"Pulanglah, Mas!" ucap Arumi lirih. Ia telah mengumpulkan keberanian untuk datang ke rumah sang mertua untuk menyusul suaminya. Ia menekan egonya untuk meminta maaf dan membujuk Ardi pulang. Lebih baik Arumi dihina oleh ibu mertuanya, daripada melihat Dinda selalu murung menanyakan kenapa ayahnya tidak pulang.
"Kenapa aku harus pulang?" ucap Ardi dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak mau menatap wajah sang istri. Hatinya jengkel setiap kali mengingat pertengkarannya dengan Arumi kemarin. Membayar uang kuliah Santi itu kan memang sudah kewajiban Ardi jadi kenapa ia harus membahasnya lagi?"Kamu masih marah ya Mas?" ucap Arumi gusar. "Maaf, Mas. aku tidak pernah bermaksud untuk melawanmu, tapi uang SPP Dinda memang harus segera dibayar," ucapnya lagi.Ardi mendengus. Bukannya Ardi tidak punya uang untuk membayar uang sekolah Dinda, tapi Ardi memang tidak mau membayarnya. Hasutan ibunya sudah meracuni pikiran. Ia begitu membenci anak itu, semenjak anak itu lahir ke dunia."Lagian ngapain sih kamu maksa sekolahin si Dinda di sekolah mahal?" Ibu mertuanya tiba- tiba muncul dari balik pintu. "Padahal sekolah di SD Negeri saja sudah bagus, gratis lagi. Ga nambah - nambahin beban pengeluaran Ardi buat bayar uang sekolahnya," sambungnya.Hati Arumi meradang mendengar ucapan ibu mertuanya. Dinda itu anak mereka sudah seharusnya ia mendapatkan yang terbaik, daripada menafkahi ibu dan adiknya Ardi lebih berkewajiban menafkahi Dinda.Disaat bersamaan Santi juga muncul dari arah depan. Tangannya membawa dua buah paperbag dan wajahnya terlihat begitu sumringah. Ia melengos saat melihat Arumi, bahkan menyapanya pun tidak. Ia justru menghampiri sang ibu menunjukkan barang belanjaannya."Bu, lihat aku habis belanja tas dan baju. Semuanya bagus-bagus." ucap Santi sambil mengeluarkan barang belanjaannya. "Tapi … Darimana kamu punya uang untuk belanja semua ini?" Bu Hilda mengerutkan keningnya."Ya dari Mas Ardi dong, kakak paling the best yang Santi punya," ucap Santi sambil terkekeh. Ardi ikut tersenyum kecil menanggapi ucapan Santi.Bu Hilda tersenyum, lalu mengamati tas yang baru saja dibeli Santi. Arumi ikut melirik ke arahnya. Melihat bentuknya, Arumi bisa menerka tas itu seharga lebih dari lima ratus ribu. Uang yang sama banyak dengan yang diberikan Ardi untuk nafkahnya sebulan."Jadi begini, Mas. Kamu lebih senang memberikan uangmu untuk membelanjakan adik kesayanganmu ini, daripada membayar SPP Dinda?" ucap Arumi. Sebenarnya ia datang kesini untuk berdamai. Namun melihat kenyataan menyakitkan di depan matanya, Arumi tak mampu menahan rasa sakit hatinya."Kalau kamu datang kesini buat ngajak ribut, mending kamu pulang saja! Hardik Ardi. Ia benar-benar tak peduli pada perasaan Arumi."Iya, bener. Ga ada yang yang mengharapkan kehadiranmu di sini?" sahut Bu Hilda.Ia memang tidak menyukai Arumi sejak lama. Bu Hilda selalu berharap agar secepatnya Ardi dan Arumi bercerai. Arumi memang memiliki wajah yang sangat cantik. Namun ia hanyalah gadis yang berasal dari panti asuhan. Tentu tidak sebanding dengan keluarga Ardi. Almarhum ayah Ardi seorang pensiunan. Keluarga mereka merupakan keluarga terhormat, tanpa cacat. Tentu saja itu menurut Bu Hilda."Jadi seperti ini wanita yang ingin kau ambil jadi istri? Wanita yang tidak jelas asal-usul keluarganya. Tidak sepadan dengan keluarga kita!" Suara Bu Hilda menggelegar, bagaikan petir di siang hari. Namun Ardi saat itu masih keras kepala. Yang ia inginkan adalah Arumi, bukan keluarganya. Tak peduli dari mana pun Arumi berasal, ia akan tetap menikahinya. Ia mengancam tidak mau melanjutkan kuliah, jika tidak diizinkan menikahi Arumi.Sebagai seorang ibu, tentu saja Bu Hilda tidak ingin masa depan anaknya suram. Ardi harus sukses. Ia anak lelaki satu - satunya, yang nantinya akan menjadi tulang punggung keluarganya. Akhirnya Bu Hilda mengalah dan mengizinkan Ardi menikahi Arumi. Namun setelah mereka menikah, Bu Hilda tak pernah berhenti berusaha memisahkan Ardi dan Arumi."Istri tukang selingkuh aja kok, dipertahankan!" Setiap hari Bu Hilda selalu memfitnah Arumi berselingkuh. Setiap lelaki yang ngobrol dengan Arumi disebut sebagai selingkuhan Arumi. Awalnya Ardi tidak pernah menanggapi perkataan Bu Hilda. Namun lama kelamaan Ardi termakan juga oleh hasutan ibunya.Apalagi ketika Bu Hilda menyodorkan foto saat Arumi tengah digendong oleh seorang pria. Saat itu Arumi sedang hamil. Bu Hilda sendiri yang membuat Arumi pingsan dengan membubuhkan obat di dalam minuman Arumi. Ia juga yang menyuruh seorang pria menggendong dan memfotonya, seolah-olah mereka selingkuh."Dinda itu bukan anakmu. Dinda itu anak hasil perselingkuhan Arumi dengan pria itu!" seru Bu Hilda kala itu. Ardi begitu frustasi, karena ia sangat mencintai Arumi. Di sisi lain, ia sangat membenci pengkhianatan yang Arumi lakukan. Ardi tidak mau meninggalkan Arumi, namun akhirnya Ardi menjadi sangat benci kepada Dinda. Arumi masih berdiri mematung. Langkahnya terasa berat. Melihat tawa bahagia ibu mertua dan adik iparnya, hatinya begitu sakit. Apa salah jika Arumi merasa iri dengan perlakuan Ardi pada mereka?"Eh, udah sana pergi! Ardi tidak akan pulang denganmu. Dia lebih nyaman berada di sini!" Suara Bu Hilda membuatnya tersentak. Memang benar, tidak ada gunanya ia berada di sini. Hanya akan menambah luka hatinya saja.Dengan langkah gontai, Arumi meninggalkan rumah ibu mertuanya. Ia berjalan menyusuri trotoar dengan mata yang berkaca-kaca. Tiba-tiba saja Arumi ingat jika ia telah melupakan sesuatu. Ia melirik jam tangan jadul yang melingkar di tangannya. Sudah menunjukkan pukul satu siang. Waktunya ia menjemput Dinda.Ia menumpang angkot menuju ke sekolah Dinda. Namun setibanya di sana. Sekolah sudah sepi. Arumi berdiri di depan gerbang, sambil celingukan mencari keberadaan Dinda, namun tak ada satu anak pun di sana. "Kemana Dinda?" gumamnya.Pak Somad, penjaga sekolah menghampirinya. Mengatakan kalau Dinda sudah pulang dari tadi. Karena ada rapat guru dan kepala sekolah, anak - anak dipulangkan lebih cepat.Arumi mengambil handphone jadul dari tasnya untuk menghubungi tetangga sebelahnya. Menanyakan apakah Dinda sudah berada di rumah? Namun tangganya bilang kalau ia belum melihat Dinda. Arumi jadi sangat khawatir dan merasa bersalah. Bisa-bisanya ia lupa menjemput Dinda.Arumi harus segera mencari Dinda. Ia mempercepat langkahnya, sambil matanya mengamati sekelilingnya. Langkahnya terhenti ketika ia sampai di taman dekat sekolah Dinda.Hatinya sedikit lega, kala melihat Dinda tengah duduk bersama Andrean sambil menikmati es krim di taman itu. Mereka tertawa, terlihat bahagia. Arumi tidak pernah melihat Dinda bisa tertawa lepas seperti itu, kala bersama dengan ayahnya. Ardi begitu dingin. Meski begitu Dinda sungguh menyayangi ayahnya. Semalaman Dinda tidak bisa tidur, karena menunggu ayahnya pulang."Dinda!" pekik Arumi, seraya berlari menghampiri gadis kecil itu."Mama?" Dinda ikut menoleh ke arah Arumi."Ya ampun Dinda, mama mencarimu kemana- mana, ternyata kau ada disini." Arumi memeluk tubuh gadis kecil itu. "Dinda bosan, Mama jemputnya lama sekali. Untung ada Om Andrean yang mengajak aku makan es krim disini, jadi aku ga bosen lagi!" ucap Dinda polos.Sementara dokter Andrean hanya tersenyum manis ke arah Arumi.Arumi masih termenung di depan meja makan. Menatap sepiring nasi dan mangkuk sayur asem yang masih utuh. Perutnya terasa lapar, namun rasanya ia tak ingin makan.Dinda sudah tidur sejak sore tadi. Sepertinya anak itu kelelahan membantunya mengerjakan pekerjaan borongannya. Arumi memang mengambil kerja borongan membungkus snack, dari usaha makanan rumahan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hasilnya memang tidak seberapa. Arumi hanya mendapatkan upah Rp.15.000,- sehari.Namun bagi Arumi uang segitu sangat berarti. Arumi bisa menggunakannya untuk membeli sayuran dan uang jajan Dinda setiap harinya. Arumi mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang menempel di tembok sebelahnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tidak ada tanda - tanda suaminya akan pulang. Sudah empat hari ini Ardi tidak pulang ke rumah. Bahkan menghubunginya pun juga tidak.Tiba-tiba Arumi merasakan kesepian yang sangat dalam. Ia begitu merindukan suaminya yang dulu. Bayangan hari - hari yang mere
"Jadi kau tidak percaya kepadaku, Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Ardi di ruang tamu. Mereka hanya berbicara berdua saja, sebab Dinda sudah disuruh masuk ke kamarnya oleh Arumi."Kenapa aku harus percaya kata-katamu? Buktinya jelas, kau yang mendorong ibuku!" Ardi berbicara tanpa mau menatap wajah istrinya. Pikirannya kacau, apalagi rasa cemburu kini menguasai hatinya."Memang aku yang mendorong Ibu. Tapi aku tidak sengaja melakukannya, karena Ibu ingin menyakiti Dinda." Arumi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi sepertinya tidak ada lagi celah bagi Ardi untuk mempercayainya."Jangan lagi kau memutar balikan fakta, Arumi. Kau mendorong Ibu, karena kau tidak terima Ibu menegurmu telah berselingkuh dengan dokter itu!" Ardi meninggikan suaranya. Sepertinya amarahnya sedang berada di puncak."Bukan seperti itu kejadiannya, Mas!" Arumi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kala Bu Hilda memintanya untuk bercerai dengan Ardi. Sampai mengancamnya dan menyakiti Dinda, hingga
"Ternyata seperti ini kelakuanmu, jika suamimu tidak ada di rumah!" geram Ardi. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah. Sorot matanya tajam, seperti sebuah kilatan pedang yang siap mencabik - cabik Arumi dan dokter Andrean.Ternyata apa yang dikatakan ibunya selama ini bukan hanya omong kosong. Hanya saja ia terlalu naif untuk mempercayainya. Cintanya pada Arumi membuatnya selalu menutup mata. Tapi hari ini ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Ia semakin yakin jika Dinda memang benar- benar bukan darah dagingnya. Seketika kebenciannya pada anak itu kembali menguasai hatinya."Mas, kamu salah sangka!" Arumi menarik tangannya dari genggaman tangan dokter Andrean. Lalu ia berdiri menghampiri suaminya."Aku tidak buta, Arumi!" ucapnya dingin."Dokter Andrean hanya …." Arumi ingin menjelaskan semuanya. Namun belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Ardi sudah memotongnya."Ternyata benar yang dikatakan Ibu. Kamu hanyalah wanita murahan, yang merelakan tubuhmu disentuh oleh
"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu. Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika han
Arumi menghampiri Dinda yang tengah menonton televisi di ruang tengah."Anak Mama makan dulu, yuk!" ucap Arumi sembari mengalungkan lengannya ke pundak bocah itu."Nanti aja, Ma. Filmnya lagi seru!" sahut Dinda. Matanya awas menatap layar televisi yang menayangkan film animasi hewan kesayangan Dinda."Nontonnya kan bisa nanti lagi. Dinda belum makan lho dari siang, nanti Dinda sakit!" bujuk Arumi."Tapi, Ma, filmnya lagi seru. Sebentar lagi si Ochan akan bertemu dengan ayahnya!" sahut bocah polos itu. Tiba-tiba ekspresi wajah Dinda berubah. Dinda yang awalnya tertawa senang saat melihat film kesayangannya, tiba- tiba menjadi murung saat menyebut kata ayah. Arumi tahu Dinda sangat merindukan papanya."Kamu kenapa, Sayang?" Arumi menyentuh pipi bakpau bocah itu. Menatapnya penuh cinta kasih."Dinda kangen papa, Ma," ucap bocah itu. Matanya terlihat sayu menatap mata sang mama. "Kapan sih, papa akan pulang ke rumah ini?" ucapnya lagi.Arumi membalas tatapan Dinda. Ia menarik sudut bibirn
Bab. 9"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagi
"Tidak baik menyiksa diri seperti ini, Air hujan tidak bagus untuk kesehatanmu," suara lembut seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuatnya menoleh ke arah belakang. Menatap pria berpakaian dokter yang berdiri tegak di belakangnya. Tangan kirinya memegang payung berwarna biru dengan motif bunga yang cantik. Ia mengarahkan payung itu, tepat di atas kepala Arumi. Sehingga tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuh wanita itu."Dokter Andrean," ucap Arumi lirih. Ia tidak mengira akan bertemu dengan dokter itu dalam keadaan seperti ini. Arumi merasa sedikit canggung, saat bola arwah mereka saling beradu. Menyadari ketidaknyamanan Arumi, Dokter Andrean memberi jarak yang cukup jauh antara ia dengan Arumi, sehingga pria itu justru membiarkan sebagian tubuhnya basah terkena tetesan air hujan."Dokter melarangku hujan- hujanan, tapi Dokter sendiri kehujanan," sungut Arumi.Dokter Andrean justru terkekeh, "Yang penting kamu tidak kehujanan!"Arumi mendekatkan tubuhnya, agar payung
"Bagaimana, Dinda? Kau mau di sini dulu menunggu papamu?" Bu Hilda masih saja membujuk Dinda. Gadis kecil itu sebenarnya ragu, tapi ia sangat ingin bertemu dengan papanya. Kalau mereka pulang, belum tentu mamanya mau diajak datang kesini lagi. Apalagi neneknya bilang papanya akan segera datang.Bu Hilda masih menatap gadis kecil itu, menunggu jawaban dari Dinda. Hingga akhirnya bocah itu mengangguk setuju. Sesaat kemudian Dinda menatap mata sang mama dengan perasaan bersalah. "Nggak apa- apa kan, Ma, kalau kita tunggu papa di sini?" ucapnya.Arumi membalas tatapan putrinya itu dengan senyuman, "Iya, kita akan tunggu papa di sini," ucap Arumi. Bu Hilda tersenyum ke arah Santi, sesaat Arumi melihat mereka saling pandang, sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Namun Arumi tidak ingin berburuk sangka. Paling tidak sekarang mertua dan adik iparnya itu sudah bisa bersikap baik padanya."Dinda, Arumi, kalian sudah sarapan belum?" ucap Bu Hilda.Arumi menaikkan alisnya menatap heran pada sa