Danish membeliak, menahan napas terang-terangan, lalu perlahan menarik telapak tangannya yang bermukim di perut gadis itu. Reaksi yang... wajar sebenarnya.
Reaksi super wajar. Memangnya apa? Sayna ingin kabar kehamilannya disambut bahagia? Mereka bahkan belum menikah, bagaimana bisa kehadiran janin di luar nikah membuat Danish berbunga-bunga? Dia justru kaget, panik, reaksi yang sangat tertebak.
Namun... Sayna tetap kecewa. Dia tidak suka pada ekspresi dan reaksi kekasihnya. Janin itu ada di perut akibat perbuatan mereka berdua. Kenapa Danish sedikit saja tidak ingin berterima kasih padanya? 14 minggu sama sekali tidak mudah mengandung benih itu sendirian.
“Kenapa? Kenapa bisa, Say?”
Sakit mendengar pertanyaan itu, saat Sayna tidak mungkin hamil sendiri tanpa dibuahi. Tapi seperti takdir kebanyakan, perempuan memang selalu jadi pihak yang paling dihakimi. “Bisa, Nish. Karena kita cuma pakai kontrasepsi, bukan angkat rahim atau vasektomi.”
Tetap ada kemungkinan untuk hamil, walaupun kecil. Dan si kecil itu tengah berada di perut Sayna saat ini.
Danish mendadak gagu. Dia masih harus mencerna baik-baik informasi itu. Bukan tidak percaya pada Sayna, Danish hanya butuh sedikit waktu. Dia takut berkata yang tidak-tidak.
“Kayaknya perempuan.” Sayna meneruskan obrolan. “Ini bukunya, dia lahir akhir Mei atau awal Juni tahun depan.”
Danish tertegun, dia ikut bangkit dengan Sayna sambil memeriksa apa saja yang coba diperlihatkan oleh gadis itu. Alat tes kehamilan berstrip dua, serta buku catatan dengan beberapa coretan yang tidak Danish mengerti.
“Terakhir kali, gue pengen banget rujak yang waktu itu lo beli.” Lagi-lagi, suara Sayna mengalun demi menambah rentetan informasi.
“Oh... lo mau? Bi..biar gue beli.” Danish bicara dengan suaranya yang gugup dan itu jarang terjadi. Pemuda itu tergesa mencari baju, lalu berhenti ketika Sayna menyentuh lengan kekarnya.
“Jangan ke mana-mana,” pinta gadis itu. “Jangan pergi lagi.”
Jangan tinggalkan dia sendiri. Semoga Danish mengerti.
“Ah... i..ya.”
Kenapa Danish yang seperti ini membuat Sayna sangat kecewa? Meskipun tentu saja, apa yang bisa Sayna harapkan darinya? Mereka berusia 20 dan masih kuliah.
“Tunggu di sini.”
Gadis itu memutuskan pergi, dia membersihkan diri ke kamar mandi. Harusnya tidak begini, pertemuan mereka sudah dirancang sejak dua bulan sejak terakhir bertengkar. Harusnya bukan begini momen pertama memulai lagi. Harusnya... Sayna hanya perlu memeluk pemuda itu, menagih sentuhan menakjubkan yang biasanya selalu Danish hadiahkan, harusnya... Sayna tinggal mengatakan soal kehamilan ini. Kemudian... pergi.
Iya. Pergi. Dia tahu bahwa di antara mereka sudah tidak ada harapan lagi. Bagaimanapun Sayna menginginkan dan mempertahankan diri, anak dalam perutnya tidak boleh lahir dalam situasi seperti ini. Punya orangtua yang mungkin sudah tidak saling mencintai. Tidak boleh.
“Maaf ya, Nak. Dia udah tahu sekarang.” Sayna berbisik lirih saat terduduk lemas di closet kamar mandi. “Kamu harus pergi, aku cuma mau dia tahu waktu kamu masih ada di sini.”
Tangannya gemetar meraih ponsel yang dia simpan di saku baju, mengenakan helaian kain itu lebih dulu untuk menutupi tubuh, baru merogoh saku yang lain untuk menemukan benda yang dia cari.
Beberapa butir obat berbagai ukuran, warna-warni. Sayna mengambil satu di antaranya setelah membaca petunjuk singkat di layar ponsel, menyimpan yang satu itu di bawah lidah, membiarkan saraf-saraf di sana bekerja.
Sayna mulai mengusap pelan perutnya, menghaturkan maaf dalam hati, mengingat bagaimana air matanya luruh saat kali pertama mendengar detak jantung sosok itu. Seolah meneriakkan pada dunia bahwa, dia hidup. Dia ingin hidup.
Akan tetapi, itu tidak bisa, tidak mungkin terjadi. Ada banyak hal dipertaruhkan, masa depan yang dikorbankan. Sayna tidak mau itu terjadi. Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana wajah kecewa ibunya, Melia, dan orang-orang yang menaruh harapan besar padanya.
“Say...”
“Tidur,” jelas Sayna pelan. Ada rasa mulas yang menjalar di perutnya saat dia keluar. “Nggak usah mikirin apa-apa, Nish.”
Danish mengerjap, dia memang sedang tidak bisa berpikir, tapi Sayna dan reaksinya benar-benar tidak terduga. Gadis itu jelas tampak tidak baik-baik saja.
“Sayna, maaf—”
“Iya, udah.” Dia hanya mengangguk kemudian berbaring dan menarik selimut, menggenggam ponselnya erat-erat. “Tidur,” lirihnya dengan wajah sendu.
“Gue boleh peluk?” tanya Danish saat Sayna berbaring miring dan menghadiahkan punggung padanya. Gadis itu menggeleng. “Kenapa?”
“Gue lagi nggak pengen diganggu dulu.”
Lalu apa gunanya Danish ada di sini?
Pemuda itu menahan napas dalam hening kamar yang mereka tempati. Malam ini seperti roller coaster, Sayna mengajaknya naik untuk bersenang-senang, kemudian menghentak-hentak Danish dengan amarahnya, dan berakhir seperti sekarang. Perasaan yang asing, naik turun tidak menentu.
Hening untuk beberapa menit menghiasi tempat itu, berganti dengan ringisan pelan dari bibir Sayna. Obatnya bekerja, dia tahu. Mulasnya mulai tidak biasa, dan Sayna menambah satu butir obat lagi untuk dileburkan di bawah lidahnya. Saraf di sana yang terhubung dengan kandungan, meski setelah itu Sayna merasa lidahnya kelu, kaku, lama kelamaan menjadi nyeri. Ngilu, seperti habis dipukuli.
Ada dengkur halus di belakangnya, Sayna bisa mendengar meski sayup, dia sendiri nyaris kehilangan kesadaran. Matanya berat, perutnya sakit, gerakan kupu-kupu di sana sudah menghilang. Mungkin jantung janinnya sudah tidak berdetak lagi.
“Maaf, Nish...” bisik gadis itu lemah, dia pasrah. Sayna sudah tidak tahu apa hal terbaik yang harus dia lakukan, apakah ini yang disebut menyerah? “Dia perempuan, detak jantungnya lebih dari 140 kali per-menit. Dia kuat, Nish, bahkan di situasi nggak stabil gini. Sayangnya kita nggak bisa mastiin.”
Sayna tersenyum miris, tangannya bergerak mengelus wajah Danish. Pupus sudah harapannya melihat sosok ini dalam diri orang lain. Sayna menginginkan seseorang menyerupai Danish, mewarisi wajahnya yang rupawan dan sifat polosnya yang baik.
“Uh... sakit...” Gadis itu meringis, satu jam sudah berlalu, dia segera meneruskan proses selanjutnya. Kembali ke kamar mandi dan memeriksa, beberapa tetes darah mulai mengisi menstrual cup yang dia pasang di sana. Sayna kemudian membersihkan dan memutuskan untuk melepas benda itu, merasa kurang nyaman.
Dia membaca instruksi selanjutnya, memasukkan dua butir obat langsung ke vagina atau jalan lahir. Merangsang rahim untuk berkontraksi, berusaha mengeluarkan benda asing di dalam situ. Sayna tidak keluar lagi, memutuskan untuk tetap di kamar mandi setelah menelan tablet pereda nyeri.
“Sayna?” Danish mengetuk pintu kamar mandi dari luar, yakin Sayna ada di dalam sana. Dia belum sempat membersihkan diri dan ketiduran setelah kehabisan bahan obrolan. Tidak tahu apa yang Sayna lakukan.
“Sebentar, Nish...” Sayna meringis, memanjangkan tangan untuk meraih handle pintu. Dia mulai menangis, duduk di lantai kamar mandi sambil bersandar ke dinding dan menaikkan baju yang dia kenakan hingga ke bawah dada, membuat darah yang keluar dari jalan lahirnya mengucur, memenuhi lantai dan harus segera dibersihkan.
Sayna merangkak ke arah pintu setelah sebelumnya menyalakan keran air agar darah yang mengotori lantai ikut mengalir dibawa air. Dia menurunkan gaun tidur ketika berpapasan dengan Danish, kekasihnya bertelanjang dada, hanya memakai celana, berdiri menjulang di hadapannya.
“Say, kenapa?” tanya Danish panik. Tentu saja panik, melihat Sayna merangkak dengan mata sayu, tertatih ke arahnya.
“Sakit,” keluh gadis itu pelan, jujur, meski sakit itu dia sendiri yang menciptakannya.
“A..apanya yang sakit?” Danish berjongkok, membawa Sayna berdiri, nyaris menggendong gadis itu andai Sayna tidak menghalau gerakannya. “Sayna?”
“Perut, Nish...”
“Perut?” Danish tidak bisa untuk tidak lebih panik daripada ini. “Say, kenapa? Tadi kan—”
“Gue aborsi.”
“Hah?”
“Gue lagi usaha buat ngeluarin janin dari perut gue, Nish. Makanya gue minta lo jangan ke mana-mana. Itu gunanya lo ada di sini.”
Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayn
Sayna meraih ponselnya, sudah lebih dari 1 jam sejak butir-butir Misoprostol itu dimasukkan ke vagina. Darah yang keluar semakin banyak, janin itu luruh, hanya organ intinya belum jatuh. Gadis itu membiarkan Danish membaca seluruh instruksinya. Memerhatikan layar ponsel dengan saksama. “Gila, Sayna...” Danish berucap dengan bibir gemetar. Tidak menyangka jika kekasihnya yang terlalu pintar tega berbuat sejauh ini. Melakukan aborsi terencana, dinaungi oleh lembaga yang memihak hak-hak perempuan, difasilitasi dengan obat-obatan dan bimbingan online untuk mengeksekusi kandungan. Sayna butuh ditemani oleh satu orang yang sehat dalam melakukan proses aborsinya, berada dekat dengan rumah sakit untuk berjaga-jaga kemungkinan komplikasi, dan itulah gunanya Danish ada di sini. “Sekarang kita masuk ke tahap selanjutnya.” Sayna berujar sambil menekuk kedua kaki dan melebarkannya, membuat Danish bisa menonton lelehan-lelehan darah dari jalan lahir. Lalu tangan g
Dua garis merah muda didapatinya pagi itu. Sayna masih harus terus melakukan tes kehamilan hingga dua minggu setelah keguguran. Dia memotret hasilnya dan mengirim gambar tersebut via pesan multimedia. Sayna masih diawasi hingga pendarahannya berhenti dan garis dua itu berubah menjadi satu saat mengambil tes urin nanti.Gadis itu meraih kotak obat di mana ada butiran asing yang harus ditelannya untuk beberapa waktu kedepan, kabarnya adalah obat pembersih kandungan. Sebab Sayna tidak melakukan kuretase setelah keguguran. Dia mengalami pendarahan seperti wanita habis melahirkan, tanda kehamilan pun masih bisa Sayna rasakan.Pinggang yang nyeri, dada membesar, hingga sedikit mual dan pusing. Hormonnya turun kembali, perlahan-lahan setelah tidak ada janin dalam perutnya lagi.Dan Sayna masih merasa itu semua hanyalah mimpi.Dia masih ingin menyangkal kalau semua itu tidak benar, kalau yang dilakukannya terakhir kali dengan Danish hanyalah mimpi buruk yang acap
Halaman belakang kediaman Melia Adiswara adalah taman bunga yang mekar bergantian sesuai musim. Melia mempersembahkan itu semua untuk putri tercintanya—Dinara, yang memang mencintai bunga-bunga hidup, terutama bunga matahari. Yang tidak pernah Danish tahu adalah, taman bunga itu sekaligus menjadi pemakaman untuk calon anaknya dengan Sayna.Janin 14 minggu itu dikubur di sana, tengah malam, saat di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Danish memaksakan diri untuk membawa jasad anaknya dari Bandung ke Jakarta, karena Sayna sudah bertransformasi jadi monster, bukan lagi manusia. Dia masih ngeri jika mengingat wajah datar gadis itu ketika membuang jasad anak mereka ke lubang pembuangan.Danish masih berusaha menata hati usai tragedi itu, biar bagaimanapun ada janji yang harus dia tepati, memaafkan Sayna bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.Namun kali ini, bagaimana caranya? Danish tidak tahu, seperti apa dia harus berusaha untuk sembuh? Dia sudah tidak memikirkan Sa
“Tunggu di sini sebentar, ya.”Rafika tersenyum senang mendengar nada ramah itu kembali. “Iya, santai aja.”Lalu dia melihat punggung gadis itu menjauh dari tempat duduk mereka. Butuh waktu lama sekali untuk membuatnya bersedia datang dengan sukarela ke tempat ini. Dia sedang butuh bantuan, Rafika tahu dengan jelas dari wajah gadis itu, tatapan matanya yang kosong dan kadang sendu.Namun tidak semua orang yang meminta bantuan mau berubah, beberapa orang ingin sembuh dari rasa sakit tanpa mau berusaha, dan awalnya Sayna pun sama. Dia membiarkannya saja, beban mental itu menggerogotinya bagai kayu dimakan rayap. Bahkan tak jarang dia melakukan penyerangan, padahal jelas sekali bahwa dia harus bekerja keras untuk pulih dari trauma.Entah trauma macam apa, yang jelas itu berkaitan erat dengan kasus-kasusnya di kampus.“Mau makan sesuatu?” tawar Giovanni ketika melihat Sayna masuk ke ruang konsultasi sementara t
Sayna terbangun dengan bunyi denting yang memuat rentetan pesan dari aplikasi perbankan dalam ponselnya. Beberapa nominal uang telah dikirimkan, jumlahnya sama setiap bulan, diterima pada tanggal yang sama pula. Pengirimnya adalah, Danish Adiswara Caka. Kekasihnya—atau calon mantan kekasihnya, Sayna tidak tahu juga.Jadi, meski sudah lama sekali tidak berkomunikasi, rekening Danish secara otomatis mengirim uang itu padanya. Mungkin dia sendiri tidak ingat, Danish memang sedikit pelupa. Nominalnya sama, perbulan sebesar 5 juta rupiah. Sayna pernah menolak dan meminta pengurangan jumlah, itu terlalu banyak untuk mahasiswi dari kelas sosial menengah sepertinya. Namun Danish berkilah, dia bilang jatahnya agak terlalu banyak jika tidak dibagi dengan Sayna.Dia punya kakak ipar kaya raya yang menanggung uang jajan sebesar 30 atau 40 juta perbulan, jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Juga pendapatan dari laundry karena ibunya tidak akan memberi Danish uan
“Jadi... sampai sekarang belum ada yang tahu?”Melia, Dinara, Pradnya bahkan Ceu Yati pun menggelengkan kepala. Mereka semua serempak melakukan gerakan itu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ayudia. Hari yang cerah untuk melakukan perkumpulan kecil di ruang lingkup keluarga, Ayudia sengaja terbang ke Jakarta melihat dua anak gadisnya keranjingan pulang pergi demi menemani ipar mereka yang tengah patah hati.Kemudian semuanya berkumpul di dapur, karena Melia sibuk membuat roti untuk Danish. Bungsunya itu menolak makan dan hanya bisa menjejali roti ke perutnya, itu pun harus roti buatan Melia. Dan seorang ibu, demi anaknya apa sih yang tidak? Melia rela melepas pakaian kerja dan kembali berkarier di dapur dengan apron serta tangan bertabur terigu.“Pacarnya Ninish ini apa, toh? Calon dokter?”“Iya, Bu.” Dinara menimpali jawaban mertuanya.“Keluarganya sekaya apa?” tanya Ayudia lagi.&l
“Aduh, aduh... sakit banget ini.”“Sakit? Sakit apa, Nish?”“Encok nih kayaknya, pinggang aku nyeri.”“Ya, ampun! Kok encok terus gimana ceritanya? Udah ke dokter belum?”“Belum, Bu, ntar aja. Nunggu Sayna yang jadi dokternya. Hehehe.”Sayna mengenang potongan itu, Danish selalu berlebihan jika kebetulan tangan Sayna jahil dan memelintir kulit perut atau pinggangnya. Dia akan meringis dan mengadu pada ibu, lalu mengatakan kalimat-kalimat yang lucu. Danish, Sayna rindu sekali padamu.“Pesen apa lagi? Gurame sambel cobek? Apa sambel mangga? Teteh mau apa aja? Kangkung terasi? Tumis genjer?”Sayna mengalihkan pandangan. “Aku kangkung aja, Bu.”“Biar nanti tainya warna ijo ya, Kak?”“Inara!” tegur wanita akhir tiga puluhan yang Sayna sebut sebagai Imo—alias Bibi, ibu kandung sepupunya. Sementara itu yang