapa?" "Sssttttt diem, takut dipatok burung!" ucapnya dengan posisi masih sama, mata ditutup sebelah dan tangan yang seolah tengah mencubit. Via menghela napas, kemudian menggeleng lagi. Tidak bisa. Posisi ini hanya akan terlihat aneh kalau ada orang lain yang melihatnya. Via berdiri kembali dari jongkoknya, dia benar-benar kesulitan untuk di bagian ini, sementara Reza hanya menatap tanpa ekspresi. "Ambil selimut itu!" ucap Reza sembari menunjuk sebuah kain tipis di atas tempat tidur. Via mengangguk. Reza membuka kancing dan resleting celananya, membuat Via langsung membulatkan matanya dan protes, "Wah, dasar mesum. Mau ngapain hah, sengaja mau pamer burung?" "Burung apaan sih, burang burung dari tadi." "Cepat ikat di pinggang saya, terus tarik dari bawah!" ucap Reza. Via malah menatap dengan tajam, seolah mengintimidasi Reza agar tak berbuat yang aneh-aneh. Sementara Reza hanya menggaruk keningnya karena sikap Via hanya memperlambat semuanya. Via melilitkan selimut tipis di pinggang, dan Reza pun berdiri yang membuat Via memanyunkan lagi bibirnya, kemudian tangannya mencubit celana Reza dan menurunkannya hingga betis. Di sanalah Reza bisa membuka celananya sendiri tanpa bantuan Via lagi. "Ini lebih melelahkan dari lari maraton." "Pake acara ketemu kamu lagi, kayaknya kita sering banget ketemu. Takdir macam apa ini, merepotkan!" gerutunya lagi. "Cepat!" ucap Reza lagi dan Via malah menggerakkan alisnya karena tak mengerti. Mata Reza mengarah pada celana di ranjang di mana dia belum mengenakannya dan tak bisa mengenakannya sendirian. "Kamu mau saya pakai selimut aja?" "Mulai mesum lagi, udah dibantu masih aja gak tau diri!" Via langsung membantu Reza mengenakan celananya sampai ke paha, kemudian Reza mencoba menariknya sendiri. "Gelang aku mana?" tanya Via sambil menengadahkan tangan kanannya setelah membantu Reza. Reza hanya diam, menatap telapak tangan itu yang meminta padanya. "Mas ojek, aku itu gak bakalan kerja di sana lagi. Jadi kemungkinan buat ketemu itu tipis banget," ceritanya. "Kenapa?" "Dipecat. Ah, pokoknya mana gelang aku, sini!" ucap Via lagi sembari terus mengulurkan tangan dan meminta barangnya kembali. Sementara Reza hanya tersenyum hambar, membuat Via memicingkan matanya. "Mana gelang aku?" tanyanya lagi. “Kamu tahu aku kecelakaan mana mungkin aku bawa gelang kamu. Aku pasti akan mengembalikannya padamu!” bisik Reza ditelinga kiri Via yang membuat gadis itu menelan air liurnya sendiri. “Ba-baiklah. Nama kamu siapa, kita belum kenalan sepertinya.” “El, panggil saja aku El!”Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah
Keesokan harinya Raysa langsung dibawa pulang tanpa sepengetahuan suaminya. Reza datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya lagi, tetapi ternyata sang istri sudah tidak ada di ruangannya. Setelah kemarin mereka berdebat yang berujung Reza diusir, Raysa kini memutuskan untuk pulang dan tak ingin menemui Reza. Raysa semakin membenci Reza setelah semalam berita tentang mereka muncul diberita. "Gimana? Ayolah Sa, Mama udah gak bisa tahan lagi sama semua kelakuan bodohnya dia. Apa yang kamu harapkan dari dia, dia cuma numpang hidup di sini, dia cuma laki-laki miskin yang pengen hidup enak tanpa harus bekerja. Dia menjadikanmu alat untuk dia bertahan hidup!" ucap Mama Marsya yang mana Raysa hanya diam saja.Tak ada tanggapan pasti, Raysa seolah mengabaikan ocehan ibunya. Namun, dia melemparkan ponselnya yang mana membuat Mama Marsya langsung menangkap benda pipih itu. Dia membulatkan mata, yang kemudian diikuti senyuman merekah di wajahnya. "Ini baru anak Mama. Kapan kamu mengajukan gu
Ini lebih sakit dari sekadar sebuah tamparan. Semua kalimat Raysa terasa menyayat hatinya. Sakit dan sesak. Reza mengangguk kecil dengan mata yang masih menatap Raysa, berharap masih ada setitik harapan pada hubungan mereka ini."Kasih aku waktu buat berkemas, aku akan pergi dari sini.""Baguslah, cepat pergi sana!" usirnya lagi yang mana Raysa kini pergi dari kamarnya.Reza masih duduk di tempat tidur, menatap setiap bagian ruangan itu. Tiba-tiba dia teringat dengan gelang Via yang dia tinggalkan beberapa hari lalu. Reza langsung mencarinya, menggeledah setiap bagian kamar. Namun, ternyata benda itu tidak dia temukan di mana pun juga.Reza belum mengemasi barangnya, dia berniat untuk mendapatkan gelang itu lebih dulu sebelum dia pergi. Dia keluar dari kamar, berniat menanyakannya langsung pada Raysa.Namun, kakinya berhenti melangkah saat melihat ada seorang laki-laki tengah duduk bersama Raysa. Dia terlihat rapi dengan jasnya, di atas meja terdapat banyak berkas yang Reza tidak tahu
Seharian Reza dikurung di sana, sebelum akhirnya ditempatkan ke bangunan di belakang. "Kamu dan yang lainnya untuk sementara waktu tinggal di sini dulu. Kamu bisa ikut aktivitas yang sudah dijadwalkan dan ya bantu-bantu aja di sini.""Ini rumah dinas sosial, tempat di mana orang-orang seperti kalian tinggal. Daripada tinggal di jalanan, mengganggu orang, lebih baik di sini. Kalian akan aman, terjamin juga, asalkan nurut aja sama semua petugas," jelasnya lagi yang mana Reza hanya bisa pasrah.Dia tersenyum hambar, menatap ruangan itu yang terdiri dari beberapa tempat tidur. Bukan merasa hina, Reza hanya merasa terluka dengan sikap Raysa yang dengan tega membuangnya. Kalau dia tidak dibuang, tidak mungkin istrinya itu menolak mengenalinya.Raysa secara terang-terangan menyebut kalau mereka tidak saling mengenal. Membuat dada Reza terasa sesak, tenggorokannya seperti dicekik, benar-benar sakit. Reza mengusap wajahnya, yang ternyata bulir bening melintas di pipi."Terimakasih Pak, sudah m
Senyum penuh kemenangan tampak jelas di wajah pria yang menutup wajahnya dengan masker, dia memberi isyarat pada semua preman suruhannya untuk membawa Reza pergi dari sana. Dia tak mau kalau ada saksi mata yang akan membuat namanya tercoreng di media masa.Reza diseret menuju mobil yang sudah disiapkan tak jauh dari sana, mereka tak sadar kalau tubuh Reza meninggalkan jejak di pasir pantai itu. Reza diangkat dan dilempar dengan kasar. Mobil hitam itu melaju meninggalkan area pantai dan berhenti di sebuah bangunan tua.Kepala Reza terasa pening, kesadarannya sudah kembali walau matanya masih belum bisa menatap sekitar dengan baik. Reza hanya menemukan ada beberapa orang laki-laki bertubuh tinggi besar mengelilinginya. Mereka menggunakan masker hitam dan topi, membuat Reza tak bisa mengenali mereka satu per satu.Reza kembali diseret ke kursi, dia didudukkan dengan paksa."Tanda tangani surat cerai ini atau kamu akan dihabisi!" ucap salah satunya.Saat mendengar ucapan itu, Reza baru sa
Semua nelayan berpencar mencari Reza, setelah beberapa menit pencarian, salah satunya melihat jejak mobil yang membuat mereka langsung mengarah ke beberapa tempat terdekat di sana. "Pak, kita cari ke arah sana. Siapa tahu ada bangunan kosong atau apa yang bisa dijadikan tempat kejahatan. Kita cek satu per satu, sekalian tanya sama orang sekitar siapa tahu melihat mobil mencurigakan!"Baru saja mereka akan pergi, tiba-tiba mereka melihat mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu keluar dari arah hutan, membuat para nelayan segera berlari."Kita cek di rumah kosong itu!"Semua berlarian dan begitu masuk, mereka menemukan Reza berlumuran darah."Pak Darma, ada Nak Reza di sini!""Cepat bawa mobil, kita bawa dia ke rumah sakit!" teriak Pak Darma.Reza pun langsung digotong ke luar dan dinaikan ke dalam pick up. Pak Darma dan beberapa nelayan membawanya ke rumah sakit. Kondisi Reza tidak cukup parah, tusukan itu tak sampai mengenai organ tubuhnya. Jadi, dia bisa langsung p
Pusat perbelanjaan memiliki atap yang dihuni oleh para elit global yang memiliki kartu akses VIP. Di mana tempat itu juga terhubung ke sebuah hunian apartemen bintang 5."Di atas sana ada apa, ya?" tanya Reza.Saat dia naik ke lantai atas, seketika mata Reza beradu dengan sepasang mata yang cukup dikenalinya. Sosok misterius yang pernah memintanya untuk ikut pergi, orang yang mengklaim kalau dirinya adalah sang pewaris.Sosok itu melirik Reza, tetapi kemudian matanya kembali teralihkan pada seorang perempuan yang berjalan di depannya. Reza memicingkan mata, takut kalau orang itu berbuat kejahatan. Namun, terlihat kalau dia seperti tengah mengawalnya."Siapa perempuan yang dikawalnya?" tanya Reza.Reza yang penasaran terus melangkah dengan mata yang tak lepas dari targetnya. Sampai akhirnya di sampai di depan toko pemesan. "Mas, bisa tolong ini atur dulu. Saya ada keperluan sebentar!""Oh boleh, kamu mau ke mana?""Za, ini tempat baru bagi kamu. Jangan jauh-jauh ya, nanti saya susah ca