Share

Mertuaku Racun Rumah Tanggaku
Mertuaku Racun Rumah Tanggaku
Penulis: Pena Arsy

1. Ibu Mertua Membenciku

"Duh enak banget ya kerjamu. Bersantai di rumah seperti Nyonya besar!" 

Ucap sang ibu mertua. Ia berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Suaranya terdengar menggelegar di telinga Arumi.

"Maaf, Bu. Arumi sedang tidak enak badan."  Arumi  yang tengah terbaring di atas sofa memaksakan tubuhnya untuk bangun menyambut sang ibu mertua. Tangannya terulur hendak mencium takzim pada sang ibu mertua.

"Eh, nggak usah salam-salaman. Ibu jijik kalau harus bersentuhan dengan tanganmu!" Belum sempat Arumi meraih tangan sang ibu mertua, wanita paruh baya itu sudah menepis tangannya. Hati Arumi mencelos karenanya. Semenjijikan itukah dia hingga sang mertua tidak mau bersentuhan dengannya.

Arumi mengepalkan tangannya seraya mengikuti Ibu mertuanya masuk ke dalam rumah. Santi, adik Ardi berjalan mengekor di belakangnya. Langkah mereka terhenti ketika melihat Dinda duduk di lantai dengan plastik bungkus makanan yang berserakan.

"Heh, apa-apaan ini! Kenapa kamu mainan bungkus makanan begini?" ujar ibu mertuanya sambil langsung membentak Dinda. Ia geram melihat ruangan yang berantakan dengan bungkus makanan yang berserakan.

Dinda langsung mengkerut, saat melihat neneknya berdiri di depannya. Gadis kecil itu ketakutan karena neneknya itu menatapnya tajam seperti singa kelaparan yang telah menemukan hewan buruannya. Ia segera berlari dan bersembunyi di balik punggung Arumi.

"Ibu kenapa sih, baru datang langsung membentak Dinda seperti itu?" Arumi mengelus rambut panjang bocah itu dengan lembut. Sentuhannya membuat Dinda merasa sedikit aman.

"Kamu tu ya, ga bisa ngajarin anak!" ujar wanita paruh baya itu sambil  mendengus kesal, sebelum kembali berkata, "Rumah sampai berantakan seperti kapal pecah!" 

Arumi hanya bisa menarik nafas panjang. Apapun yang dilakukannya dan Dinda selalu terlihat salah di mata ibu mertuanya. Padahal Dinda tidak sedang bermain. Ia sedang membantunya mengerjakan pekerjaan borongan dari pabrik. Dulu Arumi selalu mengambil banyak pekerjaan. Namun sekarang ia tidak bisa melakukannya lagi. Ia juga harus menjaga kesehatannya. Koriokarsinoma yang dideritanya, membuatnya tidak bisa melakukan banyak hal. Ia tidak boleh bekerja terlalu keras, jika tidak ingin penyakitnya itu semakin parah.

Sekarang Arumi tetap mengambil pekerjaan, tapi tidak sebanyak dulu. Uangnya pun hanya habis untuk menambal uang bulanan dari Ardi, yang jauh dari kata cukup.

"Kerjaan apaan kaya begini? Jadi perempuan itu kreatif dikit, bantuin cari uang suami yang bener, jangan kerjanya hanya merongrong suami!" cibir wanita paruh baya itu.

Arumi tak menanggapi perkataan Ibu mertuanya. Mertuanya tidak pernah tahu jika uang hasil kerja borongannya itulah yang biasa digunakan Arumi untuk belanja sayur setiap harinya. Ardi hanya memberinya nafkah sebesar Rp.700.000,-. Uang itu hanya habis untuk membayar air, listrik dan SPP sekolah Dinda. Arumi harus bekerja keras, di tengah penyakit yang menggerogoti tubuhnya agar mereka tetap bisa makan.

"Pekerjaan apapun yang penting halal, dan bisa membantu perekonomian keluarga, Bu" ucap Arumi datar. Ia memang harus banyak bersabar menghadapi ibu mertuanya. Sejak lama mertuanya itu tidak menyukainya. Bu Hilda memang sudah memilihkan jodoh sendiri untuk Ardi. Tentu saja gadis itu pintar dan kaya, tidak seperti dirinya yang tidak jelas asal-usulnya.

"Halah, kerjaan ga ada duitnya saja bangga," jawab perempuan paru baya itu dengan bersungut-sungut.

"Yang penting saya bisa mengurangi beban Mas Ardi. Tidak merongrong seperti Ibu dan Santi." Entah apa yang membuat Arumi memiliki keberanian untuk melawan kata- kata mertuanya. Dahulu Arumi selalu diam dan menerima apapun perlakuan ibu mertuanya. Tapi lama-lama Arumi muak juga dengan perlakuan keluarga Ardi.

"Eh, kamu bilang apa, tadi? Ibu merongrong suamimu?" ucapnya sambil reflek menarik ujung kerudung Arumi hingga kepala Arumi ikut tertarik ke belakang.

"Sakit, Bu." rintih Arumi.

Namun wanita tersebut seolah tak peduli. Ia justru menariknya semakin kasar. Kenyataannya selama ini gaji Ardi lebih banyak yang diberikan kepada mertuanya dan Santi, daripada untuk menafkahi ia dan Dinda. Arumi selalu diam, namun perlakuan mertuanya semakin lama justru semakin keterlaluan.  

Bu Hilda selalu memegang dalil yang mengatakan jika anak lelaki itu milik ibunya. Namun ia tak menyadari jika seorang suami juga harus bertanggung jawab pada istri dan anaknya.

"Mas Ardi juga punya kewajiban menafkahi aku dan Dinda, karena dia sudah berjanji di hadapan Allah SWT," ucap Arumi lirih. Hatinya hancur setiap kali mengingat pernikahannya dengan Ardi. Pria itu yang dulu telah berjanji untuk membahagiakannya. Namun kenyataannya pria itu lebih memprioritaskan keluarganya dibanding dengan dirinya dan Dinda.

"Sebentar lagi, Ardi akan menceraikanmu!" ucap perempuan paruh baya itu sambil menyeringai. Ia melepaskan cengkeramannya pada kerudung Arumi, lalu mendorong tubuhnya.Tubuh Arumi limbung dan hampir terjatuh. Untungnya tangan mungil Dinda berhasil menahannya.

Arumi menggeleng lemah. Ia tak percaya jika Ardi rela menceraikan dirinya, setelah pernikahan yang sudah mereka lalui selama bertahun - tahun ini.

"Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya meladeni Mbak Arumi." Santi meraih lengan Ibunya, mengajaknya pulang. "Nanti aku hubungi  Mas Ardi biar pulang kerja langsung ke rumah Ibu," ucapnya lagi.

Wanita itu mengangguk setuju karena tidak ada gunanya ia ribut dengan Arumi. Toh cepat atau lambat Ardi pasti menceraikan Arumi. Hasutan yang ia lontarkan sedikit- sedikit mulai meracuni pikiran Ardi. Bu Hilda dan Santi melangkah meninggalkan rumah Arumi.

Arumi menatap nanar kepergian mereka sembari memegangi perutnya yang terasa semakin nyeri. Melihat sang mama meringis kesakitan, Dinda terlihat begitu khawatir.

"Mama kenapa?" ucap Dinda.

"Mama ga apa-apa kok, Sayang." Arumi mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dari Dinda. Tapi anak itu begitu kritis. Meski usianya baru delapan tahun, ia bisa mengerti dengan apa yang dialami oleh mamanya.

"Kita ke dokter ya, Ma," ucap Dinda sambil menatap mata sang mama.

"Ga perlu, Sayang. Nanti Mama beli obat pereda nyeri saja, pasti perut Mama langsung sembuh," ucap Arumi sambil tersenyum ke arah Dinda.

"Kalau begitu Dinda beliin ya, Ma."

Bocah polos itu mengerjapkan matanya. Arumi menatap bocah itu dengan perasaan haru. Ia tahu Dinda begitu mengkhawatirkan dirinya. Hanya Dinda yang tahu jika Arumi menderita Koriokarsinoma. Bahkan Ardi tidak pernah tahu jika istrinya tengah sakit.

"Ga usah, Sayang. Apotiknya kan lewat jalan besar. Biar Mama beli sendiri," tolak Arumi.

"Ya udah, ayo beli obatnya sekarang. Dinda temani Mama beli obat," ucap anak itu, keras kepala. Akhirnya  Arumi setuju pergi ke apotik bersama Dinda. Ia segera mengambil uang di dalam dompetnya yang tinggal selembar. 

Mereka berdua menyusuri jalan setapak kecil menuju jalan besar yang ada di ujung jalan. Apotik itu berada di seberang jalan besar. Baru saja Arumi memijakkan kakinya di jalan besar, tiba- tiba penglihatannya menjadi gelap. Tubuh Arumi luruh ke atas tanah dan Dinda tak mampu menahannya lagi.

"Mama! Mama kenapa? Mama bangun, Ma!" ucap Dinda sambil menggoyang- goyangkan badan mamanya yang tergeletak di atas tanah. Gadis kecil itu berharap agar mata sang mama segera terbuka. Namun mata Arumi tetap terpejam, sehingga membuat Dinda semakin histeris. Gadis itu berteriak memanggil mamanya sambil menangis di pinggir jalan itu.

Sebuah mobil berwarna putih berhenti di samping Dinda. Beberapa detik kemudian seorang laki-laki muda yang memakai jas putih keluar dari dalam mobil. Ia berlari kecil menghampiri Dinda.

"Ada apa ini?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Inthary
kejam itu nenek²
goodnovel comment avatar
Al Vieandra
kasihannya Arumi
goodnovel comment avatar
Nur Cahaya
kasihan Arumi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status