“Halo, Sayangnya Mama. Loh, ada apa dengan wajah cemberut itu? Hm?”Bella bertanya pada putranya yang kini genap berusia 6 tahun. Samudera kini sudah besar dan sudah sekolah taman kanak-kanak. Dia pun memilih sekolah yang mengedepankan kecakapan hidup dan mempunyai kurikulum montessori. Menurutnya, anak-anak kecil tidak diwajibkan duduk belajar. Anak-anak masih bermain dan senang bereksplorasi.Bella berjongkok. Mensejajarkan tingginya dengan tinggi Samudera. Ditatapnya putranya dengan penuh perhatian. “Ada apa, Nak?”“Ada kegiatan hari Ayah, Ma.” Samudera kecil berbicara dengan mata penuh tanya. “Ayahku ke mana, Ma?”Bella diam. Dia sebenarnya sudah diberikan kabar melalui pesan daring oleh bagian humas sekolah putranya bahwa akan ada hari ayah dan meminta masing-masing anak membawa ayahnya untuk mengikuti berbagai rangkaian kegiatan bersama anak. Hanya bersama ayah. “Ma?”Bella tidak bisa mengatakan bahwa ayahnya Samudera sudah meninggal sebab kenyataannya Evan pastilah masih hidu
“Aku tidak tahu harus berbuat apa.” Lalu Bella terisak-isak.Darel tidak menanggapi. Dia diam mendengarkan apa yang Bella keluhkan.“Samudera yang mulai menanyakan ayahnya membuatku merasa seperti tidak berguna, Darel.” Bella berkata seraya masih terisak. Beban di pundaknya terasa perlahan mengendur. Dia benar-benar memang perlu untuk bercerita.“Tidak … tidak,” sergah Darel. “Jangan katakan tidak berguna, Bella. Samudera hanya anak kecil yang iri pada temannya yang memiliki ayah. Jangan berpikir seperti itu, Bella.”Bella menghapus air matanya. Dia memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar yang dia tempati selama tinggal di rumah keluarga Herman. “Tetapi tetap saja, Darel.” Bella masih terisak. “Aku merasa gagal ketika Samudera masih menanyakan ayahnya. Aku gagal menjadi ayah dan mama untuknya, Darel.”Darel menghela napas pelan. Bella kembali menangis. permintaan Samudera mengenai ayahnya yang harus datang pada hari ayah membuat Bella begitu sedih.“Bella?” panggil Darel pelan.“Ya
Evan segera berdiri dari duduknya. Kedua orang tuanya memerhatikan Evan yang berjalan sedikit menjauh dari ruang makan.“Apa katamu?” Evan bertanya mencoba mengulangi apa yang Jacob ucapkan sebelumnya.“Saya melihat istri Anda bersama pria.” Jacob pun mengulangi ucapannya tadi.Evan memijit keningnya. Berita yang diberikan Jacob terlalu mengejutkan dan tidak dipercayainya begitu saja. “Jack,” ucap Evan. “Mungkin dia sedang bersama fotografer atau bagian penata riasnya.” Dia mencoba berpikir positif. Tidak mungkin istrinya berselingkuh di belakangnya. Dia tahu betul bagaimana istrinya. Sangat mencintainya. Bahkan budak cintanya.“Saya serius, Tuan.” Jacob tidak tertawa.Evan menghela napas. Dia masih tidak yakin dengan ucapan Jacob itu. “Kapan kau melihatnya?”Jacob berdehem. Dia terdiam.“Jack?” panggil Evan ketika Jacob tidak kunjung menjawab.
“Ini putriku. Isabella namanya.” Herman Pribadi menatap lawan bicaranya dengan pandangan sopan. Sang lawan bicara tersenyum ramah. Pandangan matanya tampak menilai Bella secara menyeluruh. “Anda tidak mengatakan memiliki dua orang putri yang cantik,’’ ucap lawan bicara dengan postur tubuh gempal tersebut. “Nah,” Chloe menyela sebelum Herman menjawab lebih lanjut. Dia tidak ingin suaminya tersebut mengatakan bahwa Bella merupakan putri angkat. “Putriku ini tinggal di Semarang, Pak Bondan.” Chloe sudah mengatakan kalimat itu berulang kali pada banyak kolega Herman. Bella senang keluarga yang selama ini menampungnya ketika kesusahan telah menganggapnya sebagai anak kandung sendiri. “Dia ikut dengan saudaraku di sana. Sekolah.” Chloe berkata lagi. Merekayasa kehidupan baru Bella demi kebaikan bersama. Beberapa minggu lalu Chloe membangunkannya dari mimpi buruk. Mimpi buruk mengenai Evan yang akan membawa pergi Samudera. Pada akhirnya, Bella hanya memberitahukan pada Chloe mengenai nam
“Bapak kenapa, Darel? Bapak sehat, kan?” Bella bertanya lagi untuk kedua kalinya tatkala Darel masih belum menjawab pertanyaan itu.“Bella, kamu bisa pulang cepat ke Semarang?”Alis Bella bertambah kerutnya. “Ada apa?”Dia keluar dari toilet tanpa melihat kiri dan kanan. Chloe telah menunggunya tepat di depan pintu masuk toilet. Wanita paruh baya itu nampak cemas. “Bella,” panggil Chloe. Tangannya terulur menarik tangan Bella yang tampak tidak memikirkan sekitar. Dia berjalan tergesa.Tarikan itu membuat Bella berhenti. Matanya menatap Chloe. Namun, telinganya mendengar penjelasan Darel. “Bapakmu masuk rumah sakit, Bella. Kecelakaan. Bisakah kamu pulang cepat?”Mata Bella kosong. “Bapak masuk rumah sakit?” tanyanya setengah berbisik.Chloe yang mendengar itu serta merta menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia mendengar jelas apa yang diucapkan oleh anak angkatnya tersebut. Segera Chloe menarik Bella menjauh dari toilet tersebut. Bella hanya menurut saja mengikuti tarikan tangan C
“Kita ketemu Kakek.” Bella menjawab singkat. Dia belum pernah menceritakan mengenai Timo pada Samudera. Terlalu sakit hatinya pada Timo membuatnya tidak sanggup mengatakan pada putranya tersebut. Namun, kini dia telah membuka hatinya untuk memaafkan segala kesalahan Timo. Walau bagaimana pun Timo adalah orang tua kandungnya. Bapak kandung yang merawatnya walau dengan cara yang salah sekalipun.“Kakek? Kakek yang mana, Ma?”Bella menghentikan langkahnya ketika sampai di depan pintu masuk rumah sakit menuju IGD. Dia berjongkok mensejajarkan tingginya dengan sang putra. “Kakek Timo itu Ayah kandungnya Mama, Nak.”Samudera serta merta mengerti. “Oh, tidak pergi jauh seperti Ayah aku, ya, Ma?”Pertanyaan itu membuat hatinya tercubit. Samudera masih mengharapkan dapat bertemu muka dengan Evan. Bahkan selembar foto bersama Evan saja dia tidak punya, bagaimana bisa memberitahukan wajah pria itu pada Samudera? Selama bersama dengan Evan, pria itu sama sekali tidak suka difoto. Seharusnya dia b
“Sudah pulang, Sam?” Bella tersenyum pada Samudera yang masuk ke dalam toko bunga dengan wajah lelahnya.“Iya, Ma.” Samudera menyahut pelan kemudian menguap. Digaruk-garuk kepalanya masih seraya menguap lebar. “Capek.” Dia mulai mengeluh.Bella tersenyum. Dia menyusun tangkai bunga krisan pesanan pelanggan di dalam vas bunga dengan corak abstrak perpaduan putih dan cokelat itu. “begitulah sekolah tetapi akan berguna suatu saat nanti, Nak,” ucapnya lembut.Samudera membuka lemari pendingin yang ada di sudut toko itu lalu sejenak termangu melihat isinya. “Siapa yang kasih kue cokelat, Ma?” tanyanya heran. Setahunya, Mamanya tidak pernah menyukai hal yang berbau cokelat entah sejak kapan. Namun, kue cokelat itu sudah terpotong sedikit.“Dari Om Darel, Sam.” Bella menjawab dengan fokus yang tidak berkurang pada bunga pesanan tersebut.Mendengar kalimat itu membuat Samudera tersenyum lebar. Dia menarik keluar kue cokelat tersebut dari lemari pendingin. “Om Drel datang kemari, Ma?”Bella me
“Aku sedang bersama teman-temanku, Sayang. Di restoran. Makan bersama.”Evan memejamkan matanya. Dia kecewa dengan jawaban istrinya tersebut. Telepon yang dia genggam dikepalkannya kuat dengan satu tangannya. “Restoran?”“Ya,” jawab Makena ringan. “Masih di California, Sayang. Tenang saja.”“Baik.” Evan menjawab singkat lalu menutup teleponnya. Dia tahu di mana Makena berada sekarang. Istrinya itu berada di luar California. Makena berbohong lagi padanya.“Aku ingin memakinya,” gerutu Evan.Dia masih di ruang kerjanya. Pikirannya serasa penuh dan dia enggan untuk pulang saat waktu sudah menunjukkan lewat dari tengah malam. Diletakkan ponselnya di atas meja kerja lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Dia tidak bisa tidur nyenyak. Biasanya dia bisa saja tidur walau dalam keadaan duduk di ruang kerjanya seperti sekarang ini. Diusap wajahnya lalu menggeram pelan. Dia memukul meja kerjanya kesal.“Aku mencoba untuk tidak percaya,” ucapnya lagi lalu menghela napas. “Jika benar Makena seling