"Kamu akan tahu seberapa tak berartinya dirimu di mata Anna, setelah dia berhasil mendapat apa yang dia mau,"Brian masih saja terngiang kalimat yang Safiyya ucapkan beberapa hari lalu. Sejak istri Nalen datang ke apartemen Anna, Brian seperti dihantui kegelisahan. Bahkan sudah beberapa hari ia berusaha menahan diri agar tak bicara apapun pada Anna terkait Safiyya yang datang ke rumah ini. Jalan satu-satunya, Brian memang harus menemui Nalen untuk memastikan semuanya. Benarkah yang dicintai Anna sebenarnya adalah Nalen? Jika benar begitu, Brian tak akan pikir dua kali untuk balik menikam wanita itu dari belakang, dan memberinya pelajaran yang tak akan bisa dilupakan.Setelah memikirkan semua baik-baik, Brian pun langsung meraih jaket dan kunci mobilnya lalu pergi."Loh, kamu mau ke mana, Brian?" tanya Anna yang baru saja masuk setelah pulang kantor. Keduanya berpapasan di depan pintu."Aku ingin keluar sebentar menemui kolega bisnis di sini," bohong Brian. Ia berusaha menahan rasa mar
Brian memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, ia sudah tak peduli lagi akan nyawanya yang akan melayang bila mobilnya mengalami kecelakaan. Ia sudah tak merasakan apapun saat ini. Perasaanya telah hancur berkeping-keping. Seandainya dulu ia tak begitu saja percaya pada Anna, ia tak harus hidup sebagai pembunuh dan terus bersembunyi.Ditengah kekalutan itu, sebuah mobil tiba-tiba datang dari arah berlawanan. Brian membanting stir ke kanan hingga suara benturan terdengar setelahnya. Mobil Brian menabrak pohon sangat keras hingga asap mengepul di bagian depan. Kepala Brian pun tak luput dari hantaman dasbor hingga laki-laki itu akhirnya pingsan.Tak butuh waktu lama ketika beberapa orang akhirnya datang dan langsung membawanya ke rumah sakit.Beberapa jam setelah Brian kecelakaan, Anna terlihat mondar-mandir di depan televisi, wanita itu sesekali menatap jam di dinding untuk memastikan sudah jam berapa. Pasalnya Brian tak ada kabar sejak ia pamit pergi, ponselnya pun tak aktif. Anna mula
Pagi ini di kediaman keluarga Nalen tampak lebih ramai dari hari biasa karena ada calon mertua Gibran."Kalau begitu aku dan Nalen berangkat dulu, ya. Kamu kalau butuh apa-apa bilang aja sama Mbak di sini, Han. Ayo Nafis kita berangkat." Safiyya bangkit setelah pamit pada mereka semua.Sejujurnya Safiyya tak keberatan sama sekali ada keluarga calon besannya datang ke sini. Tapi masalahnya Safiyya merasa tak enak pada Nalen sebab suaminya sangat tak menyukai orang kepo. Sedangkan Cipto dan istrinya sepanjang sarapan saja terus mengoceh, bahkan menanyakan hal paling tak sopan seperti masalah uang dan harta. Jika bukan karena ia menghormati Gibran dan Hana mungkin Safiyya akan menegurnya."Kenapa diam aja, Sayang. Ada apa?" Nalen bertanya pada Safiyya karena sejak keluar dari rumah istrinya terus melamun.Safiyya diam sejenak mendengar pertanyaan susminya. "Aku minta maaf karena kedatangan keluarga Hana mungkin membuat kamu merasa nggak nyaman." Safiyya terdengar sedih.Mendengar itu Nal
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
"Aku ingin menikahi Safiyya. Dengan atau tanpa persetujuan kalian." Ucapan yang terlontar dari suara bariton itu seolah bagai petir yang menyambar di siang bolong. Mengagetkan semua orang yang kini berada di ballroom sebuah hotel mewah. Termasuk Safiyya yang saat ini tengah berdiri di samping laki-laki yang baru saja bicara itu.Wanita yang penampilannya sekarang sudah tak karuan itu, berusaha melepaskan cekalan tangan Nalen pada tangannya. Tapi, semakin dia mencoba, tangan besar itu seolah makin menggenggamnya kuat-kuat dan tak mengizinkannya lari.Safiyya menatap putus asa pada Nalen. Berharap laki-laki berwajah blasteran Australia itu menghentikan aksi gilanya. Lalu Pandangannya kini dia arahkan pada Maira, sahabatnya, yang sekarang tengah menatapnya dengan mata terluka. Demi Allah, bukan ini kemauannya. Dia sama sekali tak memiliki niat menghancurkan kebahagiaan sahabatnya sendiri."Apa kamu gila, Hah! hari ini acara pertunangan kalian," ujar Aidan Akhtar, ayah Nalen. Laki-laki p
Subuh ini, di sebuah rumah sederhana itu, tampak Safiyya tengah membereskan beberapa buku di atas rak. Gerakan tangannya terhenti ketika tanpa sengaja meraih Alquran usang milik almarhum ayahnya. Wanita itu memutuskan duduk di tempat dia tadi melaksanakan shalat subuh, kemudian memicingkan matanya ketika membaca surah An-Nur:31.Tanpa disadari tubuhnya bergetar, ketika barisan asma Allah itu dia baca berulang-ulang. Entah apa maksud Allah hingga Dia memberi peringatan kepadanya melalui cara seperti ini. Niat awalnya membuka Al-quran untuk dibereskan. Tapi, halaman yang dibuka secara acak itu justru menampilkan ayat peringatan dari surah An-Nur.Bagai sebuah mantra ajaib, mulutnya mengucap istighfar berkali-kali, sementara air matanya semakin deras mengalir. Dadanya terasa begitu sesak, teringat segala bentuk dosa dan kelalaian yang selama ini dia lakukan. Dosa-dosa itu seakan berputar dalam kepalanya satu persatu. Dari mulai nasihat almarhum ayahnya agar dia mengenakan hijab, menutup