Revel Rex Alucio.
Sedikit latar belakang tentangnya. Grand Duke Alucio adalah anak resmi dari raja dan ratu terdahulu.
Beberapa puluh tahun yang lalu, saat kekaisaran ini masih dipimpin oleh raja terdahulu, saat itu raja memiliki seorang anak dari permaisuri yang resmi serta seorang anak dari selir.
Kekacauan dimulai saat sang raja meninggal, tentu saja, sebagai pewaris tahta yang resmi, anak dari sang permaisuri akan dinobatkan menjadi raja berikutnya.
Namun saat itu terjadi kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh anak sang selir yang iri.
Alhasil, anak dari permaisuri, sang pewaris resmi, berhasil diasingkan ke tempat yang tak seorangpun tahu. Sedangkan kini, anak dari sang selir berhasil dinobatkan sebagai raja saat ini.
Tanpa ada yang tahu, anak dari sang pewaris resmi ternyata telah memiliki keturunan, ia bernama Revel Rex Alucio— seorang pria dengan aura menyeramkan yang sedang berada dihadapan Aquila saat ini.
Sedangkan, keturunan dari sang raja saat ini ialah Zero de Athanasius— yang akan dinobatkan sebagai raja berikutnya.
Revel Rex Alucio, ia yang telah mengetahui asal-usulnya akhirnya berusaha merangkak, untuk kembali mendapatkan hak-haknya sebagai penerus resmi. Dan kini ia berhasil mendapatkan gelar sebagai seorang Grand Duke.
Meskipun begitu, sang raja saat ini— ayah dari Zero, terus mengawasi gerak-gerik Revel, takut seandainya Revel berencana untuk merebut kembali singgasananya.
Tak ada yang tahu tentang sejarah kelam ini. Semuanya telah disamarkan. Buku sejarah yang saat ini beredar, semuanya adalah rekaan. Semua orang menganggap kalau raja yang saat ini memerintah adalah penerus yang asli. Sedangkan anak yang diasingkan adalah anak dari sang selir.
Lalu darimana Aquila mengetahui tentang semua sejarah ini?
Tentu saja dari narasi novel 'Cinta Sejati'!
"Apa yang kau pikirkan? Cepat bangun!" Grand Duke Alucio, pria menawan nan menyeramkan ini berucap dengan nada ketus.
Aquila mengerjap berkali-kali. Ia baru sadar kalau posisinya saat ini begitu memalukan. Jatuh terduduk di hadapan seorang tokoh yang tidak memiliki belas kasih.
Bukannya Aquila tak ingin segera bangkit. Hanya saja ... Kepalanya kini dihantam rasa pening yang luar biasa.
"Nona!" Melihat majikannya yang sedang menahan rasa sakit, Ahn dengan sigap segera membopong tubuh Aquila.
Aquila memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Sekilas, ia menatap wajah Revel. Tidak ada reaksi apa-apa, Revel memang kejam!
Aquila terbatuk beberapa kali. Tak ada lagi yang dapat ia pikirkan. Yang ia tahu, kini semuanya menjadi gelap.
***
Guncangan yang terasa pada kereta kuda ini saat melintasi sejumlah kerikil berhasil membangunkan Aquila.
"Nona!" Ahn yang kini duduk di sampingnya berseru senang melihat Aquila kembali membuka matanya.
Aquila mengedipkan matanya berkali-kali. Terlalu banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Seperti apa yang tadi terjadi? Sekarang ia ada dimana? Dan apa yang sedang dilakukan oleh orang di hadapannya?
Aquila tidak salah lihat, kan?
Dia ... Grand Duke Alucio, sedang duduk dihadapannya, menatap lurus dengan tatapan tajamnya.
Aquila melihat ke samping. Sekarang ia sedang berada di dalam perjalanan menuju kediamannya.
Kali ini ia menatap wajah Ahn dengan raut wajah penuh pertanyaan. Apakah Grand Duke Alucio sang manusia menyeramkan sedang menolongnya?
Ahn tidak tahu apa arti dari tatapan Aquila, tapi ia hanya mengangguk.
"Anu... Tuan," Aquila berujar canggung. "Terimakasih sudah menolong saya."
Revel yang saat itu sedang bertopang dagu hanya menatap Aquila sekilas, lalu kembali memalingkan pandangannya tanpa menjawab apa-apa.
Aquila mendengus, ia sebenarnya merasa kesal dengan reaksi orang beraura seram ini. Tapi ia hanya diam, tak menyahuti apa-apa.
Kereta kuda berhenti secara perlahan. "Turun." Revel berucap ketus saat mereka sudah sampai ke pekarangan tempat kediaman Duke.
Aquila mengangguk pelan, lalu ia berdiri dari tempatnya.
"Tunggu." Revel berujar lagi, membuat Aquila dan Ahn kompak menoleh kepadanya.
Revel turun terlebih dahulu dari kereta kuda itu. Lalu ia menjulurkan tangannya, membantu Aquila untuk turun.
Sungguh, tingkahnya ini sangat tidak selaras dengan ekspresinya yang menyeramkan.
"Terimakasih tuan Alucio." Aquila menunduk hormat.
Revel memalingkan wajahnya sejenak, "Revel. Panggil aku Revel."
Aquila tidak tahu itu perintah atau sebuah permintaan, tapi dari nadanya terdengar seperti perintah.
"Baik, Revel, sekali lagi aku berterimakasih karena telah—"
"Jangan berbicara menggunakan bahasa formal denganku."
Itu perintah lagi, kan? Aquila lebih baik menurut saja kalau ingin selamat.
"Kalau begitu, aku pergi dulu." Revel berbalik, menuju kereta kudanya.
Namun baru beberapa langkah berjalan, Revel menoleh lagi. "Saranku, lebih baik kau kunjungi rumah kekasih putra mahkota." Itu adalah kalimat terakhirnya sebelum memasuki kereta kuda.
Aquila menggaruk tengkuknya bingung. Apa maksud Revel?
Kenapa ia harus mengunjungi Zeline?
Tidak tahu dan tidak peduli!
Lebih baik dipikirkan nanti saja, karena sekarang ia benar-benar merasa lelah.
***
Jadi ini yang dimaksud lepas dari kandang singa, masuk ke kandang buaya.
"Aquila..." Zero menggenggam pergelangan tangannya. Tatapan matanya menatap lurus ke bola mata Aquila. "Kau tidak benar-benar berniat menjauhiku, 'kan?" Zero tersenyum meremehkan.
Sialan, sialan, sialan! Bagaimana bisa Zero masih ada di kediamannya?
Padahal di dalam novel, Zero selalu pulang dengan cepat karena ia merasa risih dengan kehadiran Aquila.
Seharusnya saat ini Zero juga sudah pulang. Tapi kenapa....
Zero memberi tatapan tajam terhadap Ahn, seolah memberi sinyal supaya Ahn segera pergi meninggalkan mereka berdua.
Ahn yang peka langsung menurut, ia meninggalkan Aquila berdua dengan putra mahkota.
Sayangnya Ahn tidak cukup peka untuk menyadari tatapan 'minta tolong' Aquila.
Putra mahkota berjalan mendekat, memblokir jalan Aquila yang kini posisinya semakin terjepit.
"Aku tidak mengerti." Zero menghela napasnya. "Apa ini cara baru untuk mendekatiku?"
"Apa maksud Yang Mulia?"
"Kau sengaja menjauhiku supaya aku merasa merindukanmu dan mulai membuka hatiku untukmu, 'kan?"
Aquila tak bisa berkata-kata. Orang dihadapannya ini benar-benar punya imajinasi yang luas, ya?
"Apa kau sengaja menjauhiku karena merasa takut...?"
"Takut?" Aquila mengulangi kata terakhir sang putra mahkota.
"Takut kalau kejahatanmu terhadap Zeline akan terungkap."
Mendengar itu, Aquila hanya menghela napas panjang. Ia merasa lelah. "Terserah anda ingin berpikir seperti apa." Aquila mendorong pelan tubuh Zero yang sejak tadi menghalanginya. "Saya lelah, Yang Mulia, tolong biarkan saya masuk."
Zero tak membiarkan itu terjadi, ia menarik pergelangan tangan Aquila, serta mengunci pergerakannya. "Aku belum selesai bicara." Tatapan matanya begitu menusuk.
"Lelaki yang tadi, Grand Duke Alucio." Zero berucap dengan nada rendahnya. "Bagaimana ia bisa mengantarmu pulang?"
Aquila mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap pandangan menusuk Zero. "Saya tidak tahu." Ujarnya singkat.
Zero mendekatkan wajahnya, ia mengendus aroma dari tubuh Aquila.
Sialaaaaaaaan!!! Aquila terus saja mengumpat dalam hati. Ia benar-benar merasa tidak nyaman.
"Kau mabuk?"
"Itu bukan urusan anda." Aquila berusaha menjawab setenang mungkin. Meskipun kini degup jantungnya tidak karuan.
Zero melepaskan cengkramannya, ia menatap Aquila sekilas, lalu kembali berucap, "aku tidak tahu ada hubungan apa diantara kalian berdua." Matanya menatap manik Aquila dengan mendalam.
"Tapi jauhi dia. Grand Duke Alucio bukanlah pria yang baik." Zero berujar serius, terlihat dari raut wajahnya yang meyakinkan.
Aquila menggelengkan kepalanya. Ia hanya mempercayai apa yang ia lihat. "Revel baik terhadapku." Bagaimana bisa Zero mengatakan kalau Revel bukan pria yang baik? Memang Zero memiliki aura yang menyeramkan, tapi itu bukan berarti ia pria yang jahat, 'kan?
"Revel?" Zero mengulangi nama panggilan dari Aquila terhadap Grand Duke Alucio. "Kau sudah sedekat itu dengannya?"
Tidak. Tentu saja tidak! Ia bahkan baru saja bertemu barusan. "Sekali lagi, itu bukan urusan anda."
Zero terdiam. Ia menatap Aquila tidak percaya.
Bagaimana bisa perempuan yang selalu mengejar-ngejarnya ini tiba-tiba menjadi sangat ketus terhadapnya?
"Ah, terserahlah!" Kesal Zero yang langsung meninggalkan Aquila.
***
"Yang Mulia, ini uang yang kau hilangkan." Zero yang saat itu tengah merasa linglung karena tidak sengaja menghilangkan sejumlah dana yang nantinya akan digunakan untuk menyelenggarakan sebuah acara langsung merasa senang saat Aquila menyerahkan sejumlah uang dari dalam kotak kecil. "Kau menemukannya?" Zero kecil bertanya dengan sumringah. Aquila kecil yang saat itu memakai dress berwarna merah muda hanya menggeleng. "Tidak, ini tabunganku." Aquila tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi susunya. "Tunggu. Tapi kenapa kau memberikannya padaku?" Tanya Zero keheranan. "Aku tidak ingin kau dimarahi ibunda ratu." Balas Aquila tulus. *** Zero memijat pelipisnya, entah mengapa secara tiba-tiba ia teringat salah satu kenangan masa kecilnya bersama Aquila. "Yang Mulia, kau sedang memikirkan apa?" Tanya Zeline yang berada di sampingnya. Zero tak menggubris. Ia bahkan tak menyadari kehadiran perempuan itu di sampingnya
Aquila baru teringat sesuatu. Status kebangsawanan dibagi menjadi beberapa tingkat. Tingkat tertinggi adalah status bangsawan keluarganya, yakni seorang Duke. Sedangkan status bangsawan terendah adalah milik keluarga Zeline, yakni Baron. Mungkin hal itu pula yang menjadi pemicu Aquila yang dulu bertingkah semena-mena terhadap Zeline. Serta hal itu pula yang membuat Aquila merasa harga dirinya begitu terluka saat putra mahkota lebih memilih Zeline dibanding dirinya. Kalau dipikir-pikir, dosa serta tindakan jahat yang dilakukan Aquila yang dulu terhadap Zeline sudah terlalu banyak. Dulu, Aquila selalu berusaha membuat Zeline celaka di setiap kesempatan yang ada. Sialnya, Aquila yang sekarang lah yang harus menanggung konsekuensi dari kejahatan Aquila di novel. Maka dari itu. Saat ini Aquila berinisiatif untuk mengibarkan bendera damai. Ia berniat untuk berdamai dengan tulus, ia juga sudah menyiapkan sekotak hadiah untuk Zeline.
Penulis gila mana yang menciptakan peran utama yang kebaikannya tidak masuk akal seperti Zeline serta antagonis tanpa hati nurani yang tak segan melakukan apapun seperti Aquila? Setidaknya itu yang ada dipikiran Alena sebelum mulai mendapatkan ingatan dari Aquila yang asli. Benar-benar. Mulai dari kenangan masa kecil, nama-nama juga wajah orang-orang disekitarnya, serta peristiwa-peristiwa yang lainnya. Ingatan Aquila dalam novel itu, diterimanya secara bertahap. 'Alena' kini paham tentang perasaan serta pola pikir milik 'Aquila yang ada di dalam novel.' Sejak kecil, Aquila sudah bersahabat dengan putra mahkota, ia juga seringkali berkorban dalam hal-hal tertentu demi putra mahkota. Sudah banyak sekali suka dan duka yang mereka lalui. Aquila mulai memiliki rasa suka kepada putra mahkota. Tapi itu bukan masalah, karena ia tahu kalau akhirnya ia akan menikah dengan sang putra mahkota. Sebab, hanya keluarganya lah yang paling setia dan mamp
"Nona! Kereta kuda kerajaan sedang menuju kesini!" Seruan Ahn membuat Aquila langsung mengalihkan perhatiannya. Cewek berambut pirang itu langsung mengikuti arah pandangan Ahn. Apa? Eh, Ada apa ini? Aquila langsung bangkit dari tempatnya, ia meninggalkan sepotong kue berperisa stroberi yang bahkan masih belum ia sentuh. Aquila berlari keluar menuju perkarangan rumahnya yang luas. Dan benar saja, begitu gerbang besar dibuka, datang sebuah kereta kuda kerajaan dengan lambang khas istana tertera di bagian depannya. Sebenarnya ada apa ini? Apakah Zero ke sini karena sedang ada urusan dengan Duke Charles? Tapi, ayah Aquila tersebut sedang tidak ada di kediaman ini. Atau mungkin Zero ada urusan dengan Alaster? "Adikku sayang~" Ah, Aquila mendadak merasa menyesal telah menyebut nama Alaster dalam hati, kakaknya itu, tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya. "Adikku, mengapa putra mahkota ke sini? Ap
Orang gila! Semua tokoh yang ada di dalam novel 'Cinta Sejati' adalah orang gila! Tidak ada satupun tokoh yang waras disini. Aquila jadi merasa, sebenarnya ia tidak terjebak di dalam dunia novel, melainkan ia terjebak di dalam perkumpulan orang yang tidak waras. Mulai dari peran utama laki-laki yang terlalu protektif terhadap pasangannya, lalu peran utama wanita yang terlalu baik hingga terasa tidak masuk akal. Lalu ada juga kakak si antagonis yang terlalu 'alay'. Ditambah lagi tokoh Grand Duke yang memiliki aura yang sangat menyeramkan. Bahkan tokoh antagonisnya sendiri 'Aquila yang ada di dalam novel' juga sungguh tidak masuk akal perilaku jahatnya, hingga terkesan kalau tokoh tersebut sama sekali tak memiliki sisi baik. Hanya Aquila yang waras disini. Entah apa yang ada di pikiran si pengarang novel 'Cinta Sejati' sehingga dapat menciptakan novel picisan dengan segelintir orang-orang tidak waras sebagai tokohnya.
Alken de Athanasius. Ia adalah seorang putra dari Raja dan selirnya. Rambut Alken berwarna putih karena keturunan dari sang ibu. Kulitnya yang putih pucat juga merupakan keturunan dari sang ibunda. Usia Alken hanya terpaut beberapa bulan lebih muda dari Zero, tapi kemampuannya sudah bisa menyetarai atau bahkan melebihi putra mahkota tersebut dalam beberapa hal. Alken sadar, posisinya dalam istana hanyalah seorang anak dari selir. Kedudukannya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan Zero yang seorang penerus resmi. Lagipula, Alken juga tidak berniat mengkudeta kekaisaran, ia hanya sengaja mempermainkan orang-orang disekitarnya. "Ah, kekasih dari kakakku sudah datang rupanya," Alken berkomentar saat Zeline telah sampai di lorong kerajaan. "Hormat saya, tuan," Zeline mengangguk sopan. Alken memperhatikan penampilan Zeline dari ujung kaki hingga kepala, "kakakku sedang tidak ada di sini. Ia sedang sibuk menguru
Malam nanti, pesta pengenalan calon putri mahkota akan diadakan. Segala keperluan untuk pesta nanti malam telah disiapkan. Saat ini, meskipun masih pagi hari, Aquila sudah sampai di kediaman istana. Sesuai prosedur yang ada di sana, putri mahkota yang terpilih akan memperkenalkan dirinya terhadap sang putra mahkota. Ya, ini hanyalah formalitas belaka. Aquila yang ditemani Alaster, melangkahkan kakinya menuju aula besar dimana Baginda kaisar sudah menunggu di singgasananya. "Hormat kami, Yang Mulia Kaisar." Baik Aquila dan Alaster, keduanya menundukkan badan. "Saya merasa terhormat bisa menemui anda secara langsung, Yang Mulia." Alaster berucap dengan senyum hangat. Entah ucapannya tulus atau sekadar pencitraan belaka. Kali ini, dari sisi yang berseberangan masuk seorang lelaki berambut cokelat sambil menggenggam tangan seorang perempuan di sebelahnya. Itu Zero dan Zeline, protagonis kesayangan kita. "Hormat ka
"Yang Mulia!" Zeline menghampiri kekasihnya yang sedang menyendiri di lorong atas, memperhatikan pesta dari kejauhan. Zero yang saat itu sedang meminum segelas wine-nya langsung beralih, menatap wajah Zeline. "Hai, Zeline," sapanya. Zeline tersenyum manis, biasanya, senyuman ini selalu sukses meluluhkan hati sang putra mahkota. "Anda tidak menikmati pestanya? Mengapa anda menyendiri di sini?" "Tidak, aku hanya sedang terpikirkan sesuatu." Zero kembali menatap kerumunan pesta. Sedari tadi, ada yang mengganjal di hati Zero. Yakni saat ia melihat saudaranya yang menyebalkan— Alken, sedang berdansa dengan teman masa kecilnya. Hal yang semakin mengganggu, saat Alken dan Aquila tertawa bersama-sama tatkala Aquila melakukan kesalahan dalam berdansa atau sesekali menginjak kaki Alken. Tidak. Zero yakin ini bukan perasaan cemburu. Ia hanya merasa aneh? Karena Aquila yang ia kenal sangat anti dengan cowok lain. Karena bagi Aquila,