AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
“Jangan berisik, Hafsa. Mas 'gak mau kalau Fara mendengarkan kita!” ucap suamiku dengan berbisik tapi begitu ketus di indra pendengaranku yang seketika saja membuatku terhenyak. Memangnya apa yang salah dengan suara decitan samar dari tempat tidur yang menjadi saksi bisu percintaan halal kami. Lagi pula kamar Fara jauh berada berseberangan dengan kamar ini, tepatnya terpisah oleh tangga penghubung dari lantai bawah menuju lantai dua, di mana kami berada sekarang. Meski letak kamar kami berada di lantai yang sama, kurasa sangat mustahil jika Fara mendengarnya. Bukankah kamar ini dirancang kedap suara? Fara adalah adik iparku satu-satunya. Meski dia seorang adik ipar, usianya terpaut empat tahun lebih tua dariku, sementara usiaku dengan Mas Akram-- pria yang menikahiku empat tahun yang lalu itu terpaut enam tahun lebih tua dariku. Entah mengapa aku lebih mengkhawatirkan Fara masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami dibanding wanita-wanita cantik di luaran sana. Sejenak aku mengernyit
“Mas!” Kupanggil suamiku di muara pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Masih nampak sisa-sisa air mata di pipi Fara. Dia menatapku sendu. Cih! Pandai sekali dia bersikap rapuh untuk mendapatkan simpati suamiku.“Kamu akan tidur di kamar ini, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Fara mengalihkan pandangan yang tadinya ke arahku menuju wajah suamiku yang berada di puncak kepalanya. Menjijikkan! Dia terlihat bersikap manja pada kakak kandungnya sendiri. ‘Ingat umur, Fara … Kamu bukan gadis muda lagi yang masih pantas bersikap manja,' gerutuku di dalam hati. “Fara bermimpi buruk lagi, dan aku yang akan menemaninya malam ini,” ucap suamiku yang bagiku terdengar seperti lelucon. “Mas." Fara kembali merengek seolah dirinya adalah makhluk yang sangat lemah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh suamiku.Tubuhnya yang minim pakaian, menempel di dada bidang suamiku. Sungguh aku ingin menguliti perempuan ini hidup-hidup. Mas Akram pun seolah merasa bahwa sikap adiknya itu waja
Malam itu juga aku melahirkan putra kami. Beruntung kami memiliki sopir yang sangat cekatan membantuku dan mama mertua dengan mengantarkan kami ke rumah sakit. Mas Akram datang menampakkan wajah tak bersalahnya di hadapanku tepat setelah tiga hari kelahiran Zubair. Aku pun seolah tak punya tenaga untuk mengajaknya berdebat. Aku masih terlalu lelah setelah melahirkan dengan jalan operasi caesar, karena ternyata air ketubanku sudah benar-benar kering sementara pembukaan pada jalan lahir tak mengalami peningkatan sama sekali. “Maaf,” ucap suamiku saat mata kami saling berserobok. Aku bergeming, tak berminat untuk membahas kejadian malam itu. Suasana hatiku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku berusaha agar tidak terserang baby blues seperti yang dikhawatirkan sebagian besar perempuan di dunia ini. Dengan tetap berpikiran positif, kucoba untuk mengendalikan diri ini. “Malam itu mas berenang di villa. Mas baru pulang menemani Fara ke acara pesta pernikahan sahabatnya tepat setelah kam
Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah. Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham. Mas Akram, mungkin
Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya. “Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar. Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain. “Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara. “Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulak
“Mas, dia mau bunuh aku.” Kulihat tubuh gemetar Fara yang basah dengan keringat dingin. Air mata lalos membasahi kedua pipinya, sementara Mas Akram terlihat panik sambil mendekap perempuan itu. Baiklah, kurasa segala penjelasan Mas Akram beberapa saat yang lalu memang memiliki korelasi dengan apa yang aku saksikan sekarang. Rasa kasihan tumbuh di hati kecil untuk saudari iparku. Namun, bukan berarti aku harus percaya sepenuhnya begitu saja. “Hafsa, bolehkah--” ucap Mas Akram dengan tatapan memohon setelah adik kesayangannya nampak sedikit tenang. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia akan menemani Fara tidur lagi hingga esok pagi. Meski aku tak rela, sisi kemanusiaanku masih bersedia untuk memaklumi. “Silakan aja, Mas. Tapi besok kita harus lanjutkan pembicaraan kita,” pintaku sambil membereskan sisa pecahan kaca. Beruntung jendela kamar Fara memiliki sistem security tambahan berupa krey aluminium, sehingga meski kacanya pecah tapi ada alternatif lain untuk menutup jendela. Seb