"Tolong Mama saya, Om. Tiba-tiba mama saya pingsan." Dinda menatap penuh harap pada laki-laki tinggi dan gagah di depannya.
Laki-laki itu segera mengambil tas kerjanya, dan memeriksa Arumi. Tak lama kemudian Arumi segera sadar. Perlahan ia membuka matanya, menatap Dinda dan dokter muda yang duduk di sampingnya."Tadi Mama pingsan, untung ada om itu yang menolong," ucap Dinda menunjuk ke arah dokter muda tadi. Dokter itu mendekat, lalu tersenyum ke arah Arumi."Syukurlah kamu sudah sadar." ujar laki-laki itu sambil menyunggingkan senyum manis, menunjukkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi."Andrean?" Arumi menaikkan alisnya ketika melihat laki-laki itu. Kenapa dunia begitu sempit, Arumi bisa dipertemukan lagi dengan teman lamanya, dan Andrean terlihat sangat berbeda. Rupanya teman SMA nya itu sekarang sudah menjadi seorang dokter.Andrean bercerita jika ia baru saja dipindah tugaskan ke Rumah sakit Harapan, menggantikan Dokter Luis yang sebentar lagi akan pensiun. Dokter Luis adalah Dokter yang mengobati penyakitnya. Itu artinya, setelah ini Arumi akan sering bertemu dengan Andrean.==="Darimana saja kamu? Sudah tahu suami mau pulang, malah keluyuran!"Begitu sampai di rumah Arumi disambut dengan tatapan tajam dan ocehan suaminya."Itu tadi habis dari depan mau nyari peralatan sekolah untuk Dinda. Tapi tokonya sudah tutup," ujar Arumi beralasan. Ia tidak ingin mengatakan tentang penyakitnya pada sang suami."Ya sudah, cepat buatkan aku kopi!" perintah Ardi. Ia terlihat sangat lelah, setelah pulang bekerja. Arumi mengangguk lalu melangkah ke dapur, hendak membuatkan kopi untuk Ardi. Namun tak lama kemudian ia kembali berdiri di depan Ardi sambil membawa toples gula yang kosong. "Eh itu, Mas. Gulanya habis," ucapnya sembari menunjukkan toples gula yang kosong."Habis ya belilah!" ucap Ardi dengan nada tinggi. Lama- lama ia kesal juga dengan Arumi."Mas kan belum ngasih uang belanja," ucap Arumi pelan. Ardi melirik jengkel ke arah istrinya lalu meletakkan lima lembar uang berwarna merah di atas meja."Nih uang belanja bulan ini!" ucapnya.Arumi segera menghampiri suaminya. Senyumnya mengembang dan tangannya segera meraih uang yang diletakkan Ardi di atas meja. Namun seketika senyumnya surut saat matanya menatap lima lembar uang seratus ribuan yang berjejer di sana. "Loh, kok cuma segini, Mas?" protes Arumi sambil meraih lembaran uang di atas meja itu. Uang belanja yang biasa Ardi berikan setiap bulannya saja selalu kurang. Arumi kesulitan mengaturnya karena harga sembako yang terus melonjak naik. Ini malah uang bulanannya dipotong lagi."Kamu ini banyak protes, masih sukur aku mau nafkahin kamu!" Ardi mendengus kesal. Bulan ini Ardi harus membayar biaya kuliah Santi, jadi uang bulanan untuk Arumi ia potong. "Tapi, Mas, uang sekolah Dinda juga harus segera dilunasi!" protes Arumi.Kemarin Arumi sudah ditegur oleh guru Dinda. Kalau sppnya belum lunas, Dinda tidak boleh ikut ujian. Arumi menatap nanar sang suami. Bisa- bisanya ia lebih memprioritaskan Santi daripada Dinda, anaknya sendiri. Namun Ardi seolah tak peduli."Ya, kamu pikir sendirilah bagaimana cara membayarnya. Jadi istri kok bisanya nyusahin suami!" Ardi mendengus kesal. Pulang kerja bukannya mendapat sambutan hangat dan secangkir kopi, malah diajak ribut oleh Arumi."Mas, Dinda itu anak kamu, tapi kenapa kamu lebih mementingkan ibu dan adik kamu dari pada anak kamu sendiri?" Arumi meninggikan suaranya, karena ia sudah tidak tahan dengan sikap Ardi yang tidak adil. Bulir- bulir bening yang sejak tadi menggantung di sudut matanya, kini sudah mengalir membasahi kedua pipinya.Plak!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Arumi, menyisakan bekas kemerahan dan nyeri yang berdenyut. Arumi menyentuh pipinya yang terasa panas dan nyeri. Matanya menatap nanar pada sang suami, "Tega sekali kau menamparku, Mas!" Arumi merintih, air matanya semakin deras mengalir."Dasar perempuan sundal! Berani kau meninggikan suaramu padaku lagi, aku tak hanya akan menamparmu. Tapi akan kubuat mulutmu itu tak bisa lagi bicara!" ucap Ardi sembari beranjak menuju ke kamarnya.Arumi seperti tak mengenal Ardi. Entah kemana perginya Ardi yang dulu, yang selalu bersikap lembut padanya. Sikapnya berubah 180 derajat setelah kelahiran Dinda."Ma, jangan nangis!" suara polos Dinda membuat Arumi tersentak. Ia tidak boleh menangis di depan Dinda. Segera ia menghapus air matanya, dengan lengan bajunya."Eh, enggak kok. Mama ga nangis, ini hanya kelilipan." Arumi membelai lembut rambut Dinda. Hatinya trenyuh, setiap kali mengingat perlakuan Ardi pada Dinda. Entah kesalahan apa yang pernah dilakukannya ketika mengandung Dinda, sehingga Ardi sangat membenci kehadiran Dinda. "Mama jangan bohong." Dinda menatap manik hitam sang mama. Ia mendengar semuanya. Kedua orang tuanya ribut gara - gara uang sekolahnya. "Dinda tidak apa- apa, tidak ikut ujian. Yang penting Mama jangan nangis," ucapnya lirih. Anak itu mencoba tersenyum, meski Dinda tak mampu menyembunyikan wajah murungnya pada Arumi."Mama dan Papa tidak bertengkar, Sayang." Arumi mengulurkan tangannya, merengkuh tubuh gadis kecil itu ke dalam pelukannya. Ia tidak ingin Dinda merasa tertekan dengan pertengkaran kedua orang tuanya. Selama ini Dinda sudah cukup tertekan dengan sikap Ardi yang selalu acuh padanya."Dinda jangan khawatir, Mama pasti akan membayar uang sekolah Dinda. Dinda hanya perlu belajar yang rajin." Arumi melanjutkan kata-katanya, sembari mengelus rambut bocah itu dengan lembut.Arumi melepaskan pelukannya pada Dinda, ketika terdengar derap langkah dari belakang. Ia menoleh ke arah belakang dan mendapati suaminya sudah berdiri dengan menenteng ransel di tangannya."Mas, kamu mau kemana?" Arumi menautkan kedua alisnya, lalu beranjak menghampiri suaminya."Aku mau nginep di rumah Ibu, pusing di rumah, diajakin berantem terus!" Ardi melangkah melewati Arumi yang masih berdiri mematung. Arumi meraih lengan Ardi, berusaha menahannya. Namun Ardi tak memperdulikannya, ia menghempaskan tangan Arumi dan beranjak menuju ke mobilnya."Pulanglah, Mas!" ucap Arumi lirih. Ia telah mengumpulkan keberanian untuk datang ke rumah sang mertua untuk menyusul suaminya. Ia menekan egonya untuk meminta maaf dan membujuk Ardi pulang. Lebih baik Arumi dihina oleh ibu mertuanya, daripada melihat Dinda selalu murung menanyakan kenapa ayahnya tidak pulang."Kenapa aku harus pulang?" ucap Ardi dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak mau menatap wajah sang istri. Hatinya jengkel setiap kali mengingat pertengkarannya dengan Arumi kemarin. Membayar uang kuliah Santi itu kan memang sudah kewajiban Ardi jadi kenapa ia harus membahasnya lagi?"Kamu masih marah ya Mas?" ucap Arumi gusar. "Maaf, Mas. aku tidak pernah bermaksud untuk melawanmu, tapi uang SPP Dinda memang harus segera dibayar," ucapnya lagi.Ardi mendengus. Bukannya Ardi tidak punya uang untuk membayar uang sekolah Dinda, tapi Ardi memang tidak mau membayarnya. Hasutan ibunya sudah meracuni pikiran. Ia begitu membenci anak itu, semenjak anak itu lahir ke dunia."Lagian ng
Arumi masih termenung di depan meja makan. Menatap sepiring nasi dan mangkuk sayur asem yang masih utuh. Perutnya terasa lapar, namun rasanya ia tak ingin makan.Dinda sudah tidur sejak sore tadi. Sepertinya anak itu kelelahan membantunya mengerjakan pekerjaan borongannya. Arumi memang mengambil kerja borongan membungkus snack, dari usaha makanan rumahan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hasilnya memang tidak seberapa. Arumi hanya mendapatkan upah Rp.15.000,- sehari.Namun bagi Arumi uang segitu sangat berarti. Arumi bisa menggunakannya untuk membeli sayuran dan uang jajan Dinda setiap harinya. Arumi mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang menempel di tembok sebelahnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tidak ada tanda - tanda suaminya akan pulang. Sudah empat hari ini Ardi tidak pulang ke rumah. Bahkan menghubunginya pun juga tidak.Tiba-tiba Arumi merasakan kesepian yang sangat dalam. Ia begitu merindukan suaminya yang dulu. Bayangan hari - hari yang mere
"Jadi kau tidak percaya kepadaku, Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Ardi di ruang tamu. Mereka hanya berbicara berdua saja, sebab Dinda sudah disuruh masuk ke kamarnya oleh Arumi."Kenapa aku harus percaya kata-katamu? Buktinya jelas, kau yang mendorong ibuku!" Ardi berbicara tanpa mau menatap wajah istrinya. Pikirannya kacau, apalagi rasa cemburu kini menguasai hatinya."Memang aku yang mendorong Ibu. Tapi aku tidak sengaja melakukannya, karena Ibu ingin menyakiti Dinda." Arumi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi sepertinya tidak ada lagi celah bagi Ardi untuk mempercayainya."Jangan lagi kau memutar balikan fakta, Arumi. Kau mendorong Ibu, karena kau tidak terima Ibu menegurmu telah berselingkuh dengan dokter itu!" Ardi meninggikan suaranya. Sepertinya amarahnya sedang berada di puncak."Bukan seperti itu kejadiannya, Mas!" Arumi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kala Bu Hilda memintanya untuk bercerai dengan Ardi. Sampai mengancamnya dan menyakiti Dinda, hingga
"Ternyata seperti ini kelakuanmu, jika suamimu tidak ada di rumah!" geram Ardi. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah. Sorot matanya tajam, seperti sebuah kilatan pedang yang siap mencabik - cabik Arumi dan dokter Andrean.Ternyata apa yang dikatakan ibunya selama ini bukan hanya omong kosong. Hanya saja ia terlalu naif untuk mempercayainya. Cintanya pada Arumi membuatnya selalu menutup mata. Tapi hari ini ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Ia semakin yakin jika Dinda memang benar- benar bukan darah dagingnya. Seketika kebenciannya pada anak itu kembali menguasai hatinya."Mas, kamu salah sangka!" Arumi menarik tangannya dari genggaman tangan dokter Andrean. Lalu ia berdiri menghampiri suaminya."Aku tidak buta, Arumi!" ucapnya dingin."Dokter Andrean hanya …." Arumi ingin menjelaskan semuanya. Namun belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Ardi sudah memotongnya."Ternyata benar yang dikatakan Ibu. Kamu hanyalah wanita murahan, yang merelakan tubuhmu disentuh oleh
"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu. Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika han
Arumi menghampiri Dinda yang tengah menonton televisi di ruang tengah."Anak Mama makan dulu, yuk!" ucap Arumi sembari mengalungkan lengannya ke pundak bocah itu."Nanti aja, Ma. Filmnya lagi seru!" sahut Dinda. Matanya awas menatap layar televisi yang menayangkan film animasi hewan kesayangan Dinda."Nontonnya kan bisa nanti lagi. Dinda belum makan lho dari siang, nanti Dinda sakit!" bujuk Arumi."Tapi, Ma, filmnya lagi seru. Sebentar lagi si Ochan akan bertemu dengan ayahnya!" sahut bocah polos itu. Tiba-tiba ekspresi wajah Dinda berubah. Dinda yang awalnya tertawa senang saat melihat film kesayangannya, tiba- tiba menjadi murung saat menyebut kata ayah. Arumi tahu Dinda sangat merindukan papanya."Kamu kenapa, Sayang?" Arumi menyentuh pipi bakpau bocah itu. Menatapnya penuh cinta kasih."Dinda kangen papa, Ma," ucap bocah itu. Matanya terlihat sayu menatap mata sang mama. "Kapan sih, papa akan pulang ke rumah ini?" ucapnya lagi.Arumi membalas tatapan Dinda. Ia menarik sudut bibirn
Bab. 9"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagi
"Tidak baik menyiksa diri seperti ini, Air hujan tidak bagus untuk kesehatanmu," suara lembut seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuatnya menoleh ke arah belakang. Menatap pria berpakaian dokter yang berdiri tegak di belakangnya. Tangan kirinya memegang payung berwarna biru dengan motif bunga yang cantik. Ia mengarahkan payung itu, tepat di atas kepala Arumi. Sehingga tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuh wanita itu."Dokter Andrean," ucap Arumi lirih. Ia tidak mengira akan bertemu dengan dokter itu dalam keadaan seperti ini. Arumi merasa sedikit canggung, saat bola arwah mereka saling beradu. Menyadari ketidaknyamanan Arumi, Dokter Andrean memberi jarak yang cukup jauh antara ia dengan Arumi, sehingga pria itu justru membiarkan sebagian tubuhnya basah terkena tetesan air hujan."Dokter melarangku hujan- hujanan, tapi Dokter sendiri kehujanan," sungut Arumi.Dokter Andrean justru terkekeh, "Yang penting kamu tidak kehujanan!"Arumi mendekatkan tubuhnya, agar payung