Share

Luluh dan Luruh

 “Good luck!”

“Uh, ghue sebenarnya nggak rela, tapi ghue mau lo bahagia, lo ceria lagi. You deserve the best, Nish.”

“Makasih, Anya, Dya.”

Danish tersenyum lebar mendengar ucapan dua gadis kembar itu sebelum dia berangkat ke Bandung pagi ini. Anya membelikannya baju baru yang langsung dibersihkan kemarin, sementara Dya menyiapkan bunga yang harus Danish berikan pada Sayna, juga sebuah cincin mungil untuk kelingking. Mereka bilang, Danish harus kembali pada Sayna dengan versi terbaiknya. Harus datang dan membuat Sayna jatuh cinta lagi, berkali-kali dibanding sebelumnya.

“I love you, Nish.” Anya berujar sambil merangkulnya, bergelanyut di pundaknya dan menghadiahi Danish kecupan di dahi. Meski Anya bilang begitu, entah kenapa Danish tahu kalau kata cintanya terasa berbeda.

“Hati-hati di jalan, makasih ya.” Terakhir, Dya yang turun dari mobilnya. Gadis itu melayangkan sebuah ciuman di pipi sebelah kiri, yang entah kenapa membuat Danish risih sendiri.

“Dya!” pekik Danish tidak senang. Dia merasa kesuciannya hilang, cukup Anya saja, Dya tidak perlu seperti itu juga.

“Cium pipi nggak bikin hamil, kan?”

Gadis itu berjalan menjauh, masuk ke hotel—menyusul saudarinya yang sudah pergi lebih dulu. Semalam mereka menginap di rumahnya untuk membantu Danish bersiap ke Bandung pagi ini, rasanya menyenangkan punya saudara yang seumuran, Dya dan Anya bisa jadi teman, bisa jadi lawan, bisa jadi... sahabatnya juga.

Beberapa jam kemudian, Danish keluar dari tol Pasteur menuju arah ke kosan Sayna.  Lebih dari dua bulan dia tidak menyambangi tempat ini, tapi rasanya seperti sudah lama sekali. Danish ternyata rindu, dia selalu suka suasana Bandung di akhir minggu.

Bangunan kos Sayna dicat berwarna putih dan abu-abu, dari luar dia bisa melihatnya. Kamar gadis itu, di lantai dua. Danish tersenyum, ada debar di dadanya, aneh sekali. Dan dia bahagia masih bisa merasakan itu semua.

“Sayna,” panggilnya—pada gadis berbaju cokelat yang tengah berjalan lambat untuk keluar dari gedung kosan.

“Hai...” Sayna menjawab pelan. Langkahnya tertahan, matanya bertatap lama dengan Danish sebelum salah satu dari mereka bergerak. Sayna yang berjalan duluan, dia menghampiri Danish, pemuda itu seperti biasa memarkir mobil di depan gedung kosan sambil berdiri menunggu tanpa mau repot mengirim pesan.

Melihatnya, Sayna bahagia.

“Apa kabar?” tanya Sayna begitu mereka berdiri berhadapan. Namun Danish tidak menjawab, dia melengkungkan senyum dan langsung menarik Sayna ke pelukan, membagi debar dan hangatnya sekaligus meluruhkan seluruh kerinduan yang selama ini mereka tahan-tahan.

“Nggak pernah lebih baik daripada hari ini. Lo gimana?” Danish tidak memberi Sayna jeda. “Gue kangen, Sayna. Ternyata gue masih secinta dan sesayang ini sama lo.” Bahkan setelah sekian lama tidak berjumpa, perasaannya tetap sama.

Danish ingin Sayna tahu, ingin Sayna mendengarnya.

“Kalau lo nggak datang hari ini, mungkin besok gue mati.”

“Jangan nangis.”

Danish membiarkan peluknya kembali menjadi payung untuk hujan dari wajah Sayna, membiarkan rindu, bahagia dan lega menguasai keduanya. Dia mengusap punggung dan rambut gadis itu, yang entah kenapa terasa lebih kurus dibanding sebelumnya. Sayna pasti tertekan selama mereka tidak berjumpa.

“Sayna,” panggilnya. Danish rindu menggaungkan nama gadis itu sambil memeluknya secara langsung seperti sekarang. “Maaf ya, Sayang? Maaf karena membuat lo harus menunggu lama.”

Sayna pasti sudah gila. Karena bukannya benci atau kesal seperti kemarin, dia justru semakin jatuh cinta mendengar kekasihnya hadir saat ini. Bukannya pudar, perasaannya justru semakin besar. Semua amarahnya menguar, dia hanya rindu pada sosok itu dan mengabaikan semua perasaan buruk yang berkecamuk.

“Lihat, gue bawa apa.” Danish mengambil buket bunga yang disiapkan Pramudya untuk diberikan pada Sayna. “Bunga Lily, buat Sayna yang gue cinta dan gue rindukan setengah mati. Selamat hari jadi kembali.”

Sayna tidak bisa berkata apa-apa, suara tangisnya justru semakin keras, tangannya menyasar punggung lalu berhenti di belakang kepala kekasihnya. Memeriksa bekas luka di sana.

“Gue udah nggak apa-apa.” Danish segera memberi penjelasan, bekas lukanya hilang, tidak ada rambut yang gagal tumbuh di sana. Melia membawanya perawatan setelah sembuh.

“Maaf, ya...” Sayna berbisik lirih, malu sekali jika terkenang kelakuannya waktu itu. “Maafin gue, Nish.”

Bahkan tanpa dia harus minta maaf, Danish sudah memaafkannya, itu bahkan bukan kesalahan Sayna. Itu hanya refleks melindungi diri yang keluar secara alami karena Sayna merasa terancam atas perlakuan Danish padanya.

“Sayna...” Suara rendah Danish menyebut nama kekasih tercinta. “Maaf untuk semuanya. Apa yang bisa gue lakuin buat perbaiki hubungan kita berdua? Gue mau kita terus sama-sama.”

Sayna tidak menjawab apa-apa, dia masih terisak dan perlahan mengelus perutnya, Danish harus tahu hari ini juga.

****

“Gimana keadaan di kampus?”

Ibarat ada luka gores di kaki, rasanya perih dan risih, cukup mengganggu sekali. Namun Sayna punya luka berdarah, nyaris diamputasi, jadi luka gores tadi tidak terasa seperti apa-apa. Tidak sakit sama sekali, dia mengabaikannya. Sayna punya luka yang lebih parah.

Menunggu Danish datang kembali, dengan seorang anak di perutnya adalah mimpi paling buruk dari yang terburuk, dan syukurlah Sayna sudah melaluinya. Masalah kampus bahkan tidak ada dalam pikiran Sayna, dia hanya harus hadir di kelas, mengerjakan tugas, dan berusaha lebih keras.

Sekarang Danish ada di sini, di pelukannya, berbagi banyak cerita. Dua bulan tidak berjumpa, mendengar bagaimana hari-harinya di sana tanpa Sayna.

“Jeda itu bikin gue tersiksa, gue kangen banget, Sayna.” Tapi dia pun perlu sembuh dari luka, Sayna memahaminya.

Meskipun harus ada Pramudya di antara mereka berdua.

Mereka melakukan makan malam romantis, seperti merayakan hari jadi, Danish memberi Sayna bunga yang indah. Bunga Lily, yang entah sejak kapan jadi lambang cinta mereka berdua. Kemudian menyewa sebuah kamar untuk tempat keduanya berbagi asa, memecah tabungan rindu yang begitu mencekik selama tidak berjumpa.

“Kangen sama gue nggak, Say? Sama Bolu juga, anak kita.” Danish tersenyum. Dia melirik gadis cantik yang berbaring di sebelahnya, menjadikan lengan sebagai bantal, sambil mencuri wangi yang menguar dari sana.

“Kangen,” jawab Sayna pelan. Dia tidak terlalu banyak bicara, Sayna menyentuh kulit perutnya lembut. “Kangen sampai nggak tahu gimana cara ngungkapinnya.”

Merasa tidak merana sendiri, rindu sendiri, cinta sendiri, Danish merona.

“Bolu apa kabar?”

“Kurusan,” jawab Danish jujur. “Kayak mamanya di sini. Kalian kenapa? Harus lebih banyak makan, Sayna.” Danish merengkuh pinggang Sayna, lalu tangannya naik, menelusup ke baju yang dikenakan, menangkup dada Sayna dengan sebelah tangan. “Tapi anehnya, bagian ini malah tambah besar.”

Sayna tersenyum, senang dengan kenyataan Danish masih bisa mesum.

“Mungkin karena nggak ada yang ngisap ya, Say? Jadi tambah besar.”

Gadis itu mengerang saat Danish menyerang. Tanpa aba-aba, tidak ada persiapan sebelumnya, hanya sebuah ciuman menuntut kemudian Danish turun ke dada, bermain di sana. Ya ampun, ternyata Sayna merindukannya sebanyak ini, hingga ke titik tubuhnya bergerak sendiri, memberi penerimaan penuh atas sentuhan-sentuhan itu.

“Nish...” Sayna berbisik ketika tubuh mereka tidak lagi tertutup apa-apa, entah bagaimana Danish membuka itu semua. “Pelan-pelan, ya?”

Danish menyeringai, yang entah kenapa malah membuat Sayna makin terbuai.

“Say,” sebutnya pada nama depan Sayna yang membuat gadis itu berbunga-bunga. “Dia... ngapain aja?”

Sayna bergidik ketika Danish bergerak lebih jauh, menjamah bagian dalam pahanya, mengelus di sana. Dia menunggu sesuatu, dan Sayna tahu itu.

“Hm...”

“Gini?” Sayna menggeleng, dia ingin menangis, sudah susah payah dilupakan, kenapa harus diungkit lagi saat ini? “Ssshh... jangan nangis.” Danish mengusap air yang meleleh dari matanya, lalu mendaratkak kecupan berhasrat di bibir bawah. “Gue mau hapus dia, Sayna. Gue bakal hapus semua jejaknya,” bisik Danish dengan suara rendah yang membuai. “Boleh, kan?”

Tentu saja, Sayna mengiakan. Tangannya menuntun pemuda itu, menyentuh bagian yang pernah dijamah orang lain, meminta kekasihnya berada di sana.

“Begini?” tanya Danish pelan. Dadanya berdebar hebat, membayangkan bagian favoritnya pernah disentuh Giovanni. “Benar, begini?” ulangnya sekali lagi.

“I...ya.”

“Terus, gimana lagi?” Danish menggeram rendah, saat jari lentik gadis cantiknya menyentuh area pangkal paha. Sial, jadi mereka melakukan ini juga? Dia tidak bisa menahannya lagi.

Bayangan Sayna disentuh orang lain menghantui dalam kepala, membuatnya marah bukan kepalang, tapi sekaligus memberi sensasi aneh dan baru yang menantang. Dia ingin tahu seberapa banyak Sayna menikmatinya, sampai mana lelaki itu membuat gadisnya terlena, siapa yang lebih hebat di antara mereka berdua.

“Nish... di... situ...” Suara Sayna bergema lemah, dadanya bergemuruh. Akal sehatnya tidak bisa bekerja, semua teralihkan oleh reaksi tubuh. Panas, gatal, membuatnya menggelepar.

“Gimana?” tanya Danish dengan seringai di wajah. “Lebih enak siapa?”

Sayna menatap sayu, dia tidak bisa menjawabnya, dia tidak tahu. Gio tidak pernah melakukan sejauh itu.

“Sayna?”

“Danish...” bisik Sayna lirih. “Cuma Danish...”

“Cuma gue?”

“Cuma lo satu-satunya, Nish.”

“Jangan bagi lagi ke orang lain, hm?”

Tidak, tidak akan pernah. Itu kesalahan terbodoh sepanjang hidupnya, tidak akan ada yang kedua. Sayna berani memotong leher jika dia kembali mengkhianati kekasihnya. Lalu, dia mengangguk dan Danish tersenyum puas di atasnya. Dan untuk bermenit-menit kemudian tidak ada kalimat yang bergaung di udara, yang ada hanya erangan tertahan dan kegiatan melelahkan. Membuat seluruh bagian tempat tidur berantakan.

Lalu Danish menarik kain yang berjatuhan akibat aktivitas barusan, menutup tubuh Sayna hingga ke dada, memeluk gadis itu, mendaratkan ciuman-ciuman penuh perasaan sebagai ungkapan terima kasih setelah mendapat pelepasan. Dia juga membantu Sayna membersihkan sisa-sisa kegilaan mereka berdua, lalu berbaring, bersebelahan, sama-sama mengatur napas yang masih tidak beraturan.

Sekarang sudah tidak ada jejak siapa-siapa di tubuh Sayna selain dirinya. Sayna itu miliknya.  Danish merasa lebih lega.

“Lo harus lupa sama dia,” ucapnya lirih. Sebab siapa yang tahu isi kepala dan hati manusia? Siapa yang tahu kalau Sayna diam-diam senang berfantasi dengan orang selain dirinya? “Itu perintah, Sayna.”

“Iya.” Sayna  mengangguk paham.

“Gue bisa jadi apa yang lo suka, jadi yang lo mau, kita bisa kompromi untuk itu. Lo cuma harus bilang, Say. Bisa, kan?”

“Iya.”

“Mau cerita sesuatu?” Danish peka, dia merasa Sayna agak berbeda, lebih diam dibanding yang biasanya. “Dua bulan lebih kita nggak ketemu, gimana aja?” Dia pun mengusap dahi gadis itu yang masih berpeluh.

“Lo dulu,” ujar gadis itu. “Ceritain, ada apa aja di sana? Ngapain aja? Tante Melia gimana? Irya, Mbak Dinara...” Sayna ingin tahu, dia rindu orang-orang itu.

“Hm... Mama.” Danish terkenang ibunya. “Mama kayaknya mau nikah lagi, Say.”

“Hah?” Sayna terperangah. “Sama siapa? Sejak kapan Tante Mel punya pacar?”

“Udah lama, sih.” Tapi Danish tidak tahu kapan tepatnya. “Dan—”

“Lo... baru bilang ke gue sekarang?” Sayna tidak senang. “Nish, gue se-nggak penting itu, ya?”

Danish langsung gelagapan, dia tidak berencana menutupinya dari Sayna, mungkin Danish salah karena selalu menunda-nunda. Namun itu bukan karena dia tidak menganggap Sayna kurang penting, hanya... belum siap saja. Butuh tenaga membicarakan soal hubungan ibunya.

“Dya tahu?” tanya Sayna tiba-tiba. Tidak, itu terdengar seperti serangan lebih tepatnya. “Pasti dia tahu, Dya pasti jauh lebih tahu daripada gue. Dya tinggal di Surabaya tapi karena dia kaya, Dya bisa ke Jakarta seenaknya. Dia pasti tahu soal Tante Melia.”

Sayna kenapa... tiba-tiba?

“Atau lo yang kasih tahu ke dia?”

“Say...”

Danish bukan pembohong yang baik, bahkan dari reaksinya saja, Sayna sudah tahu dan dia cemburu.

Gadis itu menghela napas. “Ternyata posisi gue di hati lo mulai digeser sama Dya sejak lama.”

“Say, ngomong apa sih?” tanya Danish tidak senang.

Kenapa tiba-tiba bahasan mereka malah Pramudya? Sayna tidak tahu, bahkan yang membuat pikirannya terbuka, yang meminta Danish tidak terlalu lama mengabaikannya adalah Dya. Yang membeli bunga Lily itu, memberinya semangat untuk datang lebih cepat, itu Dya, Anya, Hamam, sahabat-sahabatnya.

“Lo, sedikit demi sedikit menggantikan gue sama Dya, tanpa lo sadari, Nish. Mulai dari hal-hal kecil kayak gini, tapi penting. Pernikahan Tante Melia itu penting, kan? Itu penting buat lo, dan gue nggak dikasih kesempatan buat tahu lebih cepat.”

“Gue kira kita ketemu buat baikan, buat memperbaiki banyak kesalahan.” Danish menarik lengan yang dia jadikan bantalan. “Kalau gini lagi, kita malah mengalami kemunduran, Say.”

“Dan lo nyesel datang, kan?”

Danish tidak ingin mengiakannya, tapi ternyata dugaan Sayna memang benar. Dia menyesal, tahu begini tidak usah datang sekalian. Apa-apaan? Memangnya apa yang Danish perbuat dengan Pramudya? Kenapa Sayna bersikap seperti ini padanya?

“Kenapa sih, Sayna?” Danish sudah tidak habis pikir, dia kehabisan kata-kata.

“Lo cerita sama Dya, kan?” tanya Sayna dengan tatapan mengancam.

“Nggak.” Danish menggeleng.

“Bohong!” Gadis mendorong Danish dengan tenaganya yang lemah, dia menahan tangis. “Terus Dya tahu dari mana?”

“Kenapa kita malah jadi bahas Dya?”

“Dya tahu dari mana?!” Sayna keras kepala, sangat, dia bahkan ingin sekali mencekik dirinya sendiri saat ini. “Jawab, Nish!”

“Dya tahu sendiri, dia lihat pacar Mama pas main ke rumah, Dya—”

“Dya main ke rumah lo juga?”

Danish mengernyit bingung, masih tak habis pikir pada obrolan ini. “Gue sama Dya itu saudara, Sayna.” Ada tekanan di tiap kata yang terucap.

“Kalian bukan saudara dekat. Hubungan lo sama Dya itu nggak normal.”

“Terus gue harus gimana?!” Danish terpancing amarahnya sendiri, dia tidak sanggup menahannya lagi. “Gue harus berhenti sodaraan sama Dya? Caranya gimana? Bikin Mas Arya pisah sama Mbak Dinara?”

“Kalau perlu,” kata Sayna tanpa ragu. Dia bahkan tidak berpikir dulu untuk mengemukakan jawaban itu. Lupa pada orang di hadapannya bisa sangat terluka mendengarnya.

Danish tidak ingin meneruskan perdebatan ini, karena dia tahu itu tidak akan ada habisnya. Sayna yang tidak dia temui lebih dari dua bulan memang berbeda, bukannya membaik, keadaan mereka justru semakin buruk. Dia kebingungan setengah mati, kenapa gadis itu?

“Ada apa, Sayna?” tanya Danish nyaris putus asa, tapi masih mencoba untuk peka. “Jangan cari persoalan cuma buat pelampiasan aja.”

Mereka berdua berbaring terlentang, tanpa busana. Sayna menatap kangit-langit, air matanya mulai merebak, dadanya sesak. Dia tahu, hubungannya dengan Danish sudah rusak. Tidak lama lagi, pemuda itu pasti akan muak.

“Sayna...” Danish menarik tubuh polos Sayna ke pelukan, menghadiahinya dengan kecupan-kecupan. “Ada apa?” ulangnya untuk kali kedua.

“Gue cemburu,” aku Sayna jujur. Terdengar berlebihan memang, tapi dia tidak bisa mengatasi itu, apalagi menahannya lebih lama. “Gue tahu itu nggak baik, tapi, Nish...” Sayna menutup rapat kelopak matanya, memeras air mata, dia ingin melihat Danish lebih jelas. “Gue nggak bisa kontrol. Maaf.”

Dengan gerakan pelan, tanpa sempat Danish sadari, Sayna menarik lembut telapak tangan itu, menyimpannya di atas perut, meminta Danish untuk mengelus. Ada gejolak yang tidak bisa dijelaskan berasal dari sana, diikuti dengan sensasi seperti kupu-kupu.

“S...say?”

Sayna mengangguk. “14 minggu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status