“Mas!” Kupanggil suamiku di muara pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Masih nampak sisa-sisa air mata di pipi Fara. Dia menatapku sendu. Cih! Pandai sekali dia bersikap rapuh untuk mendapatkan simpati suamiku.
“Kamu akan tidur di kamar ini, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi.
Fara mengalihkan pandangan yang tadinya ke arahku menuju wajah suamiku yang berada di puncak kepalanya. Menjijikkan! Dia terlihat bersikap manja pada kakak kandungnya sendiri.
‘Ingat umur, Fara … Kamu bukan gadis muda lagi yang masih pantas bersikap manja,' gerutuku di dalam hati.
“Fara bermimpi buruk lagi, dan aku yang akan menemaninya malam ini,” ucap suamiku yang bagiku terdengar seperti lelucon.
“Mas." Fara kembali merengek seolah dirinya adalah makhluk yang sangat lemah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh suamiku.Tubuhnya yang minim pakaian, menempel di dada bidang suamiku. Sungguh aku ingin menguliti perempuan ini hidup-hidup. Mas Akram pun seolah merasa bahwa sikap adiknya itu wajar. Kurasa mereka benar-benar memiliki gangguan jiwa! Bolehkah jika aku meminta cerai saat ini juga?
“Tapi, Mas. Biar aku yang--" Ucapanku tak kutuntaskan karena Mas Akram buru-buru membungkamku dengan tatapan nyalang.
“Kamu 'gak dengar kalau adikku bermimpi buruk. Aku akan menemaninya malam ini. Kembali saja ke kamarmu sekarang, biar Fara aku yang urus.”
Kembali suamiku menjatuhkan pandangan ke wajah adiknya lalu mengecup puncak kepala perempuan itu. Persetan atas apa yang terjadi dengan mereka berdua, aku sudah muak dan benar-benar ingin meninggalkan rumah ini sekarang juga. Biarlah dua orang kakak beradik yang mengidap kelainan jiwa ini hidup dengan cara yang mereka inginkan.
Kecewa? Tentu saja! Segunung harapan terindahku membina rumah tangga bersama Mas Akram runtuh atas sikapnya padaku. Rasa cintaku yang tulus tak berbalas seperti yang aku harapkan. Dengannya aku menggantungkan harapan besar agar hidup kami bahagia bersama hingga menua nanti. Membesarkan kemudian melepaskan anak-anak kami untuk belajar menapaki kehidupan di setiap sisi dunia. Kuhharap nantinya pada mereka lah terselip doa-doa untuk aku dan Mas Akram saat hidup kami berakhir terkubur di inti bumi, menjadi penyelamat kami di alam baqa untuk kemudian berkumpul kembali di syurga-Nya kelak.
Harapanku sepertinya berlebihan. Ingin se-syurga bersama lelakiku itu, tapi di dunia saja dia mengabaikanku dan putra kami yang seharusnya mendapatkan perhatian dari ayahnya. Lihat saja, Mas! Aku bisa hidup tanpamu. Hanya berdua dengan Zubair, putra semata wayang kami. Kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Zubair tak boleh tumbuh dengan menyaksikan kelakuan aneh ayah dan tantenya. Jika tidak, aku khawatir dia akan terpengaruh nantinya di masa mendatang.
Kulangkahkan kaki menuju ke arah kamar putraku yang berada di samping kamar pribadiku bersama Mas Akram. Kamar itu dulu milik adik iparku saat Mas Akram belum menikahiku. Perlahan aku memutar knop pintu agar Zubair tak terkejut dengan suara dan pergerakan yang muncul secara tiba-tiba. Sebuah tangan dengan kulit yang mengendur menghentikan putaran knop pintu.
“Hafsa,” ucap ibu mertua berbisik dengan gelengan kepala yang dia jadikan sebagai sebuah isyarat agar aku urung melakukan apa yang aku niatkan sebelumnya.
“Ma,” ucapku dengan suara yang bergetar. Runtuh sudah tangisku di hadapan wanita paruh baya di hadapanku ini. Dialah wanita yang kupanggil mama--mama mertua yang berada di pihakku, yang mencintaiku melebihi anak-anaknya sendiri. Beruntung aku memiliki mama mertua sepertinya. Jika tidak, mungkin sudah sejak lama aku meninggalkan kehidupan gila di rumah ini.
“Mama tahu kamu sedang terluka, tapi bisakah kamu bertahan sebentar saja demi mama, nak?” pinta ibu mertuaku dengan cairan yang menganak sungai di mata tuanya.
Kupeluk wanita yang begitu aku hormati itu dengan erat. Mungkin saja aku bisa mendapatkan sedikit kekuatan setelah badai besar yang baru saja menghantamku dengan berbagi rasa bersamanya. Wanita mana yang rela melihat suaminya sendiri bersikap posesif terhadap orang lain meski itu adalah saudari kandungnya sendiri. Apalagi sikap Mas Akram sangat tak wajar sebagai seorang saudara dari perempuan yang dia sebut sebagai adik.
“Bersabarlah sebentar lagi, Hafsa. Setidaknya jangan pergi meninggalkan mama. Mama mungkin akan gila jika kau dan Zubair meninggalkan mama dan terjebak bersama dua orang aneh itu di rumah ini.”
Memang ini bukanlah yang pertama kali aku berniat meninggalkan Mas Akram, dan mama lah yang selalu memintaku bertahan untuk tidak meninggalkan rumah ini. Mama memohon agar aku tetap berada di sini demi dia, bukan demi suamiku itu, karena mama pun sadar bahwa tak ada yang bisa kuharapkan dari pria itu. Cinta, kasih sayang, bahkan materi tak dia berikan sesuai hakku sebagai seorang istri.
Kugenggam kedua tangan mama yang semakin hari terasa semakin kurus, “Ma, bisakah kau pergi saja ikut bersamaku dan Zubair? Kita mulai kehidupan baru jauh dari mereka.”
Memang permintaanku terdengar mustahil. Bagaimana mungkin aku meminta seorang ibu meninggalkan anak-anak kandungnya, sementara diriku hanyalah seorang menantu--orang baru yang kebetulan singgah sebagai bagian dari keluarga yang sewaktu-waktu bisa saja kembali berubah status sebagai orang asing.
Dulu, mama mertua tak sebaik seperti sekarang. Di awal pernikahan, beliau kurang menyukaiku. Entah apa alasannya, kurasa beliau hanya sedikit khawatir atas kehadiranku yang mencuri perhatian anak lelakinya. Padahal tak seperti itu kenyataannya. Keberadaanku tak layak disebut sebagai istri yang dicintai. Bahkan, kerap kali aku mendapatkan sikap dingin dari suamiku sendiri. Bagaimana mungkin aku berhasil merebut seluruh perhatiannya seperti yang dikhawatirkan mama pada saat itu. Seiring waktu beliau sendiri lah yang mencoba mendekatkan diri kepadaku.
____
“Hafsa sedang mengandung, Fara. Apa ‘gak sebaiknya kamu tunda saja kepergianmu itu. Kalau sewaktu-waktu dia melahirkan sementara Akram ’gak di sini, apa yang akan terjadi?” Kudengar perdebatan antara mama dan Fara saat Zubair masih berada di dalam kandunganku. Saat itu Mas Akram sedang berada di perjalanan pulang dari perusahaan--tempat di mana dia memimpin usaha, menggantikan posisi ayah mertua sebelum beliau meninggal beberapa tahun yang lalu. Atas permintaan adik iparku, Mas Akram tak menolak untuk menemani perempuan itu menghabiskan akhir pekan di villa milik mendiang ayah mertua di puncak Bogor. Menurut Fara, di tempat yang tak jauh dari villa itu ada pesta pernikahan sahabatnya yang akan berlangsung. Sehingga dia pun memutuskan untuk bertahan sehari setelah pesta pernikahan itu berlangsung, yang artinya Mas Akram dan Fara akan meninggalkanku bersama mama di rumah ini selama kurang lebih dua atau tiga hari.
Saat itu aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Hanya saja aku sedikit kecewa karena Mas Akram tak mengindahkan permintaanku untuk mempersingkat waktu kepergiannya. Bukan tanpa alasan, selama seminggu belakangan ini aku merasakan kontraksi ringan. Dokter menjelaskan bahwa yang aku alami ini kemungkinan hanyalah kontraksi palsu karena menurut pemeriksaan terakhir, posisi kepala janin masih sangat jauh dari jalan lahir.
“Mas Akram yang ‘gak bolehin Fara pergi sendirian, makanya Fara minta Mas Akram yang menemani. Lagi ’pula kalau ada apa-apa kan ada sopir. Manja banget 'sih! Semua serba suami. Jadi perempuan itu harus mandiri, lah!” Fara menjawab ucapan ibunya dengan sengit.
Bukan manja namanya jika seorang istri membutuhkan suaminya sendiri di saat-saat kelahiran putra pertama kami sudah dekat. Justru yang manja itu adalah sikapnya yang begitu bergantung pada kakaknya sementara permintaannya itu tidak begitu mendesak. Bukankah dia adalah perempuan dewasa yang bisa meminta bantuan teman atau sepupu wanitanya yang lain untuk menemani menghadiri acara yang dia maksud.
Hingga waktu itu tiba. Mereka berdua pergi meninggalkan kami. Meski sikapnya kerap dingin, Mas Akram masih menunjukkan sisi baiknya sebagai seorang suami. Sebelum dia pergi, pria itu berpamitan padaku. Dia berikan kecupan di antara kedua alisku. Kemudian kecupan itu berpindah ke permukaan perutku yang membuncit.
“Mas! Ayo!” teriak Fara dengan wajah kesal menghentikan perlakuan manis Mas Akram padaku.
“Maaf … Fara sudah lama menunggu. Mas pergi dulu ya, jangan lupa kabari mas jika terjadi apa-apa.” Barisan kalimat dari mulut Mas Akram terdengar seperti secercah harapan bagiku bahwa sebenarnya ada cinta darinya untukku dan buah hati kami. Tapi, karena dia adalah satu-satunya pria di keluarga ini, maka aku harus dengan rela membiarkan priaku membagi perhatian pada ibu dan adiknya. Itulah yang selalu aku gaungkan pada diriku sendiri sejak di awal pernikahan, bahwa aku tak boleh egois meski rasa cemburu pun pasti pernah kurasakan.
Manusia hanya mampu memprediksi, tapi Allah-lah pemegang kuasa sepenuhnya. Tak lama setelah kepergian suami dan adik iparku, kembali kurasakan kontraksi menyerang rahimku. Namun, kali ini tak seperti biasanya. Durasinya cukup lama dan terasa lebih berat.
Kucoba untuk berpikir positif bahwa hal ini mungkin terjadi hanya karena aku kelelahan. Rasa sakit ini cukup kurasakan sendiri meski sejujurnya aku pun khawatir jika waktu kelahiran buah hatiku tak sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh dokter. Kusibukkan diri ini dengan beristighfar saat rasa sakit itu kembali menyerang. Kukirim pesan pribadi ke akun hijau milik suamiku, tapi sepertinya ponsel milik lelakiku itu sedang tidak aktif. Hingga tengah malam, pesan dariku tak juga dibacanya. Aku hanya mengirimkan pesan singkat menanyakan apakah dia sudah tiba di tujuan.
Ah, sepertinya nyeri yang kurasakan bukan lagi kontraksi palsu. Feeling-ku mengatakan bahwa saatnya sudah dekat untuk bertemu dengan buah hati kami.
“Mas,” ucapku getir dengan bulir peluh di wajah. Kuusap perutku dengan lembut, tapi rasa sakit itu justru semakin intens. Aku tak ingin mengganggu tidur mama mertua, karena saat itu malam sudah sangat larut. Aku berharap jika diri ini masih bisa bertahan hingga pagi. Ragu-ragu kuraih ponselku. Kuputuskan untuk mencoba mengirimkan pesan pada akun suamiku itu sekali lagi.
Hatiku cukup senang saat melihat pesanku tadi siang ternyata sudah dibaca oleh lelakiku meski dia belum membalasnya. Tak mengapa … Mas Akram mungkin belum sempat. Mungkin dia masih sibuk atau lelah setelah perjalanan dari Jakarta menuju villa milik mendiang ayah mertua di Bogor. Urung kukirimkan pesan, jadi kuputuskan untuk langsung menghubunginya saja melalui sebuah panggilan telepon. Ponselnya berdering, tapi panggilan dariku tak kunjung dia jawab. Hingga panggilan ketiga, terdengar suara di seberang sana. Suamiku menerima panggilanku, dan hal sesederhana itu mampu menerbitkan senyum di wajahku ini. Namun, di detik berikutnya senyum yang tadinya terkembang langsung memudar digantikan kernyitan di antara kedua alisku. Bukan suara Mas Akram yang menyambut panggilanku, melainkan desahan samar yang saling bersahutan diikuti gemericik air.
Apa yang terjadi? Apa suamiku tenggelam? Apa dia sedang mandi? Mengapa dia terdengar seperti berada di ruang penuh air tengah malam begini. Bukankah suhu di sana sangat dingin. Apa yang membuatnya memutuskan mandi selarut ini? Berbagai pertanyaan hadir begitu saja di dalam kepalaku bersamaan dengan rasa pening yang hadir tanpa henti.
“Mas, apa yang kamu lakukan.” Aku meringis memegangi perutku yang bergejolak di dalam sana. Sementara aku belum berhasil berbicara dengan ayah dari janin yang kukandung saat ini. Aku harus memberitahunya bahwa kemungkinan dalam waktu dekat putra kami akan lahir.
Panggilan telepon diakhiri oleh suamiku. Namun, aku tak ingin menyerah begitu saja. Kuulangi panggilanku untuk kesekian kalinya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
Kuabaikan keinginan untuk berbicara dengan suamiku sejenak. Aku berharap semoga tak ada hal buruk apa pun terjadi padanya, termasuk pikiran burukku bahwa dia kemungkinan tenggelam. Jika itu memang terjadi, tentu Fara akan menghubungi orang rumah. Dengan langkah pendek sambil menahan rasa sakit kuayunkan kakiku menuju toilet, karena desakan di dalam sana membuatkan seolah ingin buang air besar. Namun, nihil … Rasa mulas itu bukan karena aku ingin buang air besar. Aku yakin rasa ini murni berasal dari kontraksi di dalam rahimku.
Sekembalinya aku ke dalam kamar, kuputuskan untuk menghubungi Mas Akram, berharap kali ini dia akan menjawab panggilan dariku. Benar saja, akhirnya apa yang aku harapkan akhirnya terjadi. Dia menjawab panggilanku.
“Assalamualaykum, Mas. Sepertinya aku mau melahirkan,” ucapku dengan napas tersengal. Lama tak ada jawaban, hingga beberapa detik terdengar suara serak khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Suara seorang perempuan yang pastinya aku kenal.Ya, itu adalah suara Fara--adik iparku.
“Hubungi besok aja ya, Mbak. Mas Akram baru aja tidur. Tadi tenaganya banyak terkuras.” Ucapan Fara terdengar berbisik, sementara ada suara dengkuran menyertai suara adik iparku. Apa itu suara dengkuran suamiku? Bagaimana bisa? Apakah mereka tidur bersama? Ya Allah! Apa aku sedang berhalusinasi?
Malam itu juga aku melahirkan putra kami. Beruntung kami memiliki sopir yang sangat cekatan membantuku dan mama mertua dengan mengantarkan kami ke rumah sakit. Mas Akram datang menampakkan wajah tak bersalahnya di hadapanku tepat setelah tiga hari kelahiran Zubair. Aku pun seolah tak punya tenaga untuk mengajaknya berdebat. Aku masih terlalu lelah setelah melahirkan dengan jalan operasi caesar, karena ternyata air ketubanku sudah benar-benar kering sementara pembukaan pada jalan lahir tak mengalami peningkatan sama sekali. “Maaf,” ucap suamiku saat mata kami saling berserobok. Aku bergeming, tak berminat untuk membahas kejadian malam itu. Suasana hatiku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku berusaha agar tidak terserang baby blues seperti yang dikhawatirkan sebagian besar perempuan di dunia ini. Dengan tetap berpikiran positif, kucoba untuk mengendalikan diri ini. “Malam itu mas berenang di villa. Mas baru pulang menemani Fara ke acara pesta pernikahan sahabatnya tepat setelah kam
Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah. Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham. Mas Akram, mungkin
Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya. “Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar. Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain. “Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara. “Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulak
“Mas, dia mau bunuh aku.” Kulihat tubuh gemetar Fara yang basah dengan keringat dingin. Air mata lalos membasahi kedua pipinya, sementara Mas Akram terlihat panik sambil mendekap perempuan itu. Baiklah, kurasa segala penjelasan Mas Akram beberapa saat yang lalu memang memiliki korelasi dengan apa yang aku saksikan sekarang. Rasa kasihan tumbuh di hati kecil untuk saudari iparku. Namun, bukan berarti aku harus percaya sepenuhnya begitu saja. “Hafsa, bolehkah--” ucap Mas Akram dengan tatapan memohon setelah adik kesayangannya nampak sedikit tenang. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia akan menemani Fara tidur lagi hingga esok pagi. Meski aku tak rela, sisi kemanusiaanku masih bersedia untuk memaklumi. “Silakan aja, Mas. Tapi besok kita harus lanjutkan pembicaraan kita,” pintaku sambil membereskan sisa pecahan kaca. Beruntung jendela kamar Fara memiliki sistem security tambahan berupa krey aluminium, sehingga meski kacanya pecah tapi ada alternatif lain untuk menutup jendela. Seb
Aku tak ingin melakukan sesuatu dengan gegabah, meski dadaku sudah dipenuhi oleh rasa amarah yang membuncah. Aku akan bersikap elegan kali ini untuk menghadapi masalah di depan mataku. Jika memang ada sesuatu di antara Mas Akram dan Fara, maka aku tak akan segan-segan membuat mereka membayar segala apa pun yang sudah mereka perbuat di belakangku. Tunggu saja, Mas. Suatu saat kau akan menyesal karena sudah melakukan hal ini kepadaku. “Thanks ya, Via. Mas Akram memang bilang ke gue kalau dia ada meeting bareng adik ipar gue. Kasian juga kalau adiknya itu 'gak ada kegiatan samasekali. Bantu dia ya selama kerja bareng lo,” pintaku pada Via seolah-olah aku tak terganggu samasekali atas kenyataan yang baru saja dikatakan oleh mantan partner kerjaku itu, justru meminta Via untuk bisa membantu Fara dalam pekerjaan. Agar tak kentara, aku mencoba membahas hal-hal lain bersama Via. Daripada gelagatku diketahui olehnya. Aku tak ingin masalah rumah tanggaku terendus banyak orang. Kuakhiri pangg
Tak lama ponselku berdering. Kulihat nama Mas Akram yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, kuterima panggilannya dengan mengucap salam, seolah semuanya berjalan normal. “Zubair di mana? Mas kangen,” ucapnya. Aku berdecih pelan. Sepertinya ada yang salah dengan Mas Akram, mengapa baru sekarang dia tunjukkan perhatian terhadap putranya. Kemana saja dia dua hari terakhir ini hingga tak punya waktu hanya sekedar berkirim pesan padaku. “Lagi tidur, Mas. Mau lihat?” Ku-tap icon video agar Mas Akram bisa menyaksikan Zubair yang sedang terlelap di sampingku. Namun, dia abaikan saja. Beberapa detik berlalu, sepertinya Mas Akram tidak memiliki topik untuk dibahas. Mengapa hubungan rumah tangga kami terasa kaku seperti ini? Pikiranku terlempar ke masa lalu, saat Mas Akram berusaha mengejarkau saat aku masih menjadi sekretarisnya. Mas Akram selalu membebaniku pekerjaan-pekerjaan yang tak masuk akal sehingga aku harus memutuskan untuk lembur nyaris setiap hari agar aku bisa terus bersa
Meski ucapan mama mertua sempat mengganggu pikiranku, tapi aku jauh lebih penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Mas Akram bersama Fara. Dari mana mereka mendapatkan voucher menginap dalam rangka bulan madu. Apakah mereka mempublikasikan sebagai pasangan suami istri yang baru saja menikah. Tak mungkin, 'kan jika voucher itu didapat begitu saja. Apa Mas Akram sudah kehilangan akal sehat jika hal itu benar dia lakukan. Tak lama, Zubair menggeliat gelisah, rupanya popok putraku itu basah. Fokusku teralihkan sesaat. Kubersihkan tubuh mungil putra kesayanganku dan kuabaikan sejenak masalah yang sedang menerpa rumah tanggaku. Mungkin pikiran ini tak sepenuhnya mampu mengenyahkan kegelisahan yang ada, meski aku sibuk membersihkan Zubair, tapi Mas Akram dan Fara terus berlarian di dalam kepalaku. Ah! Kalian berdua membuatku benar-benar tak bisa tenang barang sejenak. Kususui Zubair yang terlihat lapar setelah sadar dari tidurnya, bersamaan dengan pikiranku yang terus berada di tem
“Hafsa, kok diem aja?” Larut dalam pemikiranku sendiri, tanpa sadar kuabaikan ucapan suamiku untuk beberapa saat. Aku mengerjap, “Bukan ‘gak mau, Mas. Tapi kayaknya terlalu mendadak. Aku ’gak punya persiapan apa-apa. Bukannya Mas juga gak lama di sana. Nanti juga kita ketemu di Jakarta, Mas.”Jujur, sebenarnya bukan itu alasannya. Aku masih belum bisa percaya bahwa ajakan Mas Akram murni karena dia memang merindukanku. Bisa saja ini adalah rencananya bersama Farha untuk menyingkirkanku. Tiba-tiba aku bergidik ngeri membayangkan kekejaman yang akan mereka lakukan terhadapku demi memuluskan hubungan mereka. “Mas takut ‘gak bisa ketemu kamu lagi, Sayang. Kamu mau ’kan nyusul mas ke sini?” Ucapan Mas Akram membuatku merasa ada sesuatu yang aneh. Apa seperti ini cara Mas Akram meluluhkanku dengan permohonannya, atau mungkinkah ini sebuah jebakan. “Berangkat aja, Hafsa. Stok asi kamu di lemari pendingin ‘kan masih melimpah. Kalau cuma beberapa hari, ’gak apa-apa Zubair mama yang urus. L