Share

Luluh dan Luruh 2

Danish membeliak, menahan napas terang-terangan, lalu perlahan menarik telapak tangannya yang bermukim di perut gadis itu. Reaksi yang... wajar sebenarnya.

Reaksi super wajar. Memangnya apa? Sayna ingin kabar kehamilannya disambut bahagia? Mereka bahkan belum menikah, bagaimana bisa kehadiran janin di luar nikah membuat Danish berbunga-bunga? Dia justru kaget, panik, reaksi yang sangat tertebak.

Namun... Sayna tetap kecewa. Dia tidak suka pada ekspresi dan reaksi kekasihnya. Janin itu ada di perut akibat perbuatan mereka berdua. Kenapa Danish sedikit saja tidak ingin berterima kasih padanya? 14 minggu sama sekali tidak mudah mengandung benih itu sendirian.

“Kenapa? Kenapa bisa, Say?”

Sakit mendengar pertanyaan itu, saat Sayna tidak mungkin hamil sendiri tanpa dibuahi. Tapi seperti takdir kebanyakan, perempuan memang selalu jadi pihak yang paling dihakimi. “Bisa, Nish. Karena kita cuma pakai kontrasepsi, bukan angkat rahim atau vasektomi.”

Tetap ada kemungkinan untuk hamil, walaupun kecil. Dan si kecil itu tengah berada di perut Sayna saat ini.

Danish mendadak gagu. Dia masih harus mencerna baik-baik informasi itu. Bukan tidak percaya pada Sayna, Danish hanya butuh sedikit waktu. Dia takut berkata yang tidak-tidak.

“Kayaknya perempuan.” Sayna meneruskan obrolan. “Ini bukunya, dia lahir akhir Mei atau awal Juni tahun depan.”

Danish tertegun, dia ikut bangkit dengan Sayna sambil memeriksa apa saja yang coba diperlihatkan oleh gadis itu. Alat tes kehamilan berstrip dua, serta buku catatan dengan beberapa coretan yang tidak Danish mengerti.

“Terakhir kali, gue pengen banget rujak yang waktu itu lo beli.” Lagi-lagi, suara Sayna mengalun demi menambah rentetan informasi.

“Oh... lo mau? Bi..biar gue beli.” Danish bicara dengan suaranya yang gugup dan itu jarang terjadi. Pemuda itu tergesa mencari baju, lalu berhenti ketika Sayna menyentuh lengan kekarnya.

“Jangan ke mana-mana,” pinta gadis itu. “Jangan pergi lagi.”

Jangan tinggalkan dia sendiri. Semoga Danish mengerti.

“Ah... i..ya.”

Kenapa Danish yang seperti ini membuat Sayna sangat kecewa? Meskipun tentu saja, apa yang bisa Sayna harapkan darinya? Mereka berusia 20 dan masih kuliah.

“Tunggu di sini.”

Gadis itu memutuskan pergi, dia membersihkan diri ke kamar mandi. Harusnya tidak begini, pertemuan mereka sudah dirancang sejak dua bulan sejak terakhir bertengkar. Harusnya bukan begini momen pertama memulai lagi. Harusnya... Sayna hanya perlu memeluk pemuda itu, menagih sentuhan menakjubkan yang biasanya selalu Danish hadiahkan, harusnya... Sayna tinggal mengatakan soal kehamilan ini. Kemudian... pergi.

Iya. Pergi. Dia tahu bahwa di antara mereka sudah tidak ada harapan lagi. Bagaimanapun Sayna menginginkan dan mempertahankan diri, anak dalam perutnya tidak boleh lahir dalam situasi seperti ini. Punya orangtua yang mungkin sudah tidak saling mencintai. Tidak boleh.

“Maaf ya, Nak. Dia udah tahu sekarang.” Sayna berbisik lirih saat terduduk lemas di closet kamar mandi. “Kamu harus pergi, aku cuma mau dia tahu waktu kamu masih ada di sini.”

Tangannya gemetar meraih ponsel yang dia simpan di saku baju, mengenakan helaian kain itu lebih dulu untuk menutupi tubuh, baru merogoh saku yang lain untuk menemukan benda yang dia cari.

Beberapa butir obat berbagai ukuran, warna-warni. Sayna mengambil satu di antaranya setelah membaca petunjuk singkat di layar ponsel, menyimpan yang satu itu di bawah lidah, membiarkan saraf-saraf di sana bekerja.

Sayna mulai mengusap pelan perutnya, menghaturkan maaf dalam hati, mengingat bagaimana air matanya luruh saat kali pertama mendengar detak jantung sosok itu. Seolah meneriakkan pada dunia bahwa, dia hidup. Dia ingin hidup.

Akan tetapi, itu tidak bisa, tidak mungkin terjadi. Ada banyak hal dipertaruhkan, masa depan yang dikorbankan. Sayna tidak mau itu terjadi. Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana wajah kecewa ibunya, Melia, dan orang-orang yang menaruh harapan besar padanya.

“Say...”

“Tidur,” jelas Sayna pelan. Ada rasa mulas yang menjalar di perutnya saat dia keluar. “Nggak usah mikirin apa-apa, Nish.”

Danish mengerjap, dia memang sedang tidak bisa berpikir, tapi Sayna dan reaksinya benar-benar tidak terduga. Gadis itu jelas tampak tidak baik-baik saja.

“Sayna, maaf—”

“Iya, udah.” Dia hanya mengangguk kemudian berbaring dan menarik selimut, menggenggam ponselnya erat-erat. “Tidur,” lirihnya dengan wajah sendu.

“Gue boleh peluk?” tanya Danish saat Sayna berbaring miring dan menghadiahkan punggung padanya. Gadis itu menggeleng. “Kenapa?”

“Gue lagi nggak pengen diganggu dulu.”

Lalu apa gunanya Danish ada di sini?

Pemuda itu menahan napas dalam hening kamar yang mereka tempati. Malam ini seperti roller coaster, Sayna mengajaknya naik untuk bersenang-senang, kemudian menghentak-hentak Danish dengan amarahnya, dan berakhir seperti sekarang. Perasaan yang asing, naik turun tidak menentu.

Hening untuk beberapa menit menghiasi tempat itu, berganti dengan ringisan pelan dari bibir Sayna. Obatnya bekerja, dia tahu. Mulasnya mulai tidak biasa, dan Sayna menambah satu butir obat lagi untuk dileburkan di bawah lidahnya. Saraf di sana yang terhubung dengan kandungan, meski setelah itu Sayna merasa lidahnya kelu, kaku, lama kelamaan menjadi nyeri. Ngilu, seperti habis dipukuli.

Ada dengkur halus di belakangnya, Sayna bisa mendengar meski sayup, dia sendiri nyaris kehilangan kesadaran. Matanya berat, perutnya sakit, gerakan kupu-kupu di sana sudah menghilang. Mungkin jantung janinnya sudah tidak berdetak lagi.

“Maaf, Nish...” bisik gadis itu lemah, dia pasrah. Sayna sudah tidak tahu apa hal terbaik yang harus dia lakukan, apakah ini yang disebut menyerah? “Dia perempuan, detak jantungnya lebih dari 140 kali per-menit. Dia kuat, Nish, bahkan di situasi nggak stabil gini. Sayangnya kita nggak bisa mastiin.”

Sayna tersenyum miris, tangannya bergerak mengelus wajah Danish. Pupus sudah harapannya melihat sosok ini dalam diri orang lain. Sayna menginginkan seseorang menyerupai Danish, mewarisi wajahnya yang rupawan dan sifat polosnya yang baik.

“Uh... sakit...” Gadis itu meringis, satu jam sudah berlalu, dia segera meneruskan proses selanjutnya. Kembali ke kamar mandi dan memeriksa, beberapa tetes darah mulai mengisi menstrual cup yang dia pasang di sana. Sayna kemudian membersihkan dan memutuskan untuk melepas benda itu, merasa kurang nyaman.

Dia membaca instruksi selanjutnya, memasukkan dua butir obat langsung ke vagina atau jalan lahir. Merangsang rahim untuk berkontraksi, berusaha mengeluarkan benda asing di dalam situ. Sayna tidak keluar lagi, memutuskan untuk tetap di kamar mandi setelah menelan tablet pereda nyeri.

“Sayna?” Danish mengetuk pintu kamar mandi dari luar, yakin Sayna ada di dalam sana. Dia belum sempat membersihkan diri dan ketiduran setelah kehabisan bahan obrolan. Tidak tahu apa yang Sayna lakukan.

“Sebentar, Nish...” Sayna meringis, memanjangkan tangan untuk meraih handle pintu. Dia mulai menangis, duduk di lantai kamar mandi sambil bersandar ke dinding dan menaikkan baju yang dia kenakan hingga ke bawah dada, membuat darah yang keluar dari jalan lahirnya mengucur, memenuhi lantai dan harus segera dibersihkan.

Sayna merangkak ke arah pintu setelah sebelumnya menyalakan keran air agar darah yang mengotori lantai ikut mengalir dibawa air. Dia menurunkan gaun tidur ketika berpapasan dengan Danish, kekasihnya bertelanjang dada, hanya memakai celana, berdiri menjulang di hadapannya.

“Say, kenapa?” tanya Danish panik. Tentu saja panik, melihat Sayna merangkak dengan mata sayu, tertatih ke arahnya.

“Sakit,” keluh gadis itu pelan, jujur, meski sakit itu dia sendiri yang menciptakannya.

“A..apanya yang sakit?” Danish berjongkok, membawa Sayna berdiri, nyaris menggendong gadis itu andai Sayna tidak menghalau gerakannya. “Sayna?”

“Perut, Nish...”

“Perut?” Danish tidak bisa untuk tidak lebih panik daripada ini. “Say, kenapa? Tadi kan—”

“Gue aborsi.”

“Hah?”

“Gue lagi usaha buat ngeluarin janin dari perut gue, Nish. Makanya gue minta lo jangan ke mana-mana. Itu gunanya lo ada di sini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status