“Udah, Nyok!”
Aku segera mengambil napas dan merangkul bahunya. Sambil berupaya menepis kekalutan tadi, kuajak segera sahabatku itu untuk pergi dari tempat tersebut.
“Tunggu! Denise mana?” jejaknya berhenti sesaat. Lalu satu telapak tangannya menepis rangkulan tadi. Aku sampai ikutan terentak olehnya.
“Udah pulang, lewat sana.”
“Ta--”
“Udah ayok! Dia naik taksi online,” kibul bibirku.
Jonathan menerima penjelasan halu itu tanpa satu kecurigaan apapun. Bahkan, saat kami sudah berlalu di dalam kendaraan roda empatnya, dia sama sekali tidak membicarakan gadis sensual itu.
“Hmmmm. Nis… Bibir lu… Anjirrr, setan juga itu cewek. Liat a
Keningku langsung mengerut-ngerut dibuatnya.“Apa urusannya Brian menanyakan umurnya kepadaku?” gumamku kemudian.“Berapa memangnya?”“Dua puluh dua! Gila kan? Masih muda banget. Masih legit!”“Masih rapet nggak?” potong Toha tiba-tiba. Aku tidak sadar kalau dia ternyata ikutan menyimak sedari tadi.“Otak lu ngeres!” seketika telapak tanganku menabok pipinya.“Yang itu gua nggak tau dah. Mungkin masih rapet.”Bibirku langsung terkekeh kecil. Lalu kuhisap lagi batang rokok yang sudah tinggal sepertiga.“Pastinya Ma
“HAH?”Kedua mataku langsung menjegil selebar-lebarnya. Tiba-tiba saja aku melihat ada sorotan lampu di jendela lantai duanya.Wajah ini pun sampai segera mendongak dan mendekat ke kilasan sorot lampu senter yang beberapa kali hadir di kekelaman jendela itu.“Ah, gila Brian. Ngapain dia pake ke situ? Bangke nih orang,” keluhku penuh was-was.Satu tangan yang tadinya sigap memegang setir mobil, dengan cepat berpindah ke kening lalu memijat-mijat keteganganku yang muncul di sana. Manik mataku pun segera kembali mengawasi jendela lantai dua itu yang lagi-lagi, memunculkan semburat cahayanya.Bersama kekhawatiran yang kian membludak, pandanganku kemudian melesat ke jalan dan lorong-lorong yang ada di sekel
Brian mematung di tempat duduknya. Bibirnya pun membuka dan bergerak terbata-bata. Lalu, mata nanarnya yang menatapku balik penuh dengan keseriusan, seraya menyampaikan kalau apa yang aku khawatirkan itu benar-benar terjadi.“Kayaknya…”“Jatuh di cafe?” Maksud lu begitu, kan?”“Mung--”NGIIIIIIK!Kakiku lekas-lekas menginjak tuas remnya hingga mobil yang melaju kencang itu berdecit nyaring untuk berhenti.“Lu cari sekarang! Pokoknya gua nggak mau tau! Itu kunci harus ketemu sekarang! Cari di semua sudut. Pastiin! Apa itu kunci nyelip di ujung kantong celana lu, apa ketinggalan di mobil, apa jangan-jangan, sebenarnya elu nggak
Dengan cepat aku langsung mendelik dan menoleh ke arah pintu kamar. Sama halnya dengan Brian yang kerah bajunya tengah kuremas keras.“Kamu mau apakan anak saya? HAH?” sergah wanita paruh baya dengan satu jari yang mengutuk ke mukaku.Aku tidak bergeming.Dalam keterkejutan itu, mataku malah menghajar balik tatapannya yang masih terus menyala di ujung sana.“Kamu dengar tidak? Mau kamu apakan anak saya?” ucapnya sambil melangkah penuh amarah. Dan saat tubuh sintalnya sudah berada di tepi ranjang, kedua tangannya bertolak pinggang dengan lebih berani. Kedua manik hitamnya juga masih membelalak tajam ke mukaku.“LEPAS! Lepas atau saya teriak panggil satpam!”
Baru kali ini aku merasa begitu waswas. Kegelisahanku benar-benar teraduk-aduk. Entah mengapa, secara khusus aku sendiri pun tidak tahu.Namun di saat keresahan itu hadir, tahu-tahu terbesit euforia pencurian di tempo itu. Dia tetiba muncul seraya menjadi jawaban akan kerisauanku. Dan aku yakin, sepertinya memang benar kalau ini karena kejadian itu.Tapi kenapa?Padahal pencurian itu sudah tertinggal jauh di dua hari yang lalu.Memang sih, setelah aku berhasil kabur dan melepas pegal di kamar Brian, berita kejadiannya langsung muncul di pagi hari dan menghebohkan layar televisi.Bagaimana tidak?Sebuah cafe yang belum ada sebulan berdiri sudah berhasil dibobol maling. Dan tak hany
Aku berteriak memanggilnya dengan lantang.“RADIT! DIT! WOY!”Pemuda itu pun menghentikan langkahnya lalu menengok ke arahku. Dari kejauhan, keningnya terlihat mengernyit risi seraya tidak mau menerima kehadiranku, padahal aku sudah berusaha dengan terpaksa mengumbar senyuman kaku ke tempatnya.“Mau kemana?” tanyaku sambil berlari menghampirinya, namun dia malah berbalik ke arah perjalanannya dan kembali meninggalkanku“Hei! Diem aja lu,” kataku sambil mencoba merangkul bahunya, namun dengan cepat dia mengelak dan menepis salam itu.“Apaan sih!” ketus pemuda itu.Radit pun berjalan acuh lagi.
Dalam langkah-langkah yang terasa kalut itu, aku segera meraih dan mengeluarkan gawai.“Halo. Eh Njing, dimana lu?”“Lagi nganter nyokap ke salon. Kenapa?”“Lu tau apa yang barusan gua dapet dari si banci?”“Banci?”“Radit. Pelayan cafe yang waktu itu.”Suaranya menghilang sesaat, namun kemudian hadir lagi.“Ooo… yang main mata sama elu itu kan? Iya, iya, gua inget. Kenapa?”“Dia barusan bilang, kalo kunci lu beneran jatuh di cafe. Dan barusan, dia cerita kalo kunci itu udah dia kasih ke polisi.”
PLAAK!“Aduh!” ucapku sambil mengelus-elus pipi yang tetiba terasa nyeri.“Ini, pakai! Jangan bengong saja!”Biji mataku langsung berlari-lari panik mencari kesadarannya.“HEI!, Buruan pakai!”“I--Iya, Bu.”Aku langsung meraih obat cair itu dan segera membuka tutupnya lalu meneteskannya sendiri.“Dari tadi dipanggil-panggil, malah bengong. Kamu mikirin apa, Man? Mikirin pacar kamu?” tanya Bu Sandra sambil membelakangiku. Begitu dia berhasil menyerahkan obatnya, dia langsung menyibukkan dirinya lagi dengan isi kotak berpalang merah itu.