"Papa... Papa... Endon...""Papa lagi sibuk. Ikut mama aja sana."Padahal aku lihat mas Angga tidak ngapa-ngapain, cuma memotong kuku. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Menatap layar kaca."Papa... Huwaa!"Bocah itu meraung. Sampai volume tivi pun kalah."Astaga... Cucu oma.""Ikut papa... Huwaa...""Ya ampun, Angga. Ini loh, Vino mau ikut kok dicuekin. Gendong dulu, nih.""Angga sibuk, Bu.""Sibuk apa? Motong kukunya kan bisa nanti lagi. Wong anaknya nangis keras sampek guling-guling gini kok dibiarin aja kamu ini."Kulihat mas Angga malah beranjak ke arah tangga. Menapakkan kaki panjangnya ke tiap anak tangga."Angga!"Mas Angga benar-benar tak peduli."Ya ampun anak itu. Lama-lama bikin stress."Aku tersenyum tipis. Jahat ya? Gak papa deh, sesekali."Cup... Cup sayang. Udah. Ikut oma aja ya? Papa lagi capek. Belum sembuh.""Papa... Huwaa... Papa nakal!""Udah... Cup... Cup. Vino nonton kartun aja ya? Mau? Nonton Upin Ipin?"Entah apa reaksi anak itu, netraku tak teralih dari layar
"Apa pernah aku mengatakan menyesal menikah denganmu, hmm?"Aku memalingkan wajah. Berjalan ke arah meja rias. Mendudukkan pantat di kursi. Lantas memakai krim wajah."Aku tidak membahas pernikahan kita. Tapi, apa kamu menyesali keputusanmu menyetujui persyaratanku?" ucapku, melihat pria itu dari pantulan kaca rias. Dia tersenyum. Lagi-lagi memeluk leher ku dari belakang, meletakkan kepalanya di pundakku."Apa kamu pernah mengobrol dengan Riri?""Untuk apa?" balasku tak suka."Akan lebih baik kalau kamu mengkaji inti permasalahan kita, sayang.""Tidak... Jangan salah paham dulu." aku mendengkus. Hampir menyemprotnya dengan ucapan kasar, tapi dia menyadarinya lebih dulu. Buru-buru menyahutnya."Aku hanya tidak ingin kamu menyimpan dendam, Din. Bagaimana pun juga, Riri itu korban. Kita sama-sama tidak menginginkan situasi itu. Coba bayangkan, terjebak dalam situasi terduga, tentu menyakitkan. Rasanya tidak etis jika kita membuatnya tersiksa.""Aku tidak peduli."Beranjak bangkit, hingga
"Angga! Kau tidak boleh pergi! Angga!"Suaranya bahkan ibu mengejar Mas Angga. Aku membuka pintu mobil, namun pria itu lebih dulu mencegahnya. "Aku yang nyetir." aku mengangkat bahu, menyerahkan kunci mobil padanya. Lalu pindah haluan. Ibu masih berteriak memanggil mas Angga. "Anakmu sakit," ucapku saat di perjalanan."Tidak apa. Sudah ada ibu dan mamanya.""Kamu tidak khawatir?" tolehku. Mas Angga diam saja. Pandangannya datar menatap jalanan depan."Belum terlambat kalau mau kembali. Pulanglah."Dia menoleh, pandangan kami sempat bersitatap. Sejenak kemudian dia menggeleng."Tidak. Aku sudah berjanji denganmu.""Aku memberimu izin.""Pantang seorang pria menghianati janjinya, Din.""Baiklah. Itu terserah kamu. Setidaknya aku sudah memberimu izin. Jadi, jangan menyesal ataupun menyalahkanku jika ada sesuatu yang terjadi."Mas Angga terdiam. Tapi sama sekali tidak memberi tanda bahwa dia akan memutar haluan mobil.****Aku tengah berkutat dengan layar laptop. Mengamati setiap huruf
"Aset-aset aman kan?"Aku mengangguk. Perasaanku mulai membaik. Malam ini bahkan kami mengobrol banyak. Termasuk mengenai kedatangannya yang tiba-tiba itu. "Syukurlah. Itulah, Din. Kenapa abang mewanti-wanti agar kamu tidak merubah nama perusahaan atas namanya. Ya karena itu. Manusia tidak selamanya di percaya. Bukannya abang menyamaratakan manusia seperti mertua dan suamimu itu loh. Tapi, sekedar jaga-jaga. Lebih baik, atas namakan aset dengan nama anak. Itu lebih terjaga.""Tapi, aku kan memang belum punya anak, Bang," cetusku yang sukses membuat bang Aldi merasa bersalah."Astaga! Abang minta maaf. Dasar mulut." menepuk mulutnya berkali-kali. Aku tersenyum. Bang Aldi tidak berubah sama sekali. Masih menjadi kakak yang sangat menyayangi adiknya. Buktinya, instingnya yang kuat membuatnya langsung terbang ke Indonesia. Meski kak Dini dan Jansen anaknya tak bisa ikut, karena Jansen belum libur sekolah. Dan memang benar, saat itu, aku tengah dirundung oleh mertua dan suamiku sendiri."
"Bagaimana, Lancar?"Aku mengangguk. Keringat dingin masih menetes di dahiku. "Sampai grogi begini. Hehe." Aku tersenyum, bang Aldi mengusapnya dengan tangannya."Berapa lama hasilnya akan keluar?""Kata dokter, sekitar lebih dua empat jam sampai seminggu.""Em, baiklah. Lalu, dokter bilang apa lagi?""Suruh istirahat. Soalnya habis ini tubuh bakal lemas. Efek dari tes tadi, Bang."Bang Aldi kembali mengusap kepalaku lembut."Ya sudah. Kita langsung pulang saja. Istirahat."Mungkin orang lain akan mengira bahwa kami ini sepasang kekasih daripada sekedar kakak adik. Tapi, begitulah, kami saling menyayangi.*****Selama bang Aldi disini, dia selalu mendampingi kemanapun aku pergi, termasuk saat di kantor. Katanya, khawatir mas Angga atau keluarganya akan menggangguku. Aku tertawa menimpalinya. Dia terlalu khawatir. Tapi aku suka.Dua hari kemudian, surat hasil tes keluar. Bang Aldi yang mengambilnya ke rumah sakit. Aku sendiri tiduran di rumah. Malas untuk keluar. Aslinya juga deg-dega
Bang Aldi, sumpah. Lama banget dia. Aku saja sudah selesai dari tadi. Menunggunya di sofa ruang tamu sambil bermain ponsel. Abangku satu itu, kalau sudah beol, bisa betah satu jam lebih disana. Bahkan pernah sampai dua jam. Entah tidur atau ngapain. Betah amat di WC.Bunyi bel pintu mengalihkan perhatianku dari ponsel. Aish! Pasti bang Aldi nih yang mengunci pintunya. Aku segera menghentikan kegiatanku. Memutar anak kunci, dan menarik knopnya."Ya, ada ap-- Mas Angga!" pekikku kaget. Pria itu menatapku datar. Langsung melenggang masuk."Tunggu, Mas. Ngapain kamu kesini.""Ngambil baju sama barang." Datar sekali ucapannya. Aku membuntutinya dari belakang.Dia berbalik. Mengeluarkan sebuah surat dan kembali melanjutkan langkahnya."Apa ini, Mas?""Surat cerai. Tanda tangani dan kita bertemu di pengadilan.""Siapa, Din?"Langkah mas Angga terhenti mendadak mendengar suara teriakan bang Aldi dari kamar. Membuatku menabrak punggungnya. Aku meringis, mengusap dahiku."Kamu bersama pria?" uc
Kami berdua adalah penggemar seafood. Restoran seafood pinggir pantai adalah tujuan kami. Sekalian bisa refreshing melihat pantai lepas. "Dia pasti terkejut. Dan setelah itu dia akan sadar telah salah pilih. Pokoknya kamu jangan lemah. Meski Angga merangkak memohon-mohon, biarkan saja. Pria yang sekali berani menghina istrinya, dua tiga kalinya bisa lebih parah.""Siap, Bang. Aku juga sudah terlanjur sakit hati." perasaan bersalah itu menguap begitu mendengar hinannya yang menyakitkan tadi. Bang Aldi menepuk-nepuk pundakku."Bagus. Abang yakin, kamu akan bertemu seseorang yang lebih baik. Yang bisa mencintaimu tulus. Yang terpenting sekarang, lihatlah lelaki dari akhlak dan agamanya. Itu kunci utama, Din.""Bang Aldi! Bang Aldi kan?"Belum sempat aku membuka mulut, panggilan itu lebih dulu menarik perhatian ku dan bang Aldi. Akupun ikut menoleh. Mataku membola melihat si pemanggil. Orang yang aku tabrak di mall waktu itu."Loh, Haidar. Disini juga?"Rupanya pria itu belum menyadarik
Sepanjang jalan aku diam saja, ngambek. Biarin aja bang Aldi sadar diri. Sedari tadi dia berbicara sendiri. Sementara aku chattan dengan Dela. Apalagi kalau bukan membicarakan kekesalanku. Dan emang Della kampret, dia malah menertawaiku."Mau langsung pulang apa mampir kemana dulu?"Aku tak menanggapi. Asyik bermain dengan ponselku."Din... Ya Ampun! Kamu marah sama abang? Dari tadi abang ngomong sama sekali gak kamu sahutin lo."Aku mengangkat kedua alisnya, menjebik. Tapi, tetap saja mataku tak teralih dari benda persegi panjang itu."Dinda..."Enak kan dicuekin. Haha."Oke... Oke. Abang minta maaf karena lebih malah asyik ngobrol sama Haidar.""Bodo amat sih.""Tapi kamu jangan ngambek dong. Haidar itu teman lama abang waktu kuliah di Amrik. Berapa lama ya gak ketemu? Kayaknya sekitar delapan tahunan. Wajar dong pas ketemu abang jadi antusias banget. Lagian, Haidar itu sudah abang anggap seperti adik sendiri, makanya akrab. Anaknya baik kok. Alumni pesantren.""Lah, apa pentingnya