Share

Chapter 2 (Suara Dengkuran di Dekat Ponsel Adik Ipar)

“Mas!” Kupanggil suamiku di muara pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Masih nampak sisa-sisa air mata di pipi Fara. Dia menatapku sendu. Cih! Pandai sekali dia bersikap rapuh untuk mendapatkan simpati suamiku.

“Kamu akan tidur di kamar ini, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. 

Fara mengalihkan pandangan yang tadinya ke arahku menuju wajah suamiku yang berada di puncak kepalanya. Menjijikkan! Dia terlihat bersikap manja pada kakak kandungnya sendiri. 

‘Ingat umur, Fara … Kamu bukan gadis muda lagi yang masih pantas bersikap manja,' gerutuku di dalam hati. 

“Fara bermimpi buruk lagi, dan aku yang akan menemaninya malam ini,” ucap suamiku yang bagiku terdengar seperti lelucon. 

“Mas." Fara kembali merengek seolah dirinya adalah makhluk yang sangat lemah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh suamiku.Tubuhnya yang minim pakaian, menempel di dada bidang suamiku. Sungguh aku ingin menguliti perempuan ini hidup-hidup. Mas  Akram pun seolah merasa bahwa sikap adiknya itu wajar. Kurasa mereka benar-benar memiliki gangguan jiwa! Bolehkah jika aku meminta cerai saat ini juga?

“Tapi, Mas. Biar aku yang--" Ucapanku tak kutuntaskan karena Mas Akram buru-buru membungkamku dengan tatapan nyalang. 

“Kamu 'gak dengar kalau adikku bermimpi buruk. Aku akan menemaninya malam ini. Kembali saja ke kamarmu sekarang, biar Fara aku yang urus.”

Kembali suamiku menjatuhkan pandangan ke wajah adiknya lalu mengecup puncak kepala perempuan itu. Persetan atas apa yang terjadi dengan mereka berdua, aku sudah muak dan benar-benar ingin meninggalkan rumah ini sekarang juga. Biarlah dua orang kakak beradik yang mengidap kelainan jiwa ini hidup dengan cara yang mereka inginkan.

Kecewa? Tentu saja! Segunung harapan terindahku membina rumah tangga bersama Mas Akram runtuh atas sikapnya padaku. Rasa cintaku yang  tulus tak berbalas seperti yang aku harapkan. Dengannya aku menggantungkan harapan besar  agar hidup kami  bahagia bersama hingga menua nanti. Membesarkan kemudian melepaskan anak-anak kami untuk belajar  menapaki kehidupan di  setiap sisi dunia. Kuhharap nantinya pada mereka lah terselip  doa-doa untuk aku dan Mas Akram saat hidup kami berakhir terkubur di inti bumi, menjadi penyelamat kami di alam baqa untuk kemudian berkumpul kembali di syurga-Nya kelak. 

Harapanku sepertinya berlebihan. Ingin se-syurga bersama lelakiku itu, tapi di dunia saja dia mengabaikanku dan putra kami yang seharusnya mendapatkan perhatian dari ayahnya.  Lihat saja, Mas! Aku bisa hidup tanpamu. Hanya berdua dengan Zubair, putra semata wayang kami. Kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Zubair tak boleh tumbuh dengan menyaksikan kelakuan aneh ayah dan tantenya. Jika tidak, aku khawatir dia akan terpengaruh nantinya di masa mendatang. 

Kulangkahkan kaki menuju ke arah kamar putraku yang berada di samping kamar pribadiku bersama  Mas Akram. Kamar itu dulu milik adik iparku saat Mas Akram belum menikahiku. Perlahan aku memutar knop pintu agar Zubair tak terkejut dengan suara dan pergerakan yang muncul secara tiba-tiba. Sebuah tangan dengan kulit yang mengendur menghentikan putaran knop pintu. 

“Hafsa,” ucap ibu mertua berbisik dengan gelengan kepala yang dia jadikan sebagai sebuah isyarat agar aku urung melakukan apa yang aku niatkan sebelumnya. 

“Ma,” ucapku dengan suara yang bergetar. Runtuh sudah tangisku di hadapan wanita paruh baya di hadapanku ini. Dialah wanita yang kupanggil mama--mama mertua yang berada di pihakku, yang mencintaiku melebihi anak-anaknya sendiri. Beruntung aku memiliki mama mertua sepertinya. Jika tidak, mungkin sudah sejak lama aku meninggalkan kehidupan gila di rumah ini. 

“Mama tahu kamu sedang terluka, tapi bisakah kamu bertahan sebentar saja demi mama, nak?” pinta ibu mertuaku dengan cairan yang  menganak sungai di mata tuanya.

Kupeluk wanita yang begitu aku hormati itu dengan erat. Mungkin saja aku bisa mendapatkan sedikit kekuatan setelah badai besar yang baru saja menghantamku dengan berbagi rasa  bersamanya. Wanita mana yang rela melihat suaminya sendiri bersikap posesif terhadap orang lain meski itu adalah saudari kandungnya sendiri. Apalagi sikap Mas Akram sangat tak wajar sebagai seorang saudara dari perempuan yang dia sebut sebagai adik. 

“Bersabarlah sebentar lagi, Hafsa. Setidaknya jangan pergi meninggalkan mama. Mama mungkin akan gila jika kau dan Zubair meninggalkan mama dan terjebak bersama dua orang aneh itu di rumah ini.” 

Memang ini bukanlah yang pertama kali aku berniat meninggalkan Mas Akram, dan mama lah yang selalu memintaku bertahan untuk tidak meninggalkan rumah ini. Mama memohon agar aku tetap berada di sini demi dia, bukan demi suamiku itu, karena mama pun sadar bahwa tak ada yang bisa kuharapkan dari pria itu. Cinta, kasih sayang, bahkan materi tak dia berikan sesuai hakku sebagai seorang istri. 

Kugenggam kedua tangan mama yang semakin hari terasa semakin kurus, “Ma, bisakah kau pergi saja ikut bersamaku dan Zubair? Kita  mulai kehidupan baru jauh dari mereka.”

Memang permintaanku terdengar mustahil. Bagaimana mungkin aku meminta seorang ibu meninggalkan anak-anak kandungnya, sementara diriku hanyalah seorang menantu--orang baru yang kebetulan singgah sebagai bagian dari keluarga yang sewaktu-waktu bisa saja kembali berubah status sebagai orang asing. 

Dulu, mama mertua tak sebaik seperti sekarang. Di awal pernikahan, beliau kurang menyukaiku. Entah apa alasannya, kurasa beliau hanya sedikit khawatir atas kehadiranku  yang mencuri perhatian anak lelakinya. Padahal tak seperti itu kenyataannya. Keberadaanku tak layak disebut sebagai istri yang dicintai. Bahkan, kerap kali aku mendapatkan sikap dingin dari suamiku sendiri. Bagaimana mungkin aku berhasil merebut seluruh perhatiannya seperti yang dikhawatirkan mama pada saat itu. Seiring waktu beliau sendiri lah yang mencoba mendekatkan diri kepadaku. 

____

“Hafsa sedang mengandung, Fara. Apa ‘gak sebaiknya kamu tunda saja kepergianmu itu. Kalau sewaktu-waktu dia melahirkan sementara Akram ’gak di sini, apa yang akan terjadi?”  Kudengar perdebatan antara mama dan Fara saat Zubair masih berada di dalam kandunganku. Saat itu Mas Akram sedang berada di perjalanan pulang dari perusahaan--tempat di mana dia memimpin usaha, menggantikan posisi ayah mertua sebelum beliau meninggal beberapa tahun yang lalu. Atas permintaan adik iparku, Mas Akram tak menolak untuk menemani perempuan itu menghabiskan akhir pekan di villa milik mendiang ayah mertua di puncak Bogor. Menurut Fara, di tempat yang tak jauh dari villa itu ada pesta pernikahan sahabatnya yang akan berlangsung. Sehingga dia pun memutuskan untuk bertahan sehari setelah pesta pernikahan itu berlangsung, yang artinya Mas Akram dan Fara akan meninggalkanku bersama mama di rumah ini selama kurang lebih dua atau tiga hari. 

Saat itu aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Hanya saja aku sedikit kecewa karena Mas Akram tak mengindahkan permintaanku untuk mempersingkat waktu kepergiannya. Bukan tanpa alasan, selama seminggu belakangan ini aku merasakan kontraksi ringan. Dokter menjelaskan  bahwa yang aku alami ini kemungkinan  hanyalah kontraksi palsu karena menurut pemeriksaan terakhir, posisi kepala janin masih sangat jauh dari jalan lahir. 

“Mas Akram  yang ‘gak bolehin Fara pergi sendirian, makanya Fara minta Mas Akram yang menemani. Lagi ’pula kalau ada apa-apa kan ada sopir. Manja banget 'sih! Semua serba suami. Jadi perempuan itu harus mandiri, lah!” Fara menjawab ucapan ibunya dengan sengit. 

Bukan manja namanya jika seorang istri membutuhkan suaminya sendiri di saat-saat kelahiran putra pertama kami sudah dekat. Justru yang manja itu adalah sikapnya yang begitu bergantung pada kakaknya sementara permintaannya itu tidak begitu mendesak. Bukankah dia adalah perempuan dewasa yang bisa meminta bantuan teman atau sepupu wanitanya yang lain untuk menemani menghadiri acara yang dia maksud. 

Hingga waktu itu tiba. Mereka berdua pergi meninggalkan kami. Meski sikapnya kerap dingin, Mas Akram masih menunjukkan sisi baiknya sebagai seorang suami. Sebelum dia pergi, pria itu berpamitan padaku. Dia berikan kecupan di antara kedua alisku. Kemudian kecupan itu berpindah ke permukaan perutku yang membuncit. 

“Mas! Ayo!” teriak Fara dengan wajah kesal menghentikan perlakuan manis Mas Akram padaku. 

“Maaf … Fara sudah lama menunggu. Mas pergi dulu ya, jangan lupa kabari mas jika terjadi apa-apa.” Barisan kalimat dari mulut  Mas Akram terdengar seperti secercah harapan bagiku bahwa sebenarnya ada cinta darinya untukku dan buah hati kami. Tapi, karena dia adalah satu-satunya pria di keluarga ini, maka aku harus dengan rela membiarkan priaku membagi perhatian pada ibu dan adiknya. Itulah yang selalu aku gaungkan pada diriku sendiri sejak di awal pernikahan, bahwa aku tak boleh egois meski rasa cemburu pun pasti pernah kurasakan. 

Manusia hanya mampu memprediksi, tapi Allah-lah pemegang kuasa sepenuhnya. Tak lama setelah kepergian suami dan adik iparku, kembali kurasakan kontraksi menyerang rahimku. Namun, kali ini tak seperti biasanya. Durasinya cukup lama dan terasa lebih berat. 

Kucoba untuk berpikir positif bahwa hal ini mungkin terjadi hanya karena aku kelelahan. Rasa sakit ini cukup kurasakan sendiri meski sejujurnya aku pun khawatir jika waktu  kelahiran buah hatiku tak sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh dokter. Kusibukkan diri ini dengan beristighfar saat rasa sakit itu kembali menyerang. Kukirim pesan pribadi ke akun hijau milik suamiku, tapi sepertinya ponsel milik lelakiku itu sedang tidak aktif. Hingga tengah malam, pesan dariku tak juga dibacanya. Aku hanya mengirimkan pesan singkat menanyakan apakah dia sudah tiba di tujuan. 

Ah, sepertinya nyeri yang kurasakan bukan lagi kontraksi palsu. Feeling-ku mengatakan bahwa saatnya sudah dekat untuk bertemu dengan buah hati kami. 

“Mas,” ucapku getir dengan bulir peluh di wajah. Kuusap perutku dengan lembut, tapi rasa sakit itu justru semakin intens. Aku tak ingin mengganggu tidur mama mertua, karena saat itu malam sudah sangat larut. Aku berharap jika diri ini masih bisa bertahan hingga pagi.  Ragu-ragu kuraih ponselku. Kuputuskan untuk mencoba mengirimkan pesan pada akun suamiku itu sekali lagi. 

Hatiku cukup senang saat melihat pesanku tadi siang ternyata sudah dibaca oleh lelakiku meski dia belum membalasnya. Tak mengapa … Mas Akram mungkin belum sempat. Mungkin dia masih sibuk atau lelah setelah perjalanan dari Jakarta menuju villa milik mendiang ayah mertua di Bogor. Urung kukirimkan pesan, jadi kuputuskan untuk langsung menghubunginya saja melalui sebuah panggilan telepon. Ponselnya berdering, tapi panggilan dariku tak kunjung dia jawab. Hingga panggilan ketiga, terdengar suara di seberang sana. Suamiku menerima panggilanku, dan hal sesederhana itu mampu menerbitkan senyum di wajahku ini. Namun, di detik berikutnya senyum yang tadinya terkembang langsung  memudar digantikan kernyitan di antara kedua alisku. Bukan suara Mas Akram yang menyambut panggilanku, melainkan desahan samar yang saling bersahutan diikuti gemericik air. 

Apa yang terjadi? Apa suamiku tenggelam? Apa dia sedang mandi? Mengapa dia terdengar seperti berada di ruang penuh air tengah malam begini. Bukankah suhu di sana sangat dingin. Apa yang membuatnya memutuskan mandi selarut ini? Berbagai pertanyaan hadir begitu saja di dalam kepalaku bersamaan dengan rasa pening yang hadir tanpa henti. 

“Mas, apa yang kamu lakukan.” Aku meringis memegangi perutku yang bergejolak di dalam sana. Sementara aku belum berhasil berbicara dengan ayah dari janin yang kukandung saat ini. Aku harus memberitahunya bahwa kemungkinan dalam waktu dekat putra kami akan lahir. 

Panggilan telepon diakhiri oleh suamiku. Namun, aku tak ingin menyerah begitu saja. Kuulangi panggilanku untuk kesekian kalinya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. 

Kuabaikan keinginan untuk berbicara dengan suamiku sejenak.  Aku berharap semoga tak ada hal buruk apa pun terjadi padanya, termasuk pikiran burukku bahwa dia kemungkinan tenggelam. Jika itu memang terjadi, tentu Fara akan menghubungi orang rumah. Dengan langkah pendek sambil menahan rasa sakit kuayunkan kakiku menuju toilet, karena desakan di dalam sana membuatkan seolah ingin buang air besar. Namun, nihil … Rasa mulas itu bukan karena aku ingin buang air besar. Aku yakin rasa ini murni berasal dari kontraksi di dalam rahimku. 

Sekembalinya aku ke dalam kamar, kuputuskan untuk menghubungi Mas Akram, berharap kali ini dia akan menjawab panggilan dariku. Benar saja, akhirnya apa yang aku harapkan akhirnya terjadi. Dia menjawab panggilanku. 

“Assalamualaykum, Mas. Sepertinya aku mau melahirkan,” ucapku dengan napas tersengal. Lama tak ada jawaban, hingga beberapa detik terdengar suara serak khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Suara seorang perempuan yang pastinya  aku kenal.Ya, itu adalah suara Fara--adik iparku. 

“Hubungi besok aja ya, Mbak. Mas Akram baru aja tidur. Tadi tenaganya banyak terkuras.” Ucapan Fara terdengar berbisik, sementara ada suara dengkuran menyertai suara adik iparku. Apa itu suara dengkuran suamiku? Bagaimana bisa? Apakah mereka tidur bersama? Ya Allah! Apa aku sedang berhalusinasi?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mega Saripah
sdh tahu masih lgi bertahan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status