"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
"Aku ingin menikahi Safiyya. Dengan atau tanpa persetujuan kalian." Ucapan yang terlontar dari suara bariton itu seolah bagai petir yang menyambar di siang bolong. Mengagetkan semua orang yang kini berada di ballroom sebuah hotel mewah. Termasuk Safiyya yang saat ini tengah berdiri di samping laki-laki yang baru saja bicara itu.Wanita yang penampilannya sekarang sudah tak karuan itu, berusaha melepaskan cekalan tangan Nalen pada tangannya. Tapi, semakin dia mencoba, tangan besar itu seolah makin menggenggamnya kuat-kuat dan tak mengizinkannya lari.Safiyya menatap putus asa pada Nalen. Berharap laki-laki berwajah blasteran Australia itu menghentikan aksi gilanya. Lalu Pandangannya kini dia arahkan pada Maira, sahabatnya, yang sekarang tengah menatapnya dengan mata terluka. Demi Allah, bukan ini kemauannya. Dia sama sekali tak memiliki niat menghancurkan kebahagiaan sahabatnya sendiri."Apa kamu gila, Hah! hari ini acara pertunangan kalian," ujar Aidan Akhtar, ayah Nalen. Laki-laki p
Subuh ini, di sebuah rumah sederhana itu, tampak Safiyya tengah membereskan beberapa buku di atas rak. Gerakan tangannya terhenti ketika tanpa sengaja meraih Alquran usang milik almarhum ayahnya. Wanita itu memutuskan duduk di tempat dia tadi melaksanakan shalat subuh, kemudian memicingkan matanya ketika membaca surah An-Nur:31.Tanpa disadari tubuhnya bergetar, ketika barisan asma Allah itu dia baca berulang-ulang. Entah apa maksud Allah hingga Dia memberi peringatan kepadanya melalui cara seperti ini. Niat awalnya membuka Al-quran untuk dibereskan. Tapi, halaman yang dibuka secara acak itu justru menampilkan ayat peringatan dari surah An-Nur.Bagai sebuah mantra ajaib, mulutnya mengucap istighfar berkali-kali, sementara air matanya semakin deras mengalir. Dadanya terasa begitu sesak, teringat segala bentuk dosa dan kelalaian yang selama ini dia lakukan. Dosa-dosa itu seakan berputar dalam kepalanya satu persatu. Dari mulai nasihat almarhum ayahnya agar dia mengenakan hijab, menutup
Awal BaruPagi ini, di rumah keluarga Amran tampak ada kejadian menarik. Halimah yang tengah menata sarapan di meja mendadak menjatuhkan sendok di tangannya. Wanita yang kini mengenakan kerudung abu-abu itu terpaku menatap Safiyya yang baru saja keluar dari kamar. Gibran yang masih berada di kamarnya pun otomatis keluar karena mendengar dentingan beda jatuh."Ibu ada ap-" Belum selesai kalimat yang diucapkan dari bibirnya, Gibran juga ikut terpaku menatap kakaknya. Safiyya menyunggingkan senyum lebar ke arah adik dan ibunya. "Gimana, Bu? Safiyya cocok ndak pakai hijab?" tanya wanita itu dengan senyum ceria. Sembari memutar tubuh, membuat rok plisket berwarna peach yang dikenakan mengembang. Tak ada respons dari dua orang di depannya. Halimah dan Gibran justru tampak saling berpandangan. Seolah terkejut dengan perubahan mendadak sang putri. Pasalnya Safiyya semalam memang belum sempat memberitahukan keinginannya berhijrah pada Halimah dan Gibran."Gimana? Safiyya nggak cocok, ya, pak
Hari ini Safiyya menyusuri seluruh sudut kota Yogya. Sesekali wanita berkulit kuning langsat itu menyeka peluh di dahinya. Dia yang masih tampak cantik dengan seragam hitam putih, menarik napas lelah. Amplop coklat yang digenggamnya pun diletakkan di atas kepala untuk melindungi wajahnya dari sengatan sinar matahari. Sudah sejak pagi Safiyya kesana-kemari mencari pekerjaan. Berharap ada satu perusahaan yang bersedia mempekerjakan dirinya sebagai karyawan magang. Tapi, hari sudah menjelang sore tak ada tanda-tanda dia akan berhasil. Semua tempat yang didatanginya sedang tak membutuhkan karyawan magang seperti dirinya.Tiba-tiba dering suara ponsel terdengar dari dalam tas, tertera nama Maira di layar. Safiyya berhenti dan memutuskan duduk di depan sebuah mini market, kemudian mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, ada apa, Mai?" tanyanya pada orang di seberang." ......""Aku di jalan, lagi nyari lowongan buat magang, kenapa?"" ......""Di mana? Kamu kirim lewat chat aja alamatn
Seorang laki-laki tampak tengah bersantai di sebuah kursi panjang dekat kolam renang. Menikmati deburan ombak yang tampak dari hotel tempat dia menghabiskan malam. Sesekali laki-laki itu menenggak wain dalam gelas. Tubuh kekarnya yang bertelanjang dada membuat para wanita di sekitar tak berkedip menatap. Ditambah kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya, semakin menambah kesan maskulin. Beberapa saat kemudian ponsel di sampingnya bergetar. Tertera nama 'Tuan Aidan yaang terhormat' di layar. Dengan enggan Nalendra mengangkat panggilan itu."Kapan kamu ke Yogya? Sahabat Papa sudah menunggu kamu di sana." Nalen menarik napas kasar mendengar ucapan di seberang. "Aku sudah bilang pada Papa, kalau nggak sudi dijodohkan. Papa tahu aku nggak suka terikat.""Papa nggak mau tahu, sekarang juga kamu ke Yogya. Mau sampai kapan kamu keluyuran nggak jelas seperti itu demi hobi kamu! Umurmu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, dan lagi Papa butuh bantuan untuk mengurus perusahaan." Aidan