Mas Akram menunjukkan sikap seperti bukanlah dirinya. Dia meraung, menjerit dan menggelepar seperti makhluk air yang terdampar di daratan, sementara Fara di sisinya terlihat sangat panik. "Mas, kamu kenapa, Mas? Ini aku Fara. Mas Akram ..." ucapnya mencoba untuk menyadarkan suamiku yang masih menggelepar. Aku pun meraih kedua kaki Mas Akram yang terasa dingin, tapi basah oleh keringat. Sentuhanku membuat Mas Akram menendang-nendangkan kakinya ke udara seolah mencoba untuk melepaskan diri dariku. Padahal aku hanya menyentuh--tidak lebih dari itu. "Pergi! Kamu 'gak sadar kalau dia 'gak suka kamu sentuh," bentak Fara padaku. Kesal! Tentu saja. Aku adalah istri sah Mas Akram. Aku lah wanita yang pernah menyentuh suamiku luar dalam. Tapi sikap Fara menunjukkan bahwa seolah-olah dirinya lah yang berhak menyentuh suamiku. Pelukan itu, sungguh membuatku semakin terbakar. Namun, aku bisa berbuat apa? Suamiku sendiri bahkan seolah menolakku, tapi justru membebaskan Fara menyentuhnya dem
Cukup lama Fara memelas di luar kamar, sementara Mas Akram terus terusan memanggilnya. Aku pun tetap membaca surah-surah syifa' sambil mengaktifkan ponselku dan berbalas pesan dengan Via. Kukirimkan pesan berulang kali ke ponsel mama mertua. Jujur saja aku kepikiran dengan putraku yang sejak tadi kuabaikan. Aku tak punya pilihan lain selain tetap berada di ruanganan ini. "Apa gue perlu nyamperin rumah lo?" tanya Via padaku. Dia pun mengkhawatirkan keselamatanku. Dia takut jika Mas Akram mengamuk karena aku mengunci diri bersamanya, atau kenekatan Fara yang bisa saja terjadi. Di saat yang bersamaan mama mertuaku mengirim pesan ke ponselku, "Mama bawa Zubair berobat ke ustadz, anak kamu rewel banget, Hafsa. Nanti mama jelaskan di rumah, mama gak lama, kok. Pantau terus suamimu. Kalau ada apa-apa kabarin mama ya," ucap mama mertuaku memberi wejangan. Aku sedikit lega meski rasa panik itu belum sepenuhnya hilang. Tangisan Fara yang pilu masih terdengar di depan pintu, tangisan yang m
"Hafsa, Mas lapar," ucap Mas Akram saat gelap memeluk bumi. Kupaksakan diri ini tersadar. Rupanya sudah dua jam aku tertidur di sisi suamiku. Ah ... Tubuhku benar-benar letih dengan payuda** yang membengkak. Seharian ini aku tak menyusui Zubair. Apa boleh buat, saat ini dia harus kukalahkan sejenak. Aku terpaksa fokus pada kesembuhan Mas Akram yang tak boleh lepas dari pantauanku. "Mas ..." ucapku bergeser mendekatinya. Wajah tampan suamiku yang tersenyum membuat letih ini terbayarkan. Jarang sekali dia menghadiahiku senyuman semanis itu. Namun, hati ini kembali tercubit manakala kumengingat bahwa senyuman yang serupa selalu dia berikan pada Fara. "Mas lapar," ulangnya. Tentu saja, sejak tadi dia tidur dan terus meracau. Lepas Isya' barulah dia sedikit tenang sehingga aku bisa beristirahat di sisinya. Selama itu dia tidak memakan apa pun. Bahkan, seingatku dia sempat memuntahkan seluruh isi perutnya. Aku yakin dia tertidur dalam keadaan perut yang benar-benar kosong."Maaf Mas, a
"Aaaa! Api ... Api ..." Tiba-tiba saja percakapan kami terhenti saat terdengar teriakan dari lantai bawah. Aku dan Mas Akram meyakini bahwa itu adalah suara yang bersumber dari kamar Mama Mertua. Gegas aku berlari menuju sumber suara, sementara Mas Akram mengenakan celana piyama panjangnya dengan tergesa tanpa memedulikan tubuh bagian atasnya yang masih polos. "Ma, kenapa?" tanya Mas Akram. Aku justru takjub dengan suamiku sendiri, bukankah kondisinya masih belum sepenuhnya pulih. Tapi, pergerakannya begitu gesit saat berlari di belakangku tadi. "Api!!!" Mama Mertua kembali histeris dengan menunjuk tembok kamarnya. "Gak ada api, Ma. Mama cuma mimpi," ucap Mas Akram. Aku pun menoleh ke arah dinding tembok yang dimaksud. Benar kata suamiku, tak ada api di sana. Kondisi mama yang berkeringat dengan tempat tidur yang berantakan membuatku yakin bahwa beliau sedang bermimpi buruk. Segera aku menuju dapur untuk mengambil air minum, tapi sosok Fara yang berdiri di tangga membuatku hampir
AKRAMSituasi sulit kini harus aku jalani agar aku bisa mengendalikan prasangka buruk mama dan Hafsa. Mau tidak mau aku harus sedikit bersandiwara di hadapan mereka. Maafkan aku, Fara ... Hanya dengan mengabaikanmu lah cara terbaik agar kita bisa terus bersama. Walau ingin rasanya aku meluapkan amarah pada mereka yang berusaha memisahkanmu dariku. "Hafsa, Mas lapar," ucapku ketika tengah malam. Sebelumnya aku mendapati istriku terlelap di sisiku. Kumanfaatkan waktu untuk menghubungi Fara-ku selagi Hafsa sibuk dengan mimpinya. Aku yakin Fara-ku tengah bersedih karena aku tak bisa menepati janji untuk tidur bersamanya malam ini dan malam-malam selanjutnya. Sadar ... Aku sungguh sadar akan posisiku sebagai seorang suami yang seharusnya memprioritaskan anak dan istriku. Namun, aku tak mampu melawan rasa untuk terus melindungi Fara. Aku pun tak sepenuhnya yakin jika Fara adalah adik biologisku. Kudengar bahwa ibu kandungnya merupakan mantan pekerja se* komersial. Seperti yang pernah dika
HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan
WIDYABang**t!Rupanya Fara tidak kapok dengan ancamanku. Apa dia tidak takut mendekam di penjara jika aku lanjutkan penyelidikan yang tertunda atas kematian Ashraf bersama selingkuhannya itu. "Kamu pikir aku selamanya bod*h? Aku tahu kamu sengaja memanipulasi semuanya! Kamu yang membuat Om Ashraf dan Tante Fenny meregang nyawa--bukan aku!" ucap Fara saat Akram dan Hafsa tak sedang berada di rumah. Baru saja aku menyaksikan adegan menjijikkan antara mantan maduku itu bersama putra semata wayangku. Aku yakin Fara-lah yang membuat Akram tunduk seperti itu. Mana mungkin Akram suka rela menyentuh perempuan kotor itu jika bukan dalam keadaan sadar. Bukankah Akram hanya menganggapnya sebagai adik se-ayah.Mataku membola saat melihat Fara menunjukkan bukti CCTV yang selama ini kusimpan di tempat yang paling aman. Bagaimana dia bisa menemukan benda penting itu. Dia pasti sudah mencurinya. Argh! Seharusnya sejak lama aku memusnahkan benda itu! Pantas saja dia semakin berani menunjukkan perla
'Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.' (QS. An-Nisa:78)'Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.' (QS. Al-Anbiya:35)Tubuhku luruh ke tanah dengan lutut yang menopang berat badan. Mobil ambulan berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga. Jiwa sekarat yang berada di dalam sana sedang menanti keputusan Allah. Apakah masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat, atau kah pergi menuju azab Allah dalam kematian yang buruk. "Ma!" teriak Mas Akram di sisi kantong jenzah yang akan dibawa oleh mobil bersirine untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Ya, mertuaku lah korban yang tak selamat dalam kejadian ini. Layak kah beliau menjadi korban? Allah Maha Tahu. Aku pu tak mampu menghakimi Fara yang juga memiliki nasib nahas. Apa lagi aku belum mengetahui sedikit pun kronol