Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.
“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”
Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.
“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.
“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”
Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayna berpegangan di kusen pintu, dia masih belum percaya pada penglihatannya. Danish menyentuh kaki Sayna yang dialiri darah segar, tangannya gemetar, ternyata benar, ini bukan gurauan.
“Ke rumah sakit!” Dia setengah membentak, menarik Sayna paksa, namun gadis itu bersikeras, bahkan tidak bergerak, tangannya kokoh berpegangan, kelapanya menggeleng berulang-ulang. “Sayna!”
Danish masih terus berusaha, melakukan berbagai cara.
“Nish, sakit...”
Dan baru berhenti saat Sayna mengeluarkan suara, mengerang tertahan, meminta Danish melepaskan, berhenti melakukan pemaksaan.
“Sayna, please...” Danish turun lagi, merosot di tempatnya berpijak, berlutut di bawah Sayna. “Jangan begini, please... gue akan lakukan apa pun,” ikrarnya. Dia bersujud di kaki gadis itu, mengabaikan darah yang berceceran di sana.
“Telat, Nish. Udah nggak ada harapan lagi.”
“Sayna—”
“Dia udah nggak ada.”
Sembari mengelus perut, Sayna mengatakannya, dengan air mata turun seperti hujan, menahan kesakitan. Danish meraung, suaranya menggerung, dia mencengkeram kaki Sayna, gemetar di sana, menangis dengan tak tahu malunya.
“Lo gila!” Dia mengumpat kasar. “Lo nggak waras, Sayna!”
Benar, Sayna memang sudah tidak waras, dia gila. Danish dan semua tudingan itu benar adanya. Gadis itu berjalan mundur untuk kembali duduk di lantai, bersandar di dinding, menunggu peluruhan itu benar-benar selesai.
“Sayna, ayo pergi...” Danish merangkak, tidak membiarkan Sayna melakukan hal yang lebih jauh lagi. “Ayo pergi dari sini...”
Mereka harus menyelamatkan diri...
Tangan Danish mulai menyentuh bagian bawah lutut Sayna, sementara yang satunya menyasar punggung, dia bergerak merengsek dan mengumpulkan kewarasan yang tinggal tersisa seadanya. Danish tahu dia tidak boleh diam saja, Sayna harus diselamatkan, dia yakin masih ada harapan.
“Nish...” Sayna berbisik lirih dan menatap Danish dengan mata sayunya. “Di rumah sakit nanti, kalau ketahuan, obatnya... ditemukan, gue dalam bahaya.”
Danish tidak sepenuhnya mengerti, tapi perkataan Sayna membuat dia berhenti.
“Udah nggak ada gunanya.” Sayna meyakinkan pemuda itu—kekasihnya, ayah biologis dari janin dalam kandungannya. “Dia udah nggak ada. Maaf, ya?”
Mata mereka bertatap nanar, Sayna mengusap wajah Danish yang basah, bersimbah air mata. Dan perlahan pegangannya jadi tak bertenaga, Danish melepas Sayna kembali. Dia tampak tak berdaya, duduk di lantai yang basah bersama Sayna.
“Tega, Sayna...”
Danish pasti tidak mengerti, Sayna melakukannya untuk kebaikan mereka bersama. Untuk kebahagiaan mereka juga nantinya.
“Lo lebih tega,” tuding Sayna pada kekasihnya. “Gimana bisa... lo pergi sama Dya, sementara gue begini, nungguin lo, sendirian, lebih dari dua bulan.”
Sayna menderita, asal Danish tahu saja.
“Gu..gue nggak cuma sama Dya.” Danish gelagapan mengatakannya. “Ada Hamam sama Anya juga. Gue nggak pergi berdua, Sayna.”
“Lo nggak bilang gitu kemarin.” Sayna menutup matanya rapat. “Dan tetap aja aneh, lo tega pergi liburan sementara kita... gue... begini, Nish.”
Danish hanya pergi satu kali, Sayna. Dia juga merana, menderita, tersiksa saat mereka berdua dalam masa jeda. Tapi bagaimana Danish harus menjelaskannya?
“Jadi... semuanya salah gue?” tanya Danish putus asa, dia menunjuk dada telanjangnya. “Lo begini... gara-gara gue?”
Sayna menatapnya nanar, matanya panas, seperti terbakar, lagi-lagi sebuah lubang besar, luka yang baru, yang mengakar, tercipta di antara mereka berdua.
“Kenapa lo tega?” Danish lagi-lagi bertanya, darah dagingnya sedang dibunuh, di depan matanya sendiri, saat ini. “Itu anak gue, Sayna. Gue punya hak atas dia. Harusnya... masa depan dia diambil atas keputusan bersama. Kenapa—”
“Apa bahkan lo akan mengakui statusnya setelah apa yang pernah gue lakukan?”
“Sayna.” Danish menggeram pelan sambil mencengkeram bahu kekasihnya. “Bahkan kalau pun lo main gila berkali-kali sama orang lain—di belakang gue, gue tahu, yang di dalam sini darah daging gue, gue nggak sepicik yang lo pikir.”
“Oh, dengan bereaksi kayak gitu tadi?”
“Lo mau gue gimana?!” Danish meneriakinya, memukul dinding yang jadi tempat bersandar Sayna. Kepayahan mengatur laju napas dan emosi di dada. “Gue harus gimana, Sayna?! Gue harus gimana biar di mata lo gue itu benar. Sekali aja!”
Danish akan bertanggung jawab, tentu saja. Memang apa lagi? Dia bisa apa selain itu? Tapi tetap, dia butuh waktu, Danish manusia, dia juga bisa takut dan panik, dia kaget mendengarnya pertama kali. Bingung harus bereaksi seperti apa agar tidak menyakiti kekasihnya, namun tetap salah juga.
“Lo... pergi sama Dya... Anya... saat keadaan nggak memungkinkan, Nish.” Dan kenyataan itu begitu menyakitkan, sementara Sayna menanti kedatangannya seperti seorang pesakitan.
“Kalau gue nggak pergi, apa lo bisa jamin nggak ambil langkah ini?” tanya Danish sambil menatap Sayna tajam. “Nggak kan, Sayna? Lo sengaja, cari alibi, buat menyalahkan gue.”
Kenapa Danish jadi pintar begini? Bagaimana dia bisa menganalisis cepat tindakan Sayna? Tentu saja Sayna sudah memikirkan matang-matang sebelumnya, minta bantuan lembaga berwenang yang menaungi kasus kehamilan tidak direncanakan, berkonsultasi dengan mereka, hingga mempelajari proses aborsi mandiri yang aman tanpa bantuan tenaga kesehatan.
Sayna sudah bersiap sejak lama, dia hanya menunggu Danish untuk memberi tahunya. Bukan untuk mengambil keputusan bersama.
“Lo ngapain aja sama Dya?” tanya Sayna mengalihkan pembicaraan mereka. “Lo udah pernah cium dia?”
“Sayna!”
“Nggak papa, lo pasti mau bales perbuatan gue sama Gio, kan?”
“Lo jangan gila, Sayna!”
“Cuma saatnya kurang tepat, Nish. Kenapa harus sekarang? Kenapa nggak nunggu gue selesai aborsi?”
“Berhenti nyalahin gue hanya karena gue nggak tahu soal kehamilan lo selama kita nggak bareng, Sayna!” Danish merasakan bulu kuduknya meremang sebadan-badan. Dia ngeri membayangkan jadi tersangka sendirian, dia tahu bahwa Sayna memang pantas menyalahkannya, tapi Danish punya alasan. “Berhenti nyalahin orang yang nggak lo kasih tahu, berhenti nyalahin ketidaktahuan gue buat banyak hal. Gue bukan cenayang, Sayna! Kalau gue tahu lebih awal, pasti nggak akan begini jadinya!”
“Gue harusnya kasih tahu lo lebih cepat, kan?”
Danish menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu, Sayna merasa bersalah sekali atas hal itu. Namun dia memang sengaja melakukannya, Sayna tidak mau Danish kembali hanya karena ada janin itu di antara mereka, yang jadi penahannya, yang mengikat keduanya. Sayna ingin Danish kembali karena hatinya sendiri benar-benar menginginkan itu semua.
“Gue yang harusnya datang lebih cepat...” Suara Danish teredam oleh tangis. Dia malu mengangkat wajah, dia tahu dirinya salah, dua bulan terlalu lama membiarkan Sayna sendirian untuk mengambil jeda.
Danish menyesal sekali, tapi boleh kan dia berusaha membela diri? Danish lelah jadi satu-satunya orang yang bersalah di sini. Dadanya nyeri sekali, Danish memeluk perut Sayna, masa bodoh dengan lantai kamar mandi yang dingin dan basah, juga bau anyir dari darah yang menguar, dia menggugu di sana. Darah dagingnya, anak yang sesungguhnya, calon manusia, mereka sedang membunuhnya bersama-sama.
“Nish...” Sayna mengusap rambut kekasihnya, mengelus punggung Danish yang mulus tidak tertutup apa-apa. “Maaf,” bisiknya pelan. “Lo benar, gue cuma cari-cari alasan buat menyalahkan, gue udah nggak waras, Nish...” Sayna menutup matanya rapat, mencoba untuk jujur meski sangat berat. “Bahkan, meskipun lo datang lebih cepat, gue nggak akan berubah pikiran. Ini yang bakal gue lakukan, gue akan tetap begini.”
Sayna harap, Danish berhenti menyalahkan diri sendiri. Dia tidak tega terus-terusan melukai hati kekasihnya, Danish orang baik. Hanya mungkin... tidak baik untuk Sayna.
“Gue cuma nunggu, buat ngasih tahu,” curhat Sayna pada pemuda itu. “Mungkin... mau menikmati masa kehamilan sebentar pas kita ketemu, tapi ini udah terlalu besar, gue takut kehabisan waktu.”
“Tega, Sayna...” Danish mengangkat wajahnya dari sana, dia pasti sudah seperti orang gila. “Dia... anak gue juga, gue punya hak atas hidupnya.”
Sayna menggelengkan kepala. Danish salah, logika itu tidak berlaku untuknya. “Dia milik gue sendiri, Nish.” Gadis itu mengelus perutnya yang mulas, menunggu semuanya luruh hingga organ janin jatuh. “Lo nggak punya hak apa-apa atas dia, karena dia di sini, di tubuh gue. Gue yang punya otoritas penuh sama diri gue, bahkan ibu yang melahirkan gue pun nggak ada hak mencampuri itu. Gue sangat berhak... memutuskan ingin melanjutkan kehamilan atau enggak, ingin melahirkan dia atau enggak.”
Jahat.
Danish tidak tahu apa gambaran yang lebih tepat dibanding satu kata itu untuk Sayna. Dia tidak mengenal gadis itu lagi saat ini. Sayna adalah antagonisnya, persis seperti yang pernah Danish dengar dari seseorang.
“Apa lo bahkan pernah... mikirin dia, kalau lo nggak mau mikirin gue?”
Sayna menarik sebelah sudut bibirnya lalu menggelengkan kepala. “Dia nggak tahu apa-apa, Nish. Dia nggak punya hak selama dia masih bergantung penuh sama gue, hak-nya belum berlaku selama dia belum jadi manusia sempurna. Jadi, nggak usah cari alasan yang mengada-ada.”
Itu hanya segumpal daging tanpa pikiran dan perasaan, jangan terlalu dibesar-besarkan.
Danish mengusap wajahnya perlahan, susah payah menahan isakan, dia di titik bingung untuk apa menangisi orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan. Danish kehilangan harapan, Sayna dan argumen yang selalu menuntut untuk dibenarkan, pasti setelah ini dia berdalih bahwa semuanya demi kebaikan.
Kebaikan siapa? Kebaikan dirinya sendiri, tentu saja.
“Ada masa depan kita berdua yang dipertaruhkan, beban mental, rasa bersalah ke orangtua, kecewanya mereka, impian-impian kita, dan... kebahagiaan seorang manusia, Nish.”
Danish bahkan sudah bisa menebak semua alibi itu tanpa harus mendengarnya lebih dulu.
“Gue nggak mau ada seseorang yang menyesal karena lahir dari kita berdua.”
Apa sebegitu buruknya mereka?
“Anak kita, nggak boleh lahir dari kesalahan.” Sayna mengusap wajah Danish yang tengah menatapnya nanar.
Benar. Tentu saja Sayna benar, kapan dia bisa salah memangnya? Sayna itu gadis pintar, dia pasti melakukan hal-hal yang benar.
Namun, bagaimana dengan Danish? Bagaimana dengan perasaannya? Ini terlalu menyakitkan untuk diteruskan.
“Lo harus tetap kuliah dan jadi dokter, seperti yang lo cita-citakan.” Danish menangis melihat kekasihnya menahan nyeri sambil meringis. “Jangan kecewain Ibu sama Ayah. Benar, kan?”
“Nish...”
“Terus gue gimana, Sayna?” Pemuda itu kembali tersedu-sedu. Persetan dengan label cengeng yang disematkan padanya setelah itu. Dia repot sekali, Danish tidak tahu harus bagaimana lagi. “Semuanya harus selalu tentang lo, tentang perasaan lo, tentang rencana-rencana dan pemikiran lo. Gue nggak pernah ada di sana, gue memang bukan apa-apa.”
“Nish, lo marah karena gue aborsi tanpa persetujuan?” Tentu saja, Sayna, dan masih banyak amarah terpendam lainnya. “Gue harus kasih tahu berapa kali? Itu hak gue sepenuhnya, ini badan gue, gue bebas mau apain aja. Ini otoritas gue sebagai manusia, sebagai Sayna, bukan sebagai pacar lo! Lo itu bukan siapa-siapa. Kalau lo mau, ambil ini! Masukin ke perut lo sendiri.”
Sebagai calon tenaga kesehatan, Sayna belajar hal seperti ini. Dan masyarakat awam tidak banyak yang tahu, mereka tidak mengerti, banyak yang belum paham tentang hak tubuh mereka sendiri. Terutama karena Danish dan Sayna tidak terikat pernikahan, tidak ada wewenang seorang suami atau kepala rumah tangga di sana. Namun meskipun begitu, seorang wanita tetap jadi pemilik tubuhnya sendiri, entah dia bersuami atau tidak.
Dia bebas menentukan ingin hamil atau tidak, ingin melahirkan atau menggugurkan kandungan. Mereka hanya tidak tahu, sering keliru. Anak yang lahir tanpa perencanaan, tanpa kesiapan orangtuanya, tidak benar-benar dianjurkan. Sebab dia akan hidup lama sebagai seorang manusia, bukan asal-asalan saja. Lupakan soal norma dan agama, Sayna membahas ini berdasarkan logika.
Dia belum siap untuk melahirkan dan membesarkan seorang bayi, pun tidak mau anaknya diadopsi atau dibesarkan orang lain, jadi aborsi memang jalan satu-satunya.
“Terus apa gunanya gue ada di sini?” Danish bicara lagi, meski kemelut di kepalanya seperti benang kusut. Dia harus bertanya, karena setelah ini Danish harus bagaimana lagi?
“Tanggung jawab, Nish.”
“Apa?”
“Tanggung jawab, karena ada janin di sini akibat perbuatan kita berdua.”
Sayna meraih ponselnya, sudah lebih dari 1 jam sejak butir-butir Misoprostol itu dimasukkan ke vagina. Darah yang keluar semakin banyak, janin itu luruh, hanya organ intinya belum jatuh. Gadis itu membiarkan Danish membaca seluruh instruksinya. Memerhatikan layar ponsel dengan saksama. “Gila, Sayna...” Danish berucap dengan bibir gemetar. Tidak menyangka jika kekasihnya yang terlalu pintar tega berbuat sejauh ini. Melakukan aborsi terencana, dinaungi oleh lembaga yang memihak hak-hak perempuan, difasilitasi dengan obat-obatan dan bimbingan online untuk mengeksekusi kandungan. Sayna butuh ditemani oleh satu orang yang sehat dalam melakukan proses aborsinya, berada dekat dengan rumah sakit untuk berjaga-jaga kemungkinan komplikasi, dan itulah gunanya Danish ada di sini. “Sekarang kita masuk ke tahap selanjutnya.” Sayna berujar sambil menekuk kedua kaki dan melebarkannya, membuat Danish bisa menonton lelehan-lelehan darah dari jalan lahir. Lalu tangan g
Dua garis merah muda didapatinya pagi itu. Sayna masih harus terus melakukan tes kehamilan hingga dua minggu setelah keguguran. Dia memotret hasilnya dan mengirim gambar tersebut via pesan multimedia. Sayna masih diawasi hingga pendarahannya berhenti dan garis dua itu berubah menjadi satu saat mengambil tes urin nanti.Gadis itu meraih kotak obat di mana ada butiran asing yang harus ditelannya untuk beberapa waktu kedepan, kabarnya adalah obat pembersih kandungan. Sebab Sayna tidak melakukan kuretase setelah keguguran. Dia mengalami pendarahan seperti wanita habis melahirkan, tanda kehamilan pun masih bisa Sayna rasakan.Pinggang yang nyeri, dada membesar, hingga sedikit mual dan pusing. Hormonnya turun kembali, perlahan-lahan setelah tidak ada janin dalam perutnya lagi.Dan Sayna masih merasa itu semua hanyalah mimpi.Dia masih ingin menyangkal kalau semua itu tidak benar, kalau yang dilakukannya terakhir kali dengan Danish hanyalah mimpi buruk yang acap
Halaman belakang kediaman Melia Adiswara adalah taman bunga yang mekar bergantian sesuai musim. Melia mempersembahkan itu semua untuk putri tercintanya—Dinara, yang memang mencintai bunga-bunga hidup, terutama bunga matahari. Yang tidak pernah Danish tahu adalah, taman bunga itu sekaligus menjadi pemakaman untuk calon anaknya dengan Sayna.Janin 14 minggu itu dikubur di sana, tengah malam, saat di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Danish memaksakan diri untuk membawa jasad anaknya dari Bandung ke Jakarta, karena Sayna sudah bertransformasi jadi monster, bukan lagi manusia. Dia masih ngeri jika mengingat wajah datar gadis itu ketika membuang jasad anak mereka ke lubang pembuangan.Danish masih berusaha menata hati usai tragedi itu, biar bagaimanapun ada janji yang harus dia tepati, memaafkan Sayna bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.Namun kali ini, bagaimana caranya? Danish tidak tahu, seperti apa dia harus berusaha untuk sembuh? Dia sudah tidak memikirkan Sa
“Tunggu di sini sebentar, ya.”Rafika tersenyum senang mendengar nada ramah itu kembali. “Iya, santai aja.”Lalu dia melihat punggung gadis itu menjauh dari tempat duduk mereka. Butuh waktu lama sekali untuk membuatnya bersedia datang dengan sukarela ke tempat ini. Dia sedang butuh bantuan, Rafika tahu dengan jelas dari wajah gadis itu, tatapan matanya yang kosong dan kadang sendu.Namun tidak semua orang yang meminta bantuan mau berubah, beberapa orang ingin sembuh dari rasa sakit tanpa mau berusaha, dan awalnya Sayna pun sama. Dia membiarkannya saja, beban mental itu menggerogotinya bagai kayu dimakan rayap. Bahkan tak jarang dia melakukan penyerangan, padahal jelas sekali bahwa dia harus bekerja keras untuk pulih dari trauma.Entah trauma macam apa, yang jelas itu berkaitan erat dengan kasus-kasusnya di kampus.“Mau makan sesuatu?” tawar Giovanni ketika melihat Sayna masuk ke ruang konsultasi sementara t
Sayna terbangun dengan bunyi denting yang memuat rentetan pesan dari aplikasi perbankan dalam ponselnya. Beberapa nominal uang telah dikirimkan, jumlahnya sama setiap bulan, diterima pada tanggal yang sama pula. Pengirimnya adalah, Danish Adiswara Caka. Kekasihnya—atau calon mantan kekasihnya, Sayna tidak tahu juga.Jadi, meski sudah lama sekali tidak berkomunikasi, rekening Danish secara otomatis mengirim uang itu padanya. Mungkin dia sendiri tidak ingat, Danish memang sedikit pelupa. Nominalnya sama, perbulan sebesar 5 juta rupiah. Sayna pernah menolak dan meminta pengurangan jumlah, itu terlalu banyak untuk mahasiswi dari kelas sosial menengah sepertinya. Namun Danish berkilah, dia bilang jatahnya agak terlalu banyak jika tidak dibagi dengan Sayna.Dia punya kakak ipar kaya raya yang menanggung uang jajan sebesar 30 atau 40 juta perbulan, jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Juga pendapatan dari laundry karena ibunya tidak akan memberi Danish uan
“Jadi... sampai sekarang belum ada yang tahu?”Melia, Dinara, Pradnya bahkan Ceu Yati pun menggelengkan kepala. Mereka semua serempak melakukan gerakan itu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ayudia. Hari yang cerah untuk melakukan perkumpulan kecil di ruang lingkup keluarga, Ayudia sengaja terbang ke Jakarta melihat dua anak gadisnya keranjingan pulang pergi demi menemani ipar mereka yang tengah patah hati.Kemudian semuanya berkumpul di dapur, karena Melia sibuk membuat roti untuk Danish. Bungsunya itu menolak makan dan hanya bisa menjejali roti ke perutnya, itu pun harus roti buatan Melia. Dan seorang ibu, demi anaknya apa sih yang tidak? Melia rela melepas pakaian kerja dan kembali berkarier di dapur dengan apron serta tangan bertabur terigu.“Pacarnya Ninish ini apa, toh? Calon dokter?”“Iya, Bu.” Dinara menimpali jawaban mertuanya.“Keluarganya sekaya apa?” tanya Ayudia lagi.&l
“Aduh, aduh... sakit banget ini.”“Sakit? Sakit apa, Nish?”“Encok nih kayaknya, pinggang aku nyeri.”“Ya, ampun! Kok encok terus gimana ceritanya? Udah ke dokter belum?”“Belum, Bu, ntar aja. Nunggu Sayna yang jadi dokternya. Hehehe.”Sayna mengenang potongan itu, Danish selalu berlebihan jika kebetulan tangan Sayna jahil dan memelintir kulit perut atau pinggangnya. Dia akan meringis dan mengadu pada ibu, lalu mengatakan kalimat-kalimat yang lucu. Danish, Sayna rindu sekali padamu.“Pesen apa lagi? Gurame sambel cobek? Apa sambel mangga? Teteh mau apa aja? Kangkung terasi? Tumis genjer?”Sayna mengalihkan pandangan. “Aku kangkung aja, Bu.”“Biar nanti tainya warna ijo ya, Kak?”“Inara!” tegur wanita akhir tiga puluhan yang Sayna sebut sebagai Imo—alias Bibi, ibu kandung sepupunya. Sementara itu yang
Danish tidak tahu jika halaman belakang rumahnya akan sedikit berubah jadi pemakaman keluarga dan bukan hanya taman bunga biasa. Setelah janin Sayna dikubur di sana, Bolu—Chinchilla lucu berbulu miliknya juga bersemayam di tempat itu. Dia mengalami dehidrasi dan masalah pencernaan hingga tak bisa diselamatkan lagi, Bolu ditemukan oleh Dya, malam hari sebelum gadis itu pulang ke rumah keluarganya di Jakarta. Saat Danish sudah tidur lebih dulu.Awalnya dia tidak merasa apa-apa, kehilangan Bolu yang hanya hewan peliharaan tidak begitu melukainya. Danish tahu rasanya kehilangan lebih parah dari itu. Dia tidak menangis saat menguburkan Bolu di belakang rumah, Danish meyakini kalau Sayna pun pasti akan bersikap sama. Gadis itu bahkan mengeluarkan anaknya dari dalam perut setelah dibuat mati lebih dulu. Dan dengan tanpa pikir panjang membuang jasadnya ke lubang pembuangan.Danish tidak bersedih untuk kepergian Bolu dari hidupnya.Tidak sama sekali.Tapi ke