"Akh!" Lilian terpekik saat Jaden merebahkan dirinya ke atas sebuah ranjang besar yang pastinya adalah milik Jaden. "Jangan menyentuhku sembarangan!" Karena kesal, Lilian meraih sebuah bantal dan melemparnya ke arah Jaden. Yang tentu dapat Jaden tangkap dengan mudah. "Tak bisakah kau berlaku sedikit sopan padaku?" protes Lilian lagi. Seolah tak mempedulikan kekesalan Lilian, Jaden melenggang begitu saja dari hadapannya dan ia meraih sebuah kotak dari rak buku kecil yang ada di samping sebuah lemari pakaian. "Aku gatal ingin membuang benda konyol yang terpasang sembarangan begitu saja di kakimu itu begitu aku melihatnya!" Jaden merujuk bebat di kaki Lilian yang terluka. "Ada apa dengan ini?" tanya Lilian tak mengerti. "Siapa orang bodoh yang memasang ini di kakimu? Sekali lihat saja aku sudah tahu bahwa itu terlalu kencang dan hanya akan memperparah cideramu." Tanpa sungkan-sungkan Jaden duduk di hadapan Lilian di atas ranjangnya, kemudian meraih kaki Lilian dan melepaskan perlah
"Hai Lilian, kau terlambat," todong Silvia begitu melihat Lilian masuk di ambang pintu kantor. "Maaf Silvia, apa Tuan Greg sudah tiba?" tanya Lilian lagi. "Kau beruntung ia belum datang. Apakah aku harus menyiapkan bahan meeting pagi ini?" "Tak perlu, Silvia. Semua sudah aku rangkum dan kirim ke dalam email. Kau bisa memeriksa setiap email sesuai dengan jadwal harian Tuan Greg." "Dan, Silvia sepertinya Tuan Greg akan memulai perjalanan bisnisnya besok, jadi aku ingin kau memeriksa sekali lagi semua jadwal yang bertabrakan dengan pertemuannya. Tuan Greg akan berangkat sendiri. Ia tak mengajakmu, jadi kau dapat membantuku di sini." "Benarkah?" Silvia berbinar menatap Lilian. Tanpa sadar ia berjingkrak kecil. "Oh, syukurlah! Aku akan sebisa mungkin membantumu selama Tuan Greg tak di tempat, Lilian. Serahkan semua padaku, kau berfokuslah pada klien saja." **** "Kau tampak segar, ada hal baik apa?" Seth menatap Jaden dengan
Lilian begitu tercekat saat menatap Jaden yang berjalan lambat-lambat menghampirinya dengan raut yang mematikan. Ia tak tahu apa maksud tatapan Jaden itu. Ia hanya merasakan firasat buruk saja. Begitu melihat raut wajah Jaden, Lilian tahu bahwa saat ini pria itu sedang memasang sisi iblisnya yang biasa ia tampakkan padanya saat mereka sedang berdua. Jaden sedikit tersenyum simpul sebelum berkata, "Wah, kau senang ya rupanya? Apa begini caramu merayu para pria?" Lilian tersentak dan menatap Jaden dengan alis yang mengerut dalam. "Kau bersikap dingin di awal tapi pada akhirnya menggoda mereka dan tersenyum menjijikkan seperti seorang wanita murahan juga!?" "PLAAKK!!" Tamparan keras seketika Lilian layangkan pada wajah Jaden. Seth yang kembali masuk, begitu tercengang karena waktunya begitu tepat ketika ia mendapati Lilian menampar Jaden. Ia hanya mematung di tempatnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Jaden menatap Lilian denga
Jaden bergegas menuju ke kamar mandinya dan membersihkan diri. Setelah itu ia mulai menyiapkan hidangan apa pun yang dapat ia buat dari lemari pendinginnya dengan cepat. Tak memerlukan waktu yang lama bagi Jaden untuk menyiapkan hidangan makanan untuk mereka berdua. Tepat setengah jam berlalu hingga ia menyelesaikan aktivitasnya seperti yang ia janjikan pada Lilian sebelumnya. Jaden kemudian bergegas menuju ke rumah wanita itu lagi setelah ia selesai mempersiapkan semuanya. "Lilian ... " panggilannya terhenti saat dilihatnya Lilian tengah tertidur di sofa ruang tengahnya dengan laptop yang masih menyala di atas mejanya. Jaden perlahan mendekati Lilian. Awalnya ia tak merasakan hal yang aneh, sampai ia melihat air mata yang bening mengalir di kedua sisi wajah Lilian. Ya, wanita itu menangis di dalam tidurnya. Ia mendekat untuk memastikan Lilian baik-baik saja. Jaden duduk di atas lantai dan memandangi wajah Lilian yang sedang tertidur. Ia sedikit menge
Lilian merebahkan dirinya di ranjang Jaden. Ia sendiri sedikit heran mengapa dirinya sekarang tampak begitu natural naik ke atas ranjang pria itu. "Kau ingin segera mengakhiri ini ya?" tanya Jaden. Ia tak melihat lagi kecanggungan Lilian terhadap ranjangnya. "Aku hanya lelah," jawab Lilian. "Benar, bisa kulihat tadi kau ketiduran saat mengerjakan pekerjaanmu." "Kau benar, aku sebenarnya bukan tipe orang yang akan membawa pekerjaanku ke rumah. Aku selalu menyelesaikan pekerjaanku sebisa mungkin selama aku masih di kantor. Dan menurutmu salah siapa sampai aku harus membawa pekerjaanku pulang?" "Maafkan aku," Jaden mulai mematikan lampu utama dan hanya menyisakan lampu temaram kamarnya untuk menerangi ruangan. Ia kemudian berbaring di sebelah Lilian yang memunggunginya. "Bisakah setidaknya kau menghadap ke arahku?" tanyanya. "Lalu dengan begitu, apa menurutmu aku akan bisa tidur dengan posisi seperti itu?" "Coba saja, kau
"Kau tak mengatakan apa pun kemarin padaku!" protes Jaden pada Seth yang tengah berkunjung ke kediamannya. "Maaf, karena kau bersitegang dengan Lilian, aku sampai lupa memberi kabar untukmu. Bagaimana kau dan Lilian? Kau sudah berbaikan dengannya? Apa memangnya yang telah kau lakukan?" tanya Seth. "Sudahlah, tak usah kau pikirkan. Semuanya baik-baik saja," jawab Jaden. Ia sedikit melamun saat memasukkan baju-baju miliknya ke dalam koper besarnya. "Kau tampak kusut, ada apa? Apa Lilian belum menerima maafmu atau apa? Cerialah! Jangan sampai mood-mu mengacaukan syuting kita." "Ck! tenanglah, kau tahu aku tak akan mungkin begitu. Aku profesional!" jawab Jaden angkuh. "Ya, benar! Aku harap begitu. Jangan sampai partner kerjamu kehilangan semangat karena melihat wajah masammu, ya? Apa kau tahu, Alana begitu bersemangat dan benar-benar memarahiku saat ia meneleponku tadi. Menurutnya aku begitu ceroboh karena tak memberitahumu tentang jadwal kalian."
Lilian mengerjap beberapa kali setelah menerima telepon dari Jaden. Ia benar-benar tak mengerti maksud Jaden. Mengapa Jaden masih memintanya untuk membalas pesan setelah ia meneleponnya? Sungguh pria aneh! Mau tak mau Lilian akhirnya membalas pesan Jaden juga. [ Oke, aku mengerti. Tapi mengapa aku masih harus membalas pesanmu setelah kau menelepon? Apa kau bahkan tahu jam berapa sekarang di sini? Ini masih jam 5 pagi dan ini hari Sabtu! ] Lilian menghembuskan napasnya sambil menggeleng setelah ia mengetik pesan balasan untuk Jaden. Ia kembali merebahkan diri di ranjangnya dengan muka kusut. Semalam sudah terhitung beberapa kali ia terbangun dari tidurnya karena memimpikan hal yang sama. Ya, ia kembali masuk ke dalam mimpi buruk Jaden setiap kali ia memejamkan matanya. Ia akui, mungkin karena dirinya selalu memikirkan pria itu sejak kepergiannya. Sekarang Lilian penasaran, apa mungkin saat dirinya terlelap, Jaden juga sedang terlelap dalam tidurn
Lilian tak bisa tenang saat pertemuannya dengan Kevin harus terganggu dengan panggilan masuk yang beberapa kali memecah konsentrasinya. Weekend ini ia mengunjungi kediaman Kevin, sekretaris Devon sekaligus teman 'seperjuangannya' yang sejak lama ia kenal. Ia memilih untuk datang ke rumah Kevin, karena ia tak ingin Kevin curiga dan bertanya macam-macam jika ia yang berkunjung ke rumahnya. Ya, Kevin adalah salah satu pria yang 'Greg' selamatkan juga dan akhirnya bekerja padanya, seperti dirinya. Bisa dibilang mereka tumbuh dan hidup bersama sejak remaja, sejak Greg membawa mereka. Jika ia bekerja pada Greg, maka Kevin akhirnya bekerja pada Devon, putra Greg. "Kau tak akan mengangkatnya?" tanya Kevin saat ponsel Lilian kembali menyala tanpa suara. "Tak apa. Bukan hal yang penting. Kita fokus dengan laporan kita saja," ucap Lilian. "Oke, baiklah." Kevin mengangguk mengerti. "Seperti yang kau tahu, Tuan Devon ingin membuat promo iklan di game terba