Penulis gila mana yang menciptakan peran utama yang kebaikannya tidak masuk akal seperti Zeline serta antagonis tanpa hati nurani yang tak segan melakukan apapun seperti Aquila?
Setidaknya itu yang ada dipikiran Alena sebelum mulai mendapatkan ingatan dari Aquila yang asli.
Benar-benar. Mulai dari kenangan masa kecil, nama-nama juga wajah orang-orang disekitarnya, serta peristiwa-peristiwa yang lainnya. Ingatan Aquila dalam novel itu, diterimanya secara bertahap.
'Alena' kini paham tentang perasaan serta pola pikir milik 'Aquila yang ada di dalam novel.'
Sejak kecil, Aquila sudah bersahabat dengan putra mahkota, ia juga seringkali berkorban dalam hal-hal tertentu demi putra mahkota. Sudah banyak sekali suka dan duka yang mereka lalui.
Aquila mulai memiliki rasa suka kepada putra mahkota. Tapi itu bukan masalah, karena ia tahu kalau akhirnya ia akan menikah dengan sang putra mahkota. Sebab, hanya keluarganya lah yang paling setia dan mampu menyokong kekuatan istana.
Tapi segalanya menjadi buruk saat Zeline datang. Zero jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zeline. Aquila merasa tersisihkan. Baginya, alasan itu sudah cukup untuk membenci Zeline.
Alena tidak mau menjustifikasi kejahatan Aquila. Karena menurutnya, apa yang dilakukan Aquila tetaplah salah.
Hanya saja kini kebenciannya terhadap karakter jahat Aquila mulai berkurang. Alena bahkan merasa menyesal karena sempat bergabung dalam komunitas pembenci Aquila pada kehidupannya yang dulu.
Meskipun sempat merutuki nasibnya karena ia harus menerima segala konsekuensi dari kejahatan yang tidak pernah ia lakukan, Alena berusaha berlapang dada. Baginya, apa yang telah terjadi pada masa lalu, sudah tidak bisa diubah. Tapi, apa yang dilakukannya pada masa sekarang, bisa merubah masa depan.
Jika di dalam novel, tokoh Aquila tidak mendapatkan sebuah 'Happy ending' maka akan Alena pastikan pada timeline yang sekarang, tokoh Aquila akan mendapatkan sebuah 'Happy ending' yang layak.
***
"ADIKKU SAYANG~"
Jujur saja, Aquila sudah mulai beradaptasi dengan dunia ini. Ia juga sudah mulai beradaptasi dengan putra mahkota ataupun Zeline si protagonis.
Tapi, Aquila sama sekali tak bisa beradaptasi dengan Alaster, kakak laki-lakinya yang sangat aneh dan menggelikan!
Kalau diibaratkan dengan kata-kata kekinian dari dunia sebelumnya, Alaster itu benar-benar alay!
Aquila tegaskan, Alaster itu sangat alay!
Seharusnya si penulis dari novel 'Cinta Sejati' memberi nama Alayster dan bukan Alaster untuknya!
"Adikku yang lucu~ bagaimana pertemuanmu dengan kekasih putra mahkota kemarin?" Alaster, tiba-tiba saja makhluk alay ini sudah muncul dihadapan Aquila, tangannya sibuk menoel pipi adiknya tersebut.
"Gaya bicaramu sungguh menggelikan." Aquila balas dengan ketus. Ia tidak peduli apakah Alaster atau tersinggung atau bagaimana.
"Adikku kasar sekali..." Alaster si alay memasang wajah sedih.
Aquila sungguh keheranan, bagaimana 'Aquila' yang dulu bisa tahan menghadapi sikap kakaknya yang seperti ini?
"Adikku~" Alaster masih sibuk mengganggu Aquila. "Jadi, apakah putri Baron yang aku tidak peduli siapa namanya itu menyukai karangan bunga buatanku?"
Aquila terdiam. Sejujurnya ia tak begitu ingat dengan jelas ekspresi Zeline kemarin. Sepertinya Zeline tidak begitu menaruh perhatian kepada buket bunga itu, karena ia sedang menutupi rasa paniknya?
"Entahlah..." Balas Aquila. "Tapi aku harap ia suka." Lanjutnya.
Alaster mengangguk-angguk. "Aku juga berharap demikian." Sebuah seringai kini muncul di wajahnya, "karena aku telah membuat karangan bunga itu dengan bersusah payah." Ia melanjutkan.
Aquila mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan kakaknya itu. Mengapa raut wajah Alaster terlihat bahagia? Apakah ia menyukai Zeline?
Tapi sepertinya itu mustahil, karena seingatnya, Alaster sungguh membenci Zeline. Bisa dibilang, Alaster adalah haters Zeline nomor satu, ralat, nomor dua, karena nomor satunya masih dipegang Aquila yang ada pada novel.
"Aku penasaran dengan reaksi putri bangsawan rendahan itu, ia menyukai hadiahnya, 'kan?" Alaster mengguncangkan bahu Aquila. "Bagaimana ekspresinya? Coba ceritakan lebih detail!"
"Ekspresinya..." Aquila berusaha mengingat-ingat. "Panik?"
"Panik?" Alaster bertanya bingung. "Kalau begitu, apakah kekasih putra mahkota itu menghirupnya?" Alaster memberikan pertanyaan lain, kali ini ekspresinya terlihat excited.
Aquila menyentuh dagunya, terlihat berpikir, "aku tidak ingat."
"Ah..." Alaster berseru kecewa. "Lalu, kau tidak lupa untuk menyampaikan pesanku, 'kan?"
Raut wajah Aquila terlihat bingung. "Pesanmu? Ah! Untuk meminta nona Zeline menyimpan bunganya di dalam kamar?"
Alaster mengangguk-angguk antusias.
"Astaga! Aku lupa!" Aquila berseru, ia sama sekali tidak ingat! Masalahnya kemarin, dari gestur Zeline, ia seperti ingin mengusir Aquila secara halus. Aquila jadi lupa untuk menyampaikan pesan itu.
"Ah, dasar kau ini!" Alaster mencak-mencak. Ia menghentakkan kakinya ke tanah sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. "Kau tidak bisa diandalkan!"
Alaster berlalu begitu saja tanpa peduli akan respon Aquila.
Aquila diam di tempat. Ia kebingungan sendiri. Itu bukanlah kesalahan yang besar, jadi mengapa Alaster semarah itu?
Sekali lagi, Alaster benar-benar makhluk yang aneh!
Sekali lagi, sepertinya Aquila tidak akan bisa beradaptasi dengan sikap kakaknya tersebut!
***
Sesak.
Zeline merasa dadanya begitu sesak.
Tangannya berpegangan pada dinding, satunya lagi digunakan untuk mencengkeram dadanya.
Zeline serasa kehabisan pasokan oksigen. Napasnya begitu sesak, kepalanya juga terasa begitu berat, Zeline rasa, ia sudah terjatuh jika tidak berpegangan pada dinding.
"Akh!" Zeline merintih kesakitan, kepalanya jadi pusing bukan main! Benar-benar ... Sakit ...
Sungguh terasa menyakitkan.
Pandangannya kabur, benda di sekelilingnya terasa berbayang. Tangan Zeline terlepas dari pegangannya.
Zeline terjatuh. Bunyi berdebum menarik perhatian beberapa pelayan.
"Nona Zeline!" Seru seorang pelayan saat mendapati Zeline yang nyaris kehilangan kesadarannya.
Tubuh Zeline luar biasa terlihat pucat. Ia tak mampu berbuat apa-apa lagi, hanya bisa merasakan rasa sakit yang teramat sangat.
Dan kini ... Semuanya telah menjadi gelap.
***
"ZELINE!"
Zero merasa lega bukan main saat Zeline kembali membuka matanya.
"Zeline, bagaimana kau bisa jadi seperti ini?" Tanya Zero khawatir.
Zero mengusap wajah Zeline yang masih terlihat pucat. Zeline sudah membuka matanya, tapi ia masih tak berbicara sepatah kata pun.
Zeline mengerjap berkali-kali, kerongkongannya terasa begitu kering. "Air..." Lirihnya.
Zero mengangguk, dengan sigap ia mengambilkan air yang sebenarnya sudah disiapkan sedari tadi.
"Terima kasih Yang Mulia." Ujar Zeline saat sudah merasa lebih baik.
"Maafkan aku, Zeline, aku lengah." Zero mengusap wajahnya frustasi. "Aku ... Seharusnya aku bisa melindungimu."
"Ini bukan salah anda, Yang Mulia." Balas Zeline lembut.
"Tapi tetap saja ... Seandainya aku tidak lalai, pasti kau masih baik-baik saja."
"Jangan menyalahkan diri anda." Ujar Zeline dengan nada tegas.
Zero mengembuskan napasnya kasar, ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri yang gagal melindungi Zeline. "Zeline, apa kau tahu apa penyebab kau bisa sakit seperti ini?"
"Aku..." Zeline menggantungkan ucapannya, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi padanya. "Aku tidak ingat, Yang Mulia, tadi tiba-tiba saja kepalaku pusing dan pandanganku menjadi gelap."
"Dokter bilang, ia sama sekali tak menemukan racun dalam tubuhmu." Zero menjelaskan, "jadi aku sama sekali tak bisa menebak apa yang terjadi padamu."
"Kalau begitu, katakan padaku, belakangan ini kau sudah bertemu dengan siapa saja, serta apa saja yang telah kau makan?" Ujar Zero lagi.
"Aku hanya makan yang seperti biasanya." Balas Zeline, "dan kau tahu sendiri, dari semua makanan itu sudah dicicipi terlebih dahulu oleh kepala pelayan sebelum disajikan padaku." Lanjutnya. "Dan kepala pelayan masih baik-baik saja."
"Kalau begitu, akhir-akhir ini apa ada yang mengunjungimu?"
Mengunjungiku?
Oh?
Nona Aquila!
Zeline sungguh baru menyadari hal itu! Pantas saja ia merasa ada yang aneh dengan gelagat 'baik' yang ditunjukkan Aquila.
"Siapa yang mengunjungimu?" Desak Zero yang sepertinya dapat membaca ekspresi wajah Zeline.
"Itu ... Tapi bukan berarti orang yang mengunjungiku ini pelakunya." Zeline merasa ragu untuk memberitahu kedatangan Nona Aquila kepada Zero.
"Katakan saja, Zeline!" Zero semakin mendesak.
"Nona Aquila." Ucap Zeline pada akhirnya.
"Apa?!" Zero tersentak, "sialan, dasar wanita penyihir!" Makinya.
"Tunggu, anda yang tenang dulu, Yang Mulia." Zeline berusaha menenangkan kekasihnya. "Kita tidak bisa menuduh nona Aquila, lagipula, dokter bilang kalau di tubuhku tidak ada racun, kan? Bisa saja aku sakit karena aku terlalu lelah."
"Kau terlalu polos, Zeline." Zero sungguh tidak habis pikir dengan pola pikir kekasihnya. Positif itu juga ada batasnya!
"Cewek penyihir itu, aku sempat tidak percaya saat ia bilang akan berhenti menggangguku dan Zeline. Dan benar saja, ternyata ucapan itu hanya omong kosong!" Zero tak dapat menahan emosinya, ia bahkan memiliki julukan baru untuk Aquila. "Ia hanya ingin membuatku lengah rupanya."
"Yang Mulia, tolong anda jangan gegabah." Zeline masih berusaha menenangkan. "Nona Aquila datang kesini baik-baik. Ia bahkan meminta maaf padaku."
"Itu hanya omong kosongnya!" Balas Zero.
Zeline menggelengkan kepala, "tidak, Yang Mulia, aku yakin nona Aquila tulus." Zeline berusaha tersenyum. "Nona Aquila bahkan memberikanku hadiah sebagai tanda penyesalannya."
"Hadiah?"
Zeline mengangguk antusias, ia mengambil sebuah buket bunga di atas nakasnya, "ia memberikanku bunga cantik ini!"
Oh!
Begitu rupanya!
Zero mencengkeram buket bunga tersebut. "Rupanya ini yang menyebabkanmu pingsan."
Zero segera bangkit dari tempatnya, wajahnya benar-benar terlihat menyeramkan. Zero menatap buket bunga tersebut dengan pandangan menusuk.
Zero bersiap membuat perhitungan dengan serius kepada Aquila.
"Aquila ... Aku akan membuatmu merasakan penderitaan yang sama dengan yang Zeline rasakan."
***
"Nona! Kereta kuda kerajaan sedang menuju kesini!" Seruan Ahn membuat Aquila langsung mengalihkan perhatiannya. Cewek berambut pirang itu langsung mengikuti arah pandangan Ahn. Apa? Eh, Ada apa ini? Aquila langsung bangkit dari tempatnya, ia meninggalkan sepotong kue berperisa stroberi yang bahkan masih belum ia sentuh. Aquila berlari keluar menuju perkarangan rumahnya yang luas. Dan benar saja, begitu gerbang besar dibuka, datang sebuah kereta kuda kerajaan dengan lambang khas istana tertera di bagian depannya. Sebenarnya ada apa ini? Apakah Zero ke sini karena sedang ada urusan dengan Duke Charles? Tapi, ayah Aquila tersebut sedang tidak ada di kediaman ini. Atau mungkin Zero ada urusan dengan Alaster? "Adikku sayang~" Ah, Aquila mendadak merasa menyesal telah menyebut nama Alaster dalam hati, kakaknya itu, tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya. "Adikku, mengapa putra mahkota ke sini? Ap
Orang gila! Semua tokoh yang ada di dalam novel 'Cinta Sejati' adalah orang gila! Tidak ada satupun tokoh yang waras disini. Aquila jadi merasa, sebenarnya ia tidak terjebak di dalam dunia novel, melainkan ia terjebak di dalam perkumpulan orang yang tidak waras. Mulai dari peran utama laki-laki yang terlalu protektif terhadap pasangannya, lalu peran utama wanita yang terlalu baik hingga terasa tidak masuk akal. Lalu ada juga kakak si antagonis yang terlalu 'alay'. Ditambah lagi tokoh Grand Duke yang memiliki aura yang sangat menyeramkan. Bahkan tokoh antagonisnya sendiri 'Aquila yang ada di dalam novel' juga sungguh tidak masuk akal perilaku jahatnya, hingga terkesan kalau tokoh tersebut sama sekali tak memiliki sisi baik. Hanya Aquila yang waras disini. Entah apa yang ada di pikiran si pengarang novel 'Cinta Sejati' sehingga dapat menciptakan novel picisan dengan segelintir orang-orang tidak waras sebagai tokohnya.
Alken de Athanasius. Ia adalah seorang putra dari Raja dan selirnya. Rambut Alken berwarna putih karena keturunan dari sang ibu. Kulitnya yang putih pucat juga merupakan keturunan dari sang ibunda. Usia Alken hanya terpaut beberapa bulan lebih muda dari Zero, tapi kemampuannya sudah bisa menyetarai atau bahkan melebihi putra mahkota tersebut dalam beberapa hal. Alken sadar, posisinya dalam istana hanyalah seorang anak dari selir. Kedudukannya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan Zero yang seorang penerus resmi. Lagipula, Alken juga tidak berniat mengkudeta kekaisaran, ia hanya sengaja mempermainkan orang-orang disekitarnya. "Ah, kekasih dari kakakku sudah datang rupanya," Alken berkomentar saat Zeline telah sampai di lorong kerajaan. "Hormat saya, tuan," Zeline mengangguk sopan. Alken memperhatikan penampilan Zeline dari ujung kaki hingga kepala, "kakakku sedang tidak ada di sini. Ia sedang sibuk menguru
Malam nanti, pesta pengenalan calon putri mahkota akan diadakan. Segala keperluan untuk pesta nanti malam telah disiapkan. Saat ini, meskipun masih pagi hari, Aquila sudah sampai di kediaman istana. Sesuai prosedur yang ada di sana, putri mahkota yang terpilih akan memperkenalkan dirinya terhadap sang putra mahkota. Ya, ini hanyalah formalitas belaka. Aquila yang ditemani Alaster, melangkahkan kakinya menuju aula besar dimana Baginda kaisar sudah menunggu di singgasananya. "Hormat kami, Yang Mulia Kaisar." Baik Aquila dan Alaster, keduanya menundukkan badan. "Saya merasa terhormat bisa menemui anda secara langsung, Yang Mulia." Alaster berucap dengan senyum hangat. Entah ucapannya tulus atau sekadar pencitraan belaka. Kali ini, dari sisi yang berseberangan masuk seorang lelaki berambut cokelat sambil menggenggam tangan seorang perempuan di sebelahnya. Itu Zero dan Zeline, protagonis kesayangan kita. "Hormat ka
"Yang Mulia!" Zeline menghampiri kekasihnya yang sedang menyendiri di lorong atas, memperhatikan pesta dari kejauhan. Zero yang saat itu sedang meminum segelas wine-nya langsung beralih, menatap wajah Zeline. "Hai, Zeline," sapanya. Zeline tersenyum manis, biasanya, senyuman ini selalu sukses meluluhkan hati sang putra mahkota. "Anda tidak menikmati pestanya? Mengapa anda menyendiri di sini?" "Tidak, aku hanya sedang terpikirkan sesuatu." Zero kembali menatap kerumunan pesta. Sedari tadi, ada yang mengganjal di hati Zero. Yakni saat ia melihat saudaranya yang menyebalkan— Alken, sedang berdansa dengan teman masa kecilnya. Hal yang semakin mengganggu, saat Alken dan Aquila tertawa bersama-sama tatkala Aquila melakukan kesalahan dalam berdansa atau sesekali menginjak kaki Alken. Tidak. Zero yakin ini bukan perasaan cemburu. Ia hanya merasa aneh? Karena Aquila yang ia kenal sangat anti dengan cowok lain. Karena bagi Aquila,
Ahn bilang ini bukan pertemuan resmi. Jadi Aquila tidak perlu repot-repot menggunakan korset yang menyesakkan ataupun menggunakan gaun dan sepatu hak tinggi. Ia hanya menggunakan baju sederhana yang biasa digunakannya saat santai— meskipun masih berbentuk dress tapi tidak sekompleks dress yang digunakan untuk pertemuan resmi. Aquila menguap. Ini sudah malam tapi Zero mengajaknya bertemu? Anak itu tidak punya etika, ya? Ditambah lagi, Zero benar-benar tidak jelas. Ia hanya mengatakan 'bertemu di tempat biasa' Aquila bahkan tidak tahu di mana tempat biasa yang dimaksud Zero? Aquila sudah berusaha mengingat-ingat melalui memori dari Aquila yang dulu. Tempat itu terang, banyak ditanami bunga-bunga serta ada sebuah air mancur besar. Aquila menebak, sepertinya itu kebun kerajaan? Yang menjadi masalah. Aquila tidak tahu dimana letak kebun itu! Ia bahkan tidak hafal denah kerajaan ini! ISTANA INI TERLALU LUAS! "Sialan k
"Dulu kita selalu bersama, ya?" Zero menatap wajah Aquila, tangannya membelai rambut pirang teman masa kecilnya itu."Iya," Aquila menimpali. "Namun segalanya berubah saat Zeline datang." Ujarnya tanpa sadar....Tunggu.Seperti ada yang salah.EHHHH?!?!Mati! Aquila salah bicara.Bagaimana ini?!"Eh, tidak, maksudku," Aquila panik sendiri, Zero tidak akan marah, lalu mengeksekusinya karena ucapan Aquila tadi, 'kan? "Untung saja Zeline datang, jadi kau bisa bersama orang yang jauh lebih baik dariku."Aquila tersenyum kaku. Sejujurnya ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan.Zero tidak bereaksi apa-apa, ia hanya menatap lurus ke arah Aquila. Ekspresinya datar.Apa Aquila salah bicara lagi?"Maksudku, kau beruntung sekali bisa menemukan Zeline. Wanita itu begitu manis dan baik hati, 'kan?" Aquila mengangkat kedua jempolnya. "Tidak sepertiku yang berwajah antagonis, kau jauh
"Bagaimana, apa tidur anda semalam nyenyak?" Zeline bertanya khawatir. "Tidurku? Ah kau tenang saja—" "Nona, saya sungguh penasaran hadiah apa yang telah anda siapkan untuk para pelayan." Zeline tersenyum. Apa ini? Apakah Zeline sengaja memotong ucapannya? Lalu ... Hadiah apa yang dimaksud? "Hadiah...?" Zeline mengangguk antusias, "iya, maksudku, bukan hadiah yang mewah, tapi hadiah sebagai bentuk apresiasi untuk para pelayan karena sudah bekerja keras." Aquila tak dapat merespon. "Oh? Nona Aquila tidak menyiapkan apa-apa, ya?" Zeline merasa canggung, "maafkan saya karena sudah bertanya, nona," "Nona Aquila sudah menyiapkan sesuatu!" Kali ini Ahn yang menjawab. Ia tidak terima Aquila direndahkan begitu saja. "Oh, begitukah?" Wajah Zeline terlihat cerah. "Aku sungguh penasaran, apa itu?" "Yang jelas, hadiah yang disiapkan nona Aquila begitu bagus!" Ahn menyahut lagi. "Wah, sesuai dugaan, n