“Anjriit!”
Biji mataku hampir melompat!
Aku sampai-sampai terkejut dan tersentak dalam jejak diamku barusan.
Cepat-cepat aku berputar ke belakang untuk memastikan siapa sumber kalimat yang mengagetkan tadi.
“Eh?”
Netraku langsung menangkap kalau pria subur yang ada di depanku kini, dengan pakaian jas formal berwarna abu-abu layaknya para menteri, sedang berdiri dengan kedua tangan yang disisipkan ke dalam saku celananya yang masih licin dan rapi. Manik hitamnya pun mengamatiku dengan wajahnya yang terus bertanya-tanya.
“Siapa yang ngimpi?”
“Eh… anu om.”
“Kamu ngimpi?”
Pipiku seperti ditepuk pelan olehnya barusan. “apa om Marcel punya narasumber tentang kelanjutan studiku? Apa Brian sudah menceritakan kasus gua yang dikeluarkan lagi dari sekolah? Brengsek itu monyet, kalo beneran dia yang ngasih tau!” kesal batinku. “Ba--baik Om. Semua baik-baik saja,” jawabku kikuk. Om Marcel tidak memberikan respon yang lain, semuanya masih sama seperti saat dia mengajakku naik ke balkonnya. “Baguslah kalau begitu. Sampaikan salamku buat ayahmu ya. Oiya! Om dengar, dia sedang mengalami kesulitan.” “Kesulitan?” bingung batinku tiba-tiba. “Kesulitan apa ya Om? Ayah… Biasa-biasa saja.” “Oh… Ya sudah, jangan ter
"Yoi.""Elu ngerti?"Seketika netraku terlontar ke muka Brian."Dikit. Tapi tenang. Semua bisa diatur.""Gua nggak mau ikut-ikutan kalau yang begituan. Sorry Bro," sambung Agus sambil mengangkat kedua tangannya yang menyerah."O.o.. Gua no comment. Gua nunggu kejelasannya aja. Kalau beresiko, gua ikut Agus," timpal Toha."Memang, barang antik apaan, Yan? Jam? Kalung?--""Arca!""Arca?" Heranku yang juga ditemani Agus dan Toha dengan wajah masing-masing yang ikutan bertanya-tanya."Yup! Arca Ganesha dari jaman Majapahit. Harganya bisa dapet dua M
Aku langsung berlari dan mengabaikan bentakan itu.BRAKK!“IBU! Ibu kenapa?”Sosok yang terbaring dan membelakangiku langsung mengangkat tempurung kepalanya yang merebah di atas bantal.“Hhh…. Man? Kamu, tidak apa-apa?” Wajahnya terlihat amat pucat dengan bibir yang berwarna seperti tanah.Lekas-lekas aku menghampirinya dan duduk di samping ranjangnya.“Tidak apa-apa, Bu. Ibu tenang saja. Semua aman.”“Ayahmu--”“Alah, orang itu lebay. Kan Lukman barusan bilang, Bu. Lukman baik-baik saja. Ibu jangan terlalu khawatir. Lukman sudah
Biji mataku langsung bergerak cepat sesaat untuk mencari rencana yang lainnya.“Gua harus mencari tahu dulu nih, itu genset butuh waktu berapa lama akan menyala otomatis setelah aliran listrik utamanya dipadamkan,” gumamku.Lalu, setelah mengumbar senyuman saat menerima uang kembalianku, pikiran yang lain pun lekas-lekas mengusulkan gambaran umum rencana alternatif lainnya.“Radit! Ke tempatnya dulu, terus, kontak Brian,” bisik benakku lagi.Aku kemudian mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pramusaji itu, sambil mengamat-ngamati lagi setiap sudut cafe itu.Tak berselang lama, setelah berhasil melangkah kira-kira dua puluh meter, aku pun menemukan kalau sisi lain cafe yang menjadi ujung dan bertemu de
Radit dengan spontannya melompat dan memeluk tubuhku. Dekapannya benar-benar kuat, sampai-sampai aku dibuat sesak. “Eh..” Mataku langsung menangkap dua ekor kucing yang dengan liarnya tengah berlari dan menabrak kakinya, juga menabrak satu kaleng tempat sampah hingga isinya berantakan bersama suaranya yang gaduh. “Ma--Maaf, Mas,” kikuknya sambil melerai pelukan kedua lengannya dari tubuhku. Ku tatap terus wajah yang semakin malu dan gugup itu. “Tidak apa-apa kok.” “Elu.. eh… kamu… Aduh, ribet gua. Kita, elu gua aja ya. Nggak biasa gua kaku begitu." "Terserah Masnya."
Sisa malam yang semakin kelam itu segera kuhabiskan di jalanan. Sampai pada akhirnya, satu kumis tebal yang setia menjaga pagar kediamanan rumah sahabat sejatiku, bersedia mempersilahkan aku untuk singgah ke pelataran parkirannya lagi. “Malam sekali, Den.” “Iya, Mang. Urusannya baru selesai,” lanjutku sambil meluruskan pijakan standar motor besar itu. “Brian dimana, Mang?” “Ada tuh. Tadi sih di kolam renang.” “Malam-malam berenang?” “Bukan, bakar sate?” “Sate?” “Ituuu… yang bakar daging gede-gede.” “Barbeque!”
Daguku tersentak dengan kaki yang ikutan menolak hingga tubuhku terdorong menjauhi ibu.“Apa?”“Sekolah. Kamu dengar kata ibu, kan?” bibirnya kembali mengatup namun dua matanya masih terus menusuk ke dalam pandanganku.“Man!”Segera ibu menggerak-gerakkan telapak tangannya di tengah-tengah tatapannya. Ia seraya memastikan kalau aku, masih tidak gila atau terhasut bisikan setan yang kesiangan.Dia sempat terperangah saat aku tidak memberikan respon sama sekali. Namun setelah ibu berhasil menyimpulkan kalau aku masih waras, ia pun bernapas dengan lega.“Buruan mandi! Ikut ayah ke sekolah!”
“Anj*ng!” umpatku seketika dengan wajah yang semringah. Tapi tidak dengan sosok jelita yang berdiri di sampingku. Begitu aku selesai mengucapkan kata tadi, sontak aku tersadar akan kehadirannya. Manik mataku langsung melirik ke parasnya yang ternyata berubah jijik sekaligus sewot. “Ma--maaf, Bu.” “Oke. Ini kelas kamu,” ucapnya tegas. “Jaga sikap ya,” imbuhnya dengan ekspresi yang masih sama. “Oke. Guys. Ini teman kalian ya, Guru kalian kemana?” “Mudik, Bu!” “Kawin lari, Bu!” “Mati!” “SIAPA