Share

3. Fitnah Ibu Mertua

"Pulanglah, Mas!" ucap Arumi lirih. Ia telah mengumpulkan keberanian untuk datang ke rumah sang mertua untuk menyusul suaminya. Ia menekan egonya untuk meminta maaf dan membujuk Ardi pulang. Lebih baik Arumi dihina oleh ibu mertuanya, daripada melihat Dinda selalu murung menanyakan kenapa ayahnya tidak pulang.

"Kenapa aku harus pulang?" ucap Ardi dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak mau menatap wajah sang istri. Hatinya jengkel setiap kali mengingat pertengkarannya dengan Arumi kemarin. Membayar uang kuliah Santi itu kan memang sudah kewajiban Ardi jadi kenapa ia harus membahasnya lagi?

"Kamu masih marah ya Mas?" ucap Arumi gusar. "Maaf, Mas. aku tidak pernah bermaksud untuk melawanmu, tapi uang SPP Dinda memang harus segera dibayar," ucapnya lagi.

Ardi mendengus. Bukannya Ardi tidak punya uang untuk membayar uang sekolah Dinda, tapi Ardi memang tidak mau membayarnya. Hasutan ibunya sudah meracuni pikiran. Ia begitu membenci anak itu, semenjak anak itu lahir ke dunia.

"Lagian ngapain sih kamu maksa sekolahin si Dinda di sekolah mahal?"  Ibu mertuanya tiba- tiba muncul dari balik pintu. "Padahal sekolah di SD Negeri saja sudah bagus,  gratis lagi. Ga nambah - nambahin beban pengeluaran Ardi buat bayar uang sekolahnya,"  sambungnya.

Hati Arumi meradang mendengar ucapan ibu mertuanya. Dinda itu anak mereka sudah seharusnya ia mendapatkan yang terbaik, daripada menafkahi ibu dan adiknya Ardi lebih berkewajiban menafkahi Dinda.

Disaat bersamaan Santi juga muncul dari arah depan. Tangannya membawa dua buah paperbag dan wajahnya terlihat begitu sumringah. Ia melengos saat melihat Arumi, bahkan menyapanya pun tidak. Ia justru menghampiri sang ibu menunjukkan barang belanjaannya.

"Bu, lihat aku habis belanja tas dan baju. Semuanya bagus-bagus." ucap Santi sambil mengeluarkan barang belanjaannya. 

"Tapi … Darimana kamu punya uang untuk belanja semua ini?" Bu Hilda mengerutkan keningnya.

"Ya dari Mas Ardi dong, kakak paling the best yang Santi punya," ucap Santi sambil terkekeh. Ardi ikut tersenyum kecil menanggapi ucapan Santi.

Bu Hilda tersenyum, lalu mengamati tas yang baru saja dibeli Santi. Arumi ikut melirik ke arahnya. Melihat bentuknya, Arumi bisa menerka tas itu seharga lebih dari lima ratus ribu. Uang yang sama banyak dengan yang diberikan Ardi untuk nafkahnya sebulan.

"Jadi begini, Mas. Kamu lebih senang memberikan uangmu untuk membelanjakan adik kesayanganmu ini, daripada membayar SPP Dinda?" ucap Arumi. Sebenarnya ia datang kesini untuk berdamai. Namun melihat kenyataan menyakitkan di depan matanya, Arumi tak mampu menahan rasa sakit hatinya.

"Kalau kamu datang kesini buat ngajak ribut, mending kamu pulang saja! Hardik Ardi. Ia benar-benar tak peduli pada perasaan Arumi.

"Iya, bener. Ga ada yang yang mengharapkan kehadiranmu di sini?" sahut Bu Hilda.

Ia memang tidak menyukai Arumi sejak lama. Bu Hilda selalu berharap agar secepatnya Ardi dan Arumi bercerai. Arumi memang memiliki wajah yang sangat cantik. Namun ia hanyalah gadis yang berasal dari panti asuhan. Tentu tidak sebanding dengan keluarga Ardi. Almarhum ayah Ardi seorang pensiunan. Keluarga mereka merupakan keluarga terhormat, tanpa cacat. Tentu saja itu menurut Bu Hilda.

"Jadi seperti ini wanita yang ingin kau ambil jadi istri? Wanita yang tidak jelas asal-usul keluarganya. Tidak sepadan dengan keluarga kita!" Suara Bu Hilda menggelegar, bagaikan petir di siang hari. Namun Ardi saat itu masih keras kepala. Yang ia inginkan adalah Arumi, bukan keluarganya. Tak peduli dari mana pun Arumi berasal, ia akan tetap menikahinya. Ia mengancam tidak mau melanjutkan kuliah, jika tidak diizinkan menikahi Arumi.

Sebagai seorang ibu, tentu saja Bu Hilda tidak ingin masa depan anaknya suram.  Ardi harus sukses. Ia anak lelaki satu - satunya, yang nantinya akan menjadi tulang punggung keluarganya. Akhirnya Bu Hilda mengalah dan mengizinkan Ardi menikahi Arumi. Namun setelah mereka menikah, Bu Hilda tak pernah berhenti berusaha memisahkan Ardi dan Arumi.

"Istri tukang selingkuh aja kok, dipertahankan!" Setiap hari Bu Hilda selalu memfitnah Arumi berselingkuh. Setiap lelaki yang ngobrol dengan Arumi disebut sebagai selingkuhan Arumi. Awalnya Ardi tidak pernah menanggapi perkataan Bu Hilda. Namun lama kelamaan  Ardi termakan juga oleh hasutan ibunya.

Apalagi ketika Bu Hilda menyodorkan foto saat Arumi tengah digendong oleh seorang pria. Saat itu Arumi sedang hamil. Bu Hilda sendiri yang membuat Arumi pingsan dengan membubuhkan obat di dalam minuman Arumi. Ia juga yang menyuruh seorang pria menggendong dan memfotonya, seolah-olah mereka selingkuh.

"Dinda itu bukan anakmu. Dinda itu anak hasil perselingkuhan Arumi dengan pria itu!" seru Bu Hilda kala itu. Ardi begitu frustasi, karena ia sangat mencintai Arumi. Di sisi lain, ia sangat membenci pengkhianatan yang Arumi lakukan. Ardi tidak mau meninggalkan Arumi, namun akhirnya Ardi menjadi sangat benci kepada Dinda. 

Arumi masih berdiri mematung. Langkahnya terasa berat. Melihat tawa bahagia ibu mertua dan adik iparnya, hatinya begitu sakit. Apa salah jika Arumi merasa iri dengan perlakuan Ardi pada mereka?

"Eh, udah sana pergi! Ardi tidak akan pulang denganmu. Dia lebih nyaman berada di sini!" Suara Bu Hilda membuatnya tersentak. Memang benar, tidak ada gunanya ia berada di sini. Hanya akan menambah luka hatinya saja.

Dengan langkah gontai, Arumi meninggalkan rumah ibu mertuanya. Ia berjalan menyusuri trotoar dengan mata yang berkaca-kaca. Tiba-tiba saja Arumi ingat jika ia telah melupakan sesuatu. Ia melirik jam tangan jadul yang melingkar di tangannya. Sudah menunjukkan pukul satu siang. Waktunya ia menjemput Dinda.

Ia menumpang angkot menuju ke sekolah Dinda. Namun setibanya di sana. Sekolah sudah sepi. Arumi berdiri di depan gerbang, sambil celingukan mencari keberadaan Dinda, namun tak ada satu anak pun di sana. "Kemana Dinda?" gumamnya.

Pak Somad, penjaga sekolah menghampirinya. Mengatakan kalau Dinda sudah pulang  dari tadi. Karena ada rapat guru dan kepala sekolah, anak - anak dipulangkan lebih cepat.

Arumi mengambil handphone jadul dari tasnya untuk menghubungi tetangga sebelahnya. Menanyakan apakah Dinda sudah berada di rumah? Namun  tangganya bilang kalau ia belum melihat Dinda. Arumi jadi sangat khawatir dan merasa bersalah. Bisa-bisanya ia lupa menjemput Dinda.

Arumi harus segera mencari Dinda. Ia mempercepat langkahnya, sambil matanya mengamati sekelilingnya. Langkahnya terhenti ketika ia sampai di taman dekat sekolah Dinda.

Hatinya sedikit lega, kala melihat Dinda tengah duduk bersama Andrean sambil menikmati es krim di taman itu. Mereka tertawa, terlihat bahagia. Arumi tidak pernah melihat Dinda bisa tertawa lepas seperti itu, kala bersama dengan ayahnya. Ardi begitu dingin. Meski begitu Dinda sungguh menyayangi ayahnya. Semalaman Dinda tidak bisa tidur, karena menunggu ayahnya pulang.

"Dinda!" pekik Arumi, seraya berlari menghampiri gadis kecil itu.

"Mama?" Dinda ikut menoleh ke arah Arumi.

"Ya ampun Dinda, mama mencarimu kemana- mana, ternyata kau ada disini." Arumi memeluk tubuh gadis kecil itu. 

"Dinda bosan, Mama jemputnya lama sekali. Untung ada Om Andrean yang mengajak aku makan es krim disini, jadi aku ga bosen lagi!" ucap Dinda polos.

Sementara dokter Andrean hanya tersenyum manis ke arah Arumi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Al Vieandra
kebanyakan laki kek gitu ya, selalu pergi sebelum masalah selesai
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status