Share

Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar
Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar
Penulis: Madam Assili

Chapter 1 (Malam yang Terganggu)

“Jangan berisik, Hafsa. Mas 'gak mau kalau Fara mendengarkan kita!” ucap suamiku dengan berbisik tapi begitu ketus di indra pendengaranku yang seketika saja membuatku terhenyak. Memangnya apa yang salah dengan suara decitan samar dari tempat tidur yang menjadi saksi bisu percintaan halal kami. Lagi pula kamar Fara jauh berada berseberangan dengan kamar ini, tepatnya terpisah oleh tangga penghubung dari lantai bawah menuju lantai dua, di mana kami berada sekarang. Meski letak kamar kami berada di lantai yang sama, kurasa sangat mustahil jika Fara mendengarnya. Bukankah kamar ini dirancang kedap suara?

Fara adalah adik iparku satu-satunya. Meski dia seorang adik ipar, usianya terpaut empat tahun lebih tua dariku, sementara usiaku dengan Mas Akram-- pria yang menikahiku empat tahun yang lalu itu terpaut enam tahun lebih tua dariku. Entah mengapa aku lebih mengkhawatirkan Fara masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami dibanding wanita-wanita cantik di luaran sana.

Sejenak aku mengernyit menatap suamiku. Kurasa tak ada binar bahagia di raut wajahnya saat ini, padahal aktivitas suami istri adalah hal yang begitu menyenangkan bagi setiap pasangan. Mas Akram yang tadinya berada di atas tubuh ini tiba-tiba saja melepaskan diri dan meninggalkanku begitu saja menuju kamar mandi yang terhubung dengan kamar pribadi kami. Sudah pasti dia akan segera membersihkan tubuhnya dan menganggap permainan ini sudah selesai meski menurutku baru saja dimulai.

Di usiaku yang sekarang beranjak dua puluh delapan tahun ini, bukankah tak aneh jika aku menginginkan untuk memiliki banyak anak dari pasangan halalku sendiri. Usiaku memang masih sangat memungkinkan untuk mengandung dan melahirkan lagi. Tapi, jika sikap suamiku selalu begini, bagaimana bisa kami memperbanyak keturunan. Dia selalu banyak alasan agar bisa menghindar dari menyentuhku--istri sah yang punya hak atas jiwa dan raganya.

Ada luka basah tak kasat mata yang tiba-tiba berdenyut perih di dalam dadaku. Mengapa suamiku bersikap seperti ini dan selalu mengatasnamakan adiknya. Aku merasa seolah terhina sebagai seorang istri yang ditinggalkan, seolah suamiku tak berminat padaku lagi. Jika memang dia tidak menginginkanku, mengapa dulu dia bersikeras untuk menikahiku meski sudah berulang kali kutolak lamarannya.

Ini bukan kali pertama terjadi. Tak mampu lagi kuhitung sudah berapa kali aku menghamburkan air mata dengan sia-sia. Bahkan, Mas Akram tak peduli dengan luka yang aku rasakan. Kali ini aku tak ingin lagi terlihat lemah. Seperti biasa, Mas Akram dengan gestur tenangnya keluar dari kamar mandi dan berjalan santai ke arah walk in closet untuk mengenakan piyama tidur. Dia melewatiku begitu saja tanpa menoleh sama sekali. Sesaat aku mengerling saat bayangannya melintas. Aku pun bergegas membersihkan diri meski jika boleh jujur ingin rasanya aku meneriakkan amarah yang menghantam dadaku.

Sebelumnya, kupungut pakaian suamiku yang tercecer di lantai yang sudah pasti tidak akan dia kenakan kembali. Dia adalah seorang pria pengidap mysophobia yang mudah jijik dengan hal-hal yang berpotensi kotor, seperti pakaian bekas pakai atau hal-hal yang dia anggap kotor lainnya.

Beberapa saat setelahnya, aku keluar dari kamar mandi dengan berpakaian lengkap. Kudapati Mas Akram berdiri di sisi ranjang mengenakan bawahan piyama tanpa atasan yang mengeksplor dada bidang serta bentuk perut ideal dan sangat menarik dari seorang pria dewasa. Pria tampanku ini sungguh memesona dengan segala kelebihan fisik yang dia miliki. Tapi sayang, kesempurnaannya cacat dengan sikap dinginnya padaku, dan semua itu selalu bersumber dari Fara--adik yang terlalu dia manjakan.

Mas Akram menghunusku dengan tatapan menghujam seolah memberikan isyarat. Tentu aku tahu apa maksud dari tatapan itu. Mas Akram pastinya tak akan menghabiskan malam untuk tidur di atas ranjang yang tidak diganti seprainya. Terlebih lagi kami baru saja melakukan aktifitas suami istri yang bagiku berakhir menyedihkan. Dia ingin melayangkan protes karena aku belum mengganti seprai yang dia anggap menyisakan bakteri dan bisa dengan mudah menginfeksi tubuhnya.

Selama ini kurasa aku sudah mengurusnya dengan baik, menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai seorang istri. Bahkan, tak sekalipun aku mengeluh dengan kondisi phobia Mas Akram yang terkadang menyulitkan. Biarlah kali ini aku bersikap seolah tak peduli. Kurebahkan tubuh ini di atas tempat tidur tanpa banyak bicara. Aku pun tak ingin membahas kejadian yang baru saja terjadi, karena nantinya hanya akan diakhiri dengan adegan pertengkaran. Aku terlalu lelah dengan sikapnya selama ini.

“Hafsa!” ucapnya dengan intonasi meninggi.

“Hussst … Jangan berisik, Mas. Tidur adikmu akan terganggu dengan suaramu itu.” Kuucapkan kalimat itu sebagai balasan dari ucapannya yang menyakitkan beberapa saat yang lalu tanpa menoleh ke arahnya. Cukup masuk akal, bukan?

Kudengar Mas Akram mengembuskan napas kasar. Sementara, kugeser posisi tidur dengan memunggungi sisi tubuh suamiku itu. Beberapa saat kudengar langkah kakinya sedikit menjauh. Bukan tak peduli sama sekali, aku pun sebenarnya diam-diam menajamkan pendengaran untuk mengetahui apa yang akan dia lakukan, dan benar saja! Tak lama setelahnya, di sisi ranjangku terasa ada pergerakan. Dapat kurasakan pria itu melesakkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Kuubah posisi tidur menghadap langit-langit kamar. Sekilas aku menoleh ke sisi kanan, di mana suamiku merebahkan tubuhnya. Kusadari ada yang berbeda di tempat tidur kami. Mas Akram meletakkan selimut sebagai alas untuk melindungi tubuhnya dari seprai yang tidak kuganti.

Entahlah, aku tak pernah tahu apa penyebab dirinya mengidap mysophobia separah ini. Aku tak pernah punya nyali bertanya lebih jauh, karena Mas Akram pastinya menanggapi pertanyaanku dengan wajah masam. Padahal, jika dipikir-pikir apa salahnya memberikan penjelasan tentang masalah yang dia alami. Bukankah posisi seorang istri bisa menjadi sahabat terbaik bagi suaminya? Tapi tidak dengan Mas Akram, dia tidak memosisikan diriku sepenting itu. Aku layaknya dijadikan sekedar pelengkap kehidupannya yang ingin terlihat normal. Seolah kehidupannya tak berbeda dengan pria pada umumnya. Memiliki seorang istri dan anak, cukup membuktikan bahwa kehidupannya tak terlihat timpang.

Kuanggap rumah tangga ini tak normal seperti yang terlihat. Bagaimana bisa seorang suami enggan menyentuh istrinya sendiri dalam waktu yang lama, bahkan kasih sayang dan perhatiannya jauh lebih besar terhadap adiknya dibanding aku dan putra kami. Tak kuragukan bahwa Mas Akram sangat mencintai putra kami Zubair. Tapi jika dibandingkan dengan Fara, perhatian Mas Akram terhadap adik iparku itu jauh lebih besar.

Getar ponsel suamiku membuyarkan hening yang tercipta di kamar kami. Mas Akram segera mengambil benda pipih itu dengan wajah gusar. Dia bergegas meninggalkan kamar kami sehingga aku pun memutuskan untuk bangkit dan mengejarnya. Kulihat langkah panjang priaku menuju ke kamar adik kesayangannya. Ya Allah, ada apa lagi? Apakah Fara yang menghubungi ponsel suamiku selarut ini. Akan ada drama apa lagi malam ini?

Benar saja! Mas Akram memutar gagang pintu dengan kasar dan langsung masuk ke dalam kamar Fara, sementara aku mengikutinya dari belakang dengan pergerakan tak kalah cepat. Sejenak aku terhenyak saat langkahku berhenti di kamar tidur perempuan yang menggenggam hati suamiku itu. Kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Mas Akram dan Fara berada di atas ranjang yang sama, ranjang yang terlihat sangat berantakan. Bukan hanya itu, jelas sekali bagaimana sikap posesif priaku memeluk tubuh yang hanya mengenakan pakaian ‘dinas malam’ yang sepantasnya hanya nampak di hadapan suaminya sendiri. Meski sebagian besar ditutupi selimut, tapi dengan penampilan seperti itu sudah tentu membuat sisi liar lawan jenis akan dengan mudah tersulut.

Allah … Tiba-tiba saja aku merasakan kadar oksigen di sekitarku terasa berkurang drastis. Napasku sesak dengan air mata yang begitu cepat menggenang hingga nyaris tumpah. Tubuh menggiurkan perempuan itu memeluk erat suamiku dan membenamkan kepalanya di dada priaku itu. Tempat yang seharusnya hanya akulah yang memiliki. Sementara suamiku sendiri mengecupi puncak kepala adiknya dengan lembut seolah perempuan itu layaknya porselen yang harus diperlakukan dengan penuh kelembutan.

“Aku takut, Mas,” ucap Fara dengan isakkan yang kurasa memuakkan di indera pendengaranku. Cepat-cepat aku menoleh sambil mengusap pipi yang basah. Aku tak ingin dua insan yang punya hubungan gila ini menyaksikan kesedihanku kemudian menganggapku sebagai seorang wanita yang lemah dan mudah ditindas.

“Stttt … Jangan takut. Mas akan menemanimu malam ini,” jawab suamiku.

“Mas akan tidur di sampingku, 'kan?” rengek Fara. Mas Akram mengangguk dengan tersenyum. Sungguh memuakkan!

Malam ini dia akan bersama perempuan binal ini. Kurasa kata ‘binal’ pantas disematkan kepadanya. Bagaimana bisa dia mengambil semua perhatian suamiku, bahkan dengan penampilan seperti itu mereka akan tidur bersama sepanjang malam. Oh tidak! Kalian benar-benar membuatku hampir gila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status