Share

Membunuh Nurani

Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.

“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”

Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.

“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.

“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”

Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayna berpegangan di kusen pintu, dia masih belum percaya pada penglihatannya. Danish menyentuh kaki Sayna yang dialiri darah segar, tangannya gemetar, ternyata benar, ini bukan gurauan.

“Ke rumah sakit!” Dia setengah membentak, menarik Sayna paksa, namun gadis itu bersikeras, bahkan tidak bergerak, tangannya kokoh berpegangan, kelapanya menggeleng berulang-ulang. “Sayna!”

Danish masih terus berusaha, melakukan berbagai cara.

“Nish, sakit...”

Dan baru berhenti saat Sayna mengeluarkan suara, mengerang tertahan, meminta Danish melepaskan, berhenti melakukan pemaksaan.

“Sayna, please...” Danish turun lagi, merosot di tempatnya berpijak, berlutut di bawah Sayna. “Jangan begini, please... gue akan lakukan apa pun,” ikrarnya. Dia bersujud di kaki gadis itu, mengabaikan darah yang berceceran di sana.

“Telat, Nish. Udah nggak ada harapan lagi.”

“Sayna—”

“Dia udah nggak ada.”

Sembari mengelus perut, Sayna mengatakannya, dengan air mata turun seperti hujan, menahan kesakitan. Danish meraung, suaranya menggerung, dia mencengkeram kaki Sayna, gemetar di sana, menangis dengan tak tahu malunya.

“Lo gila!” Dia mengumpat kasar. “Lo nggak waras, Sayna!”

Benar, Sayna memang sudah tidak waras, dia gila. Danish dan semua tudingan itu benar adanya. Gadis itu berjalan mundur untuk kembali duduk di lantai, bersandar di dinding, menunggu peluruhan itu benar-benar selesai.

“Sayna, ayo pergi...” Danish merangkak, tidak membiarkan Sayna melakukan hal yang lebih jauh lagi. “Ayo pergi dari sini...”

Mereka harus menyelamatkan diri...

Tangan Danish mulai menyentuh bagian bawah lutut Sayna, sementara yang satunya menyasar punggung, dia bergerak merengsek dan mengumpulkan kewarasan yang tinggal tersisa seadanya. Danish tahu dia tidak boleh diam saja, Sayna harus diselamatkan, dia yakin masih ada harapan.

“Nish...” Sayna berbisik lirih dan menatap Danish dengan mata sayunya. “Di rumah sakit nanti, kalau ketahuan, obatnya... ditemukan, gue dalam bahaya.”

Danish tidak sepenuhnya mengerti, tapi perkataan Sayna membuat dia berhenti.

“Udah nggak ada gunanya.” Sayna meyakinkan pemuda itu—kekasihnya, ayah biologis dari janin dalam kandungannya. “Dia udah nggak ada. Maaf, ya?”

Mata mereka bertatap nanar, Sayna mengusap wajah Danish yang basah, bersimbah air mata. Dan perlahan pegangannya jadi tak bertenaga, Danish melepas Sayna kembali. Dia tampak tak berdaya, duduk di lantai yang basah bersama Sayna.

“Tega, Sayna...”

Danish pasti tidak mengerti, Sayna melakukannya untuk kebaikan mereka bersama. Untuk kebahagiaan mereka juga nantinya.

“Lo lebih tega,” tuding Sayna pada kekasihnya. “Gimana bisa... lo pergi sama Dya, sementara gue begini, nungguin lo, sendirian, lebih dari dua bulan.”

Sayna menderita, asal Danish tahu saja.

“Gu..gue nggak cuma sama Dya.” Danish gelagapan mengatakannya. “Ada Hamam sama Anya juga. Gue nggak pergi berdua, Sayna.”

“Lo nggak bilang gitu kemarin.” Sayna menutup matanya rapat. “Dan tetap aja aneh, lo tega pergi liburan sementara kita... gue... begini, Nish.”

Danish hanya pergi satu kali, Sayna. Dia juga merana, menderita, tersiksa saat mereka berdua dalam masa jeda. Tapi bagaimana Danish harus menjelaskannya?

“Jadi... semuanya salah gue?” tanya Danish putus asa, dia menunjuk dada telanjangnya. “Lo begini... gara-gara gue?”

Sayna menatapnya nanar, matanya panas, seperti terbakar, lagi-lagi sebuah lubang besar, luka yang baru, yang mengakar, tercipta di antara mereka berdua.

“Kenapa lo tega?” Danish lagi-lagi bertanya, darah dagingnya sedang dibunuh, di depan matanya sendiri, saat ini. “Itu anak gue, Sayna. Gue punya hak atas dia. Harusnya... masa depan dia diambil atas keputusan bersama. Kenapa—”

“Apa bahkan lo akan mengakui statusnya setelah apa yang pernah gue lakukan?”

“Sayna.” Danish menggeram pelan sambil mencengkeram bahu kekasihnya. “Bahkan kalau pun lo main gila berkali-kali sama orang lain—di belakang gue, gue tahu, yang di dalam sini darah daging gue, gue nggak sepicik yang lo pikir.”

“Oh, dengan bereaksi kayak gitu tadi?”

“Lo mau gue gimana?!” Danish meneriakinya, memukul dinding yang jadi tempat bersandar Sayna. Kepayahan mengatur laju napas dan emosi di dada. “Gue harus gimana, Sayna?! Gue harus gimana biar di mata lo gue itu benar. Sekali aja!”

Danish akan bertanggung jawab, tentu saja. Memang apa lagi? Dia bisa apa selain itu? Tapi tetap, dia butuh waktu, Danish manusia, dia juga bisa takut dan panik, dia kaget mendengarnya pertama kali. Bingung harus bereaksi seperti apa agar tidak menyakiti kekasihnya, namun tetap salah juga.

“Lo... pergi sama Dya... Anya... saat keadaan nggak memungkinkan, Nish.” Dan kenyataan itu begitu menyakitkan, sementara Sayna menanti kedatangannya seperti seorang pesakitan.

“Kalau gue nggak pergi, apa lo bisa jamin nggak ambil langkah ini?” tanya Danish sambil menatap Sayna tajam. “Nggak kan, Sayna? Lo sengaja, cari alibi, buat menyalahkan gue.”

Kenapa Danish jadi pintar begini? Bagaimana dia bisa menganalisis cepat tindakan Sayna? Tentu saja Sayna sudah memikirkan matang-matang sebelumnya, minta bantuan lembaga berwenang yang menaungi kasus kehamilan tidak direncanakan, berkonsultasi dengan mereka, hingga mempelajari proses aborsi mandiri yang aman tanpa bantuan tenaga kesehatan.

Sayna sudah bersiap sejak lama, dia hanya menunggu Danish untuk memberi tahunya. Bukan untuk mengambil keputusan bersama.

“Lo ngapain aja sama Dya?” tanya Sayna mengalihkan pembicaraan mereka. “Lo udah pernah cium dia?”

“Sayna!”

“Nggak papa, lo pasti mau bales perbuatan gue sama Gio, kan?”

“Lo jangan gila, Sayna!”

“Cuma saatnya kurang tepat, Nish. Kenapa harus sekarang? Kenapa nggak nunggu gue selesai aborsi?”

“Berhenti nyalahin gue hanya karena gue nggak tahu soal kehamilan lo selama kita nggak bareng, Sayna!” Danish merasakan bulu kuduknya meremang sebadan-badan. Dia ngeri membayangkan jadi tersangka sendirian, dia tahu bahwa Sayna memang pantas menyalahkannya, tapi Danish punya alasan. “Berhenti nyalahin orang yang nggak lo kasih tahu, berhenti nyalahin ketidaktahuan gue buat banyak hal. Gue bukan cenayang, Sayna! Kalau gue tahu lebih awal, pasti nggak akan begini jadinya!”

“Gue harusnya kasih tahu lo lebih cepat, kan?”

Danish menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu, Sayna merasa bersalah sekali atas hal itu. Namun dia memang sengaja melakukannya, Sayna tidak mau Danish kembali hanya karena ada janin itu di antara mereka, yang jadi penahannya, yang mengikat keduanya. Sayna ingin Danish kembali karena hatinya sendiri benar-benar menginginkan itu semua.

“Gue yang harusnya datang lebih cepat...” Suara Danish teredam oleh tangis. Dia malu mengangkat wajah, dia tahu dirinya salah, dua bulan terlalu lama membiarkan Sayna sendirian untuk mengambil jeda.

Danish menyesal sekali, tapi boleh kan dia berusaha membela diri? Danish lelah jadi satu-satunya orang yang bersalah di sini. Dadanya nyeri sekali, Danish memeluk perut Sayna, masa bodoh dengan lantai kamar mandi yang dingin dan basah, juga bau anyir dari darah yang menguar, dia menggugu di sana. Darah dagingnya, anak yang sesungguhnya, calon manusia, mereka sedang membunuhnya bersama-sama.

“Nish...” Sayna mengusap rambut kekasihnya, mengelus punggung Danish yang mulus tidak tertutup apa-apa. “Maaf,” bisiknya pelan. “Lo benar, gue cuma cari-cari alasan buat menyalahkan, gue udah nggak waras, Nish...” Sayna menutup matanya rapat, mencoba untuk jujur meski sangat berat. “Bahkan, meskipun lo datang lebih cepat, gue nggak akan berubah pikiran. Ini yang bakal gue lakukan, gue akan tetap begini.”

Sayna harap, Danish berhenti menyalahkan diri sendiri. Dia tidak tega terus-terusan melukai hati kekasihnya, Danish orang baik. Hanya mungkin... tidak baik untuk Sayna.

“Gue cuma nunggu, buat ngasih tahu,” curhat Sayna pada pemuda itu. “Mungkin... mau menikmati masa kehamilan sebentar pas kita ketemu, tapi ini udah terlalu besar, gue takut kehabisan waktu.”

“Tega, Sayna...” Danish mengangkat wajahnya dari sana, dia pasti sudah seperti orang gila. “Dia... anak gue juga, gue punya hak atas hidupnya.”

Sayna menggelengkan kepala. Danish salah, logika itu tidak berlaku untuknya. “Dia milik gue sendiri, Nish.” Gadis itu mengelus perutnya yang mulas, menunggu semuanya luruh hingga organ janin jatuh. “Lo nggak punya hak apa-apa atas dia, karena dia di sini, di tubuh gue. Gue yang punya otoritas penuh sama diri gue, bahkan ibu yang melahirkan gue pun nggak ada hak mencampuri itu. Gue sangat berhak... memutuskan ingin melanjutkan kehamilan atau enggak, ingin melahirkan dia atau enggak.”

Jahat.

Danish tidak tahu apa gambaran yang lebih tepat dibanding satu kata itu untuk Sayna. Dia tidak mengenal gadis itu lagi saat ini. Sayna adalah antagonisnya, persis seperti yang pernah Danish dengar dari seseorang.

“Apa lo bahkan pernah... mikirin dia, kalau lo nggak mau mikirin gue?”

Sayna menarik sebelah sudut bibirnya lalu menggelengkan kepala. “Dia nggak tahu apa-apa, Nish. Dia nggak punya hak selama dia masih bergantung penuh sama gue, hak-nya belum berlaku selama dia belum jadi manusia sempurna. Jadi, nggak usah cari alasan yang mengada-ada.”

Itu hanya segumpal daging tanpa pikiran dan perasaan, jangan terlalu dibesar-besarkan.

Danish mengusap wajahnya perlahan, susah payah menahan isakan, dia di titik bingung untuk apa menangisi orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan. Danish kehilangan harapan, Sayna dan argumen yang selalu menuntut untuk dibenarkan, pasti setelah ini dia berdalih bahwa semuanya demi kebaikan.

Kebaikan siapa? Kebaikan dirinya sendiri, tentu saja.

“Ada masa depan kita berdua yang dipertaruhkan, beban mental, rasa bersalah ke orangtua, kecewanya mereka, impian-impian kita, dan... kebahagiaan seorang manusia, Nish.”

Danish bahkan sudah bisa menebak semua alibi itu tanpa harus mendengarnya lebih dulu.

“Gue nggak mau ada seseorang yang menyesal karena lahir dari kita berdua.”

Apa sebegitu buruknya mereka?

“Anak kita, nggak boleh lahir dari kesalahan.” Sayna mengusap wajah Danish yang tengah menatapnya nanar.

Benar. Tentu saja Sayna benar, kapan dia bisa salah memangnya? Sayna itu gadis pintar, dia pasti melakukan hal-hal yang benar.

Namun, bagaimana dengan Danish? Bagaimana dengan perasaannya? Ini terlalu menyakitkan untuk diteruskan.

“Lo harus tetap kuliah dan jadi dokter, seperti yang lo cita-citakan.” Danish menangis melihat kekasihnya menahan nyeri sambil meringis. “Jangan kecewain Ibu sama Ayah. Benar, kan?”

“Nish...”

“Terus gue gimana, Sayna?” Pemuda itu kembali tersedu-sedu. Persetan dengan label cengeng yang disematkan padanya setelah itu. Dia repot sekali, Danish tidak tahu harus bagaimana lagi. “Semuanya harus selalu tentang lo, tentang perasaan lo, tentang rencana-rencana dan pemikiran lo. Gue nggak pernah ada di sana, gue memang bukan apa-apa.”

“Nish, lo marah karena gue aborsi tanpa persetujuan?” Tentu saja, Sayna, dan masih banyak amarah terpendam lainnya. “Gue harus kasih tahu berapa kali? Itu hak gue sepenuhnya, ini badan gue, gue bebas mau apain aja. Ini otoritas gue sebagai manusia, sebagai Sayna, bukan sebagai pacar lo! Lo itu bukan siapa-siapa. Kalau lo mau, ambil ini! Masukin ke perut lo sendiri.”

Sebagai calon tenaga kesehatan, Sayna belajar hal seperti ini. Dan masyarakat awam tidak banyak yang tahu, mereka tidak mengerti, banyak yang belum paham tentang hak tubuh mereka sendiri. Terutama karena Danish dan Sayna tidak terikat pernikahan, tidak ada wewenang seorang suami atau kepala rumah tangga di sana. Namun meskipun begitu, seorang wanita tetap jadi pemilik tubuhnya sendiri, entah dia bersuami atau tidak.

Dia bebas menentukan ingin hamil atau tidak, ingin melahirkan atau menggugurkan kandungan. Mereka hanya tidak tahu, sering keliru. Anak yang lahir tanpa perencanaan, tanpa kesiapan orangtuanya, tidak benar-benar dianjurkan. Sebab dia akan hidup lama sebagai seorang manusia, bukan asal-asalan saja. Lupakan soal norma dan agama, Sayna membahas ini berdasarkan logika.

Dia belum siap untuk melahirkan dan membesarkan seorang bayi, pun tidak mau anaknya diadopsi atau dibesarkan orang lain, jadi aborsi memang jalan satu-satunya.

“Terus apa gunanya gue ada di sini?” Danish bicara lagi, meski kemelut di kepalanya seperti benang kusut. Dia harus bertanya, karena setelah ini Danish harus bagaimana lagi?

“Tanggung jawab, Nish.”

“Apa?”

“Tanggung jawab, karena ada janin di sini akibat perbuatan kita berdua.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status