Tekadku untuk pindah rumah semakin bulat setelah kedatangan Kak Lusi yang tampak angin, tanpa hujan, mencecarku tanpa henti.Hari ini Kak Lusi. Besok, lusa entah siapa lagi yang akan datang. Jika uang dari Mas Alfi tidak mengalir lagi untuk mereka, pasti akulah yang akan menjadi sasarannya. Sesuai janjiku dengan Lucas, aku menemuinya di jam makan siang di sebuah restoran.Selera Lucas ternyata tinggi juga. Terlihat dari restoran yang aku masuki saat ini.Lucas melambaikan tangannya ke arahku, memintaku untuk menghampirinya. Aku mengukir senyuman tipis di bibir, lalu berjalan menghampiri Lucas.Melihat aku yang semakin dekat dengan meja tempat ia duduk, Lucas bangkit berdiri, lalu menggeserkan kursi untukku. Pria yang manis.“Terima kasih,” hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir indahku. Aku merasa sedikit canggung pada pemuda yang usianya lebih muda dariku itu.“Sama-sama,” jawabnya dengan senyuman tampan menghiasi wajahnya.“Sudah sepantasnya seorang laki-laki memperlakukan
Dukungan Melihat reaksi kedua Putraku, Mirna tersenyum bahagia.“Jadi selama ini kalian tidak tahu jika Mama kalian ini sudah memenjarakan Papa kalian?” Tanya Mirna.“Cukup Mirna,” bentakku. Hilang sudah kesabranku yang tidak tebal ini.“Lebih baik sekarang kamu pergi dan jangan mengganggu anak-anakku,” aku memperingati.“Kenapa?” Tantang Mirna. Ia menyeringai lebar.“Apa kamu takut anak-anak kamu tahu jika Mamanya tidak sebaik yang mereka sangka? Kamu takut kan mereka tahu kalau kamu sudah memenjarakan kakakku?” Sinis Mirna.“Baguslah kalau Papa di penjara. Setidaknya sudah berkurang satu orang yang menyakiti Mama,” ucap Aldo santai.Aku tercengang mendengar penuturan Aldo. Ternyata sesakit itu hatinya untuk Mas Alfi. Selama ini aku mengira mereka akan histeri jika tahu aku yang sudah memenjarakan Papa mereka.“kata bu guru orang yang berbuat kejahatan itu memang akan dipenjara,” imbuh Aris. Ternyata kedua Putraku begitu mendukungku.“Hailah keponakan-keponakan tante!” seru Mirna.
Alfi POVAku tidak menyangka seorang putri yang lemah lembut dan penyayang mampu melakukan semua ini kepadaku.Kini aku sadar ternyata diamnya selama ini adalah untuk mengumpulkan semua bukti kecurangan yang aku lakukan kepadanya. Ia mengumpulkan bukti sampai sedetail itu, sehingga aku tidak bisa menyanggah semua tuduhannya.Semua pembelaan ku bisa disangkal olehnya. Ternyata benar apa kata orang, air tenang bukan berarti tidak mengalir.Air yang tenang jauh lebih berbahaya daripada air yang mengalir deras.Menyesal, tidak ada guna lagi untuk Aku menyesali semua yang telah terjadi. Meskipun aku menangis darah, aku yakin keputusan Putri tidak akan goyah.Ribuan tangan tak kasat mata meremas jantung ini. Hati ini perih, sakit bak ditusuk sembilu. Pembalasan Putri kepadaku begitu menyakitkan. Mungkin hingga diri ini mati, aku tidak akan bisa melupakan semua pembalasan yang putri lakukan kepadaku. Goresan luka yang diperasi air jeruk tidak sebanding dengan sakit yang kurasakan terhadap p
Hari-hariku berlalu dengan begitu berat di dalam tahanan ini. Setelah Aku merenungkan semua kilasan yang telah terlewati, dari lubuk hati terdalam dan membuang semua ego yang terpendam, aku menyadari semua ini memang salahku. Jika aku menjadi Putri, pun mungkin aku akan melakukan hal yang lebih sadis dari padanya. Selama ini wanita itu cukup sabar menghadapiku. Aku yang tidak sadar diri dengan tidak tahu malunya selalu menyakitinya dan memutar balikkan fakta seolah dialah yang bersalah. Aku sadar tidak ada wanita sesabar Putri. Kini Aku menyesali semua yang telah terjadi. Aku menyesali telah membuang berlian demi sebuah batu kerikil di kali. Aku yakin aku tidak akan pernah bisa lagi mendapatkan wanita sebaik Putri. Tanpa terasa air mataku menetes dengan tidak tahu dirinya. Iya, aku menangis karena menyesali semua dosa yang telah kulakukan kepada mantan istriku tercinta. Selama ini aku sudah mendhaliminya. Waktu yang tidak pernah memandang bulu, Ia terus saja berlalu apapun Yang ter
Terpaksa Karena aku yang tak bisa mengekspresikan perasaan kesalku saat ini memilih menatap bayi mungil yang tiba-tiba saja menangis. Seolah tersadar dengan semua kerinduan yang menemaniku dan menyamai langkahku hingga sampai ke tempat ini, aku mengalihkan atensi ke arah putri kecilku dan mengabaikan Mutia. “Anak Papa,” ucapku sambil melangkah mendekati putri kecilku yang belum aku ketahui namanya. Ketika tangan ini hendak mencapai tubuh mungil yang begitu aku rindukan itu, Mutia berseru lantang. “Jangan sentuh dia, kamu baru saja dari luar. Bersihkan dirimu terlebih dahulu, aku akan menyiapkan pakaian ganti untukmu,” ujar Mutia. Tanganku menggantung di udara, aku menarik kembali tanganku yang sudah hampir mencapai putri kecilku. Mungkin memang tubuh ini membutuhkan air dingin untuk memadamkan bara emosi yang sedang membara. Aku melewati Mutia dan juga laki-laki yang konon katanya kerabat jauhnya itu begitu saja. Usai berbenah diri, aku tidak lagi melihat keberadaan laki-laki t
Pengrusuh“Sorry, Put,” ucapku.“Enggak apa-apa,” jawabnya singkat. Kini pandangannya tertuju ke penjaga toko.“Aku mau pancake yang itu satu,” ucap Putri sambil menujuk ke kue yang dia inginkan.“Saya juga mau yang itu,” tambahku.Sepertinya selera Putri sudah berubah setelah berpisah denganku. Apa mungkin itu untuk bosnya?Sang pelayan pun mengambil pesanan kami.“Kamu sehat, Put? Aku bertanya dengan nada selembut mungkin.“Seperti yang Anda lihat.”“Kamu sendirian ke sini?” Tanyaku lagi “Seperti yang Anda lihat,” jawab Putri lagi.Aku tak ingin menyerah dan kembali melontarkan pertanyaan, “Anak-anak mana?” “Lagi di tempat les,” jawabnya singkat. Putri memang benar-benar sudah berubah. Dia membangun tembok pembatas begitu tinggi di antara kami. Dia bersikap seolah kami tidak saling mengenal. Putri hanya menjawab pertanyaanku tanpa berniat bertanya balik kepadaku.“Makasih Mbak,” jawab Putri ketika menerima pesanan nya. Ia langsung bertolak meninggalkanku. Kentara jelas jika P
MengunjungiEntah aku harus bersedih atau merasa bahagia terhadap sikap Mutia yang marah kepadaku hari ini, entah mana yang lebih dominan? Yang jelas aku merasa lega karena beberapa hari ke depan kupingku tidak akan panas oleh ocehan tak bermutu dari wanita yang masih berstatus istriku itu.Malam merangkak semakin larut menjemput pagi dengan indahnya sinar mentari.Berhubung hari ini weekend, dan kemarin aku mendapat pinjaman dari atasanku, sehingga hari ini aku bisa menjalankan aksi untuk kembali menemui Putri dan kedua putraku.Alamat sudah ku kantongi, ojek online pesananku pun sudah berada di depan mata.“tolong antarkan saya ke tempat ini pak,” ucapku.“pakai helmnya dulu, Mas.” Mang ojek menyerahkan sebuah helm kepadaku yang langsung kuterima dan aku pakai sesuai titah darinya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah minimalis berlantai dua dengan chat perpaduan antara coklat dan cream. Desainnya yang begitu kekinian membuat m
TerbongkarHukum tabur tuai itu memang benar adanya. Ingin mengeluh dan menyesali pun sudah tidak berarti lagi. Jujur, aku begitu terluka ketika kehadiranku sama sekali tidak diharapkan oleh kedua putraku. Aku tidak bisa menyalahkan mereka, tidak pula bisa menyalahkan Putri karena memang semua itu berawal dari kesalahanku.Hati ini teriris mengeluarkan darah tak berwarna ketika melihat kedua buah hatiku lebih peduli kepada orang lain ketimbang aku sendiri.Semua ini memang salahku yang sudah terlalu jauh mengabaikan mereka. Kini aku tahu sakitnya tak diharapkan. Apakah selama ini mereka juga berpikir begitu? Entahlah.Dengan kepala tertunduk, aku ayunkan kaki untuk kembali ke kediamanku dengan Mutia.Saat kaki ini memasuki perkarangan rumah, sayup-sayup aku mendengar suara seorang wanita yang sedang beradu argumen. Suara itu begitu familiar di telingaku. Aku semakin melangkah, berjalan berjinjit untuk mengintip apa yang sedang terjadi di rumahku.Mataku melirik sekilas motor yang ter