Entah kenapa aku malah tidak bisa menolak saat Mami Anna mengajakku untuk segera ke rumah ibu.“Biar mobilmu di sini, nanti sopir Mami yang bawa,” ujar Mami Anna.Apa iya aku harus menerima? Nino sudah menunggu begitu lama bahkan masih bertahan saat dia disudutkan dan dituduh menghamili Melody. Sebenarnya dari dulu Nino ingin menikahiku tapi aku yang belum siap karena tahu Melody tidak akan menerima aku menikah lagi.[Bu, orang tuanya Nino akan datang ke rumah. Ini sedang di jalan bersamaku.] Aku mengirimkan pesan pada ibu.“Nanti setelah menikah Mami maunya kamu tinggal bersama Mami.”Menikah saja belum tapi Mami Anna sudah mengatakan hal seperti ini.“Tidak bisa, Mam. Mami lupa, Serra punya anak, dia pasti tidak akan mau meninggalkan anak-anaknya.” Malah Nino yang menyahut, dia menyetir tapi sesekali melirikku lewat kaca.“Justru itu, agar Mami tidak kesepian. Mami juga ingin sekali bertemu dengan anak-anak Serra.”Aku tersenyum tipis menanggapi. Bagaimana nanti kalau Mami Anna tahu
POV Nino“Loh, Bang. Tidak ikut?” tanya Edwin.“Aku harus mengantar kekasihku.”“Abang benar-benar sudah memiliki kekasih?” tanya Melly.“Mel, dia itu kekasihnya tidak hanya satu tapi bercabang ada di mana-mana. Jadi jangan heran kalau dia tidak pernah kesepian,” ujar Edwin sambil merangkul pundak kekasihnya itu.“Bacot! Eh, bocah. Pulang sana, mana masih pakai baju seragam lagi. Kalau tahu siapa orang tua kalian, akan kuadukan kelakuan kalian ini?” Aku geleng-geleng kepala.Meski sebenarnya aku dulu juga seperti mereka. Niat dari rumah berangkat sekolah tapi akhirnya belok ke tempat tongkrongan. Masa mudaku jauh dari kata baik memang.“Sebentar lagi, Bang. Lagi pula masih siang, nanti kalau pulang jam segini yang ada curiga kalau tidak sekolah,” sahut Edwin.Aku mengedikkan bahu, “Jo, jangan lupa mundurkan semua jadwalku.” Mengingatkan Jordy, dia menggantikan managerku yang sedang sakit.“Kalau Bang Nino tidak ada pasti ada yang kurang,” celetuk Melly.“Ada pacarmu juga, kenapa harus
POV Serra“Mas, lepas dulu!” Aku mencoba melepaskan tangan Nino yang melingkar di perut.Kalau saja aku tidak memegangi selimut dengan erat pasti sudah melorot.“Bunda akan jelaskan, kamu keluar dulu,” ujarku pada Melody.“Siapa dia, Bun?” Melody masih berdiri di tempatnya, rasa penasaran membuatnya enggan untuk beranjak.“Aku Papamu, sudah tahu ‘kan? Sekarang keluar, biarkan Bundamu istirahat!” ucap Nino dengan suara serak.Aku tersentak saat Nino buka suara dan mengatakan semuanya.“Bunda.”Menarik nafas dalam-dalam, “Iya. Bunda dan dia sudah menikah kemarin.”Lebih baik jujur sekarang. Kenapa juga Melody harus melihatku dalam keadaan seperti ini.“Kenapa tiba-tiba?”“Bisa tutup dulu pintunya, biarkan Bunda mandi dan akan Bunda jelaskan semuanya nanti ya?”Melody mundur dan menutup pintu dengan sedikit keras. Dia pasti masih tidak terima apalagi kabar yang didengarnya secara tiba-tiba, aku menikah tanpa memberitahu dia.Sepertinya dia tidak sadar ini Nino. Kalau tahu pasti akan hist
“Bang Nino suka sekali men-hmmpp.”Mulut Edwin dibekap oleh Nino sebelum menyelesaikan apa yang diucapkannya.“Diam! Dasar ember bocor!”“Pagi-pagi ribut, pergi olahraga sana, joging atau apa kah. Kamu juga, Mas. Memang tidak bekerja?”“Dua hari ini aku libur, sayang. Waktu untuk kita bulan madu meski hanya di rumah,” ujarnya sambil memainkan alis.“Kamu kenapa tidak siap-siap berangkat sekolah?” Aku beralih menatap Edwin.“Ini hari libur, Bun. Nanti siang baru aku ke cafe.”“Benarkah? Bunda tidak tahu ini hari libur.”Kuayunkan langkah menuju dapur untuk memasak. Bi Asih tidak ada jadi aku harus memasak dan melakukan tugas rumah, meski sebenarnya aku pun melakukannya setiap hari semenjak tidak bekerja meski tidak seluruhnya kukerjakan.Isi kulkas sudah tinggal sedikit, hanya cukup untuk hari ini saja. Sepertinya aku harus belanja, di sini tambah dua anggota keluarga baru jadi wajar jika persediaan akan lebih cepat habis meski Nino baru tinggal di sini tadi malam.“Sayang.”Aku tersen
Aku mencebik, “Enak gundulmu!”Dia pikir enak memiliki suami seperti Nino? Ada enaknya tapi banyak tidak enaknya karena semua sikap manjanya yang asli muncul sekarang, padahal sebelumnya meskipun manja tidak seperti ini. Sekarang malah sampai mengalahkan manjanya Maura.“Pasti-”“Sudah, sudah. Jangan berandai-andai sesuatu yang mustahil! Bereskan itu semua kekacauan di dapur, jangan lupa cuci piringnya.”“Bun-”“Bunda tidak mau tahu. Bunda mau istirahat, lelah, hati-hati ada tumpahan minyak di dapur!” Setelah mengatakan itu aku meninggalkan kamar Melody.Belanjaan akan kubereskan nanti, rasanya ingin segera membaringkan tubuh di kasur.Pegal sekali rasanya. Nino itu bujangan tapi seperti lelaki yang sudah pro, tubuhku seperti remuk dibuatnya.“Sayang, mau ke mana?”Melewati ruang tengah Nino memanggil.“Mau istirahat sebentar, biarkan saja belanjaannya.”“Aku temani ya.” Dia langsung b
“Kenapa, Mas?”Nino mengangkat kertas di atasnya.[Bunda, aku pinjam kartu atm ya. Nanti aku kembalikan. Kurang baik apa aku ini, meski Bunda jahat karena sibuk bermesraan dengan Bang Nino, aku tetap minta izin pinjam kartu atmnya.]Aku menghela napas panjang. Melody malah berulah lagi, padahal sebelumnya dia menurut saat kusuruh untuk tidak keluar rumah tapi sekarang malah pergi diam-diam. Mungkin karena masih sakit hati melihatku menikah dengan Nino.“Maaf, harusnya aku tidak ikut tidur agar bisa mengawasi Melody.”“Tidak usah minta maaf, aku juga tidak tahu dia akan pergi begitu saja.”Keluar dari kamar Melody aku mencari ponsel untuk melihat rekaman cctv di kamar Melody, apakah dia memang pergi sendiri atau membuat janji dengan orang lain.“Kamu pasang cctv di kamar Melody?” tanya Nino.“Hm. Sana, kamu tidak boleh lihat.”Nino langsung bergeser menjauh.Melody tidak terlihat menghubungi sia
“Mel!”“Bercanda, Bun. Pokoknya tidak ada yang menggeser Bang Nino dari hatiku,” celetuknya.“Melody!” Aku melotot padanya.“Berbagi sedikit, Bun. Jangan pelit!”Aku menghela napas berat, “Susah memang bicara denganmu.”“Ya sudah, tidak usah bicara.”“Mel, kalau Bunda bicara jangan terus kamu balas. Dengarkan baik-baik.” Nino ikut bicara.“Bang Nino kenapa selalu membela Bunda sih?” Melody mencebik.“Jangan panggil Abang terus, kamu pikir tukang bakso apa. Panggil Papa, dari kemarin aku ini sudah menjadi Papamu. Iya ‘kan, Dek?” Nino mengelus puncak kepala Maura yang kini duduk di pangkuanku.“Kalau kamu begini terus lebih baik kamu tinggal berdua bersama Edwin saja. Biar nanti Bunda bicara pada Ayahmu untuk menjemput kalian atau sekalian saja kamu tinggal bersama orang tuanya Edwin, biar bertengkar setiap hari kalian!” Aku tersulut emosi karena melihat Melody begini terus.“Tidak mau! Enak saja
Aku lupa jika Melody dan Edwin satu kelas.“Saya mewakili ibunya Edwin yang memang sedang sibuk, Bu.”“Oh iya, Bu. Semoga Edwin lekas sembuh.”“Terima kasih, Bu.”Rasanya lega setelah sambungan telepon terputus. Bu Eki pasti tidak akan curiga apalagi tahunya Melody pindah sekolah.Semoga saja tidak ada hal yang tak diinginkan terjadi. Selama Melody masih dalam masa kehamilan, aku tidak akan bisa tenang apalagi sekarang perutnya sudah mulai membesar. Orang yang sudah paham pasti mengerti jika Melody sedang hamil.“Bunda bawa makanan dulu ya, kalau tidak mau ke dokter setidaknya kamu harus makan.”“Iya, tapi sedikit saja, Bun. Lidahku pahit, kepala pusing dan berat, ulu hatiku juga sakit,” keluhnya.“Tunggu sebentar ya. Kalau butuh apa-apa panggil saja, Bunda di dapur.”“Nanti ke sini lagi ya, Bun.”Siapa saja yang sedang sakit pasti akan seperti anak kecil.Kutinggalkan Edwin dan beralih ke dapur untuk membuatkannya bubur. Setelah kembali menjadi ibu rumah tangga, aku tidak pernah meny