POV Author“Dia istriku, jadi tidak usah pegang-pegang begitu!” Edwin menarik Melody, menyembunyikan di belakang tubuhnya.Andrew terlihat terheran-heran, “Mel, apa maksudnya ini?”“Jangan de-”“Aku peringatkan, jangan dekati lagi Melody apalagi sampai mengajaknya ke tempat begini. Kalau sampai kau tidak mendengar teguranku, kau akan menyesal!” Rahang Edwin mengeras, menatap Andrew dengan sorot tajam.Dengan paksaan Melody baru bisa dibawa pergi dari tempat itu. Edwin sudah curiga saat Melody tiba-tiba baik dan menanyakan soal acara di puncak dan ternyata dugaan Edwin tidak salah. Ia memang harus cerdik dalam menghadapi Melody yang begitu licin, susah untuk diberitahu.Tadi dia sampai izin pada Nino untuk tidak masuk kerja karena ingin memastikan Melody baik-baik saja. Meski acara kelulusan biasa tapi siapa yang akan menjamin tidak akan terjadi apa-apa di sana nanti. Edwin yang pernah ada di dalamnya sudah jelas mengerti, ia menahan diri untuk tidak masuk kembali dan tidak ingin Melod
“Bunda, nanti aku telepon lagi.” Tanpa menunggu sahutan dari ibunya, Melody mematikan sambungan telepon.“Sorry, Yah. Aku ini tidak seperti istri ayah yang tukang adu domba.”“Sudah ya, Mel. Jangan ribut terus, nanti Zea bangun lagi.”“Ed, koper ayah mana? Ayah mau ganti baju.” Setelah mengatakan itu Tian masuk lagi ke dalam kamar.Lelaki ini memang sangat berubah, tidak seperti Tian sebelumnya. Mungkin sebelumnya Tian tidak terlalu akrab lagi dengan Melody tapi sekarang malah seperti orang yang sedang bermusuhan, itu karena tidakdewasaan Tian sebagai seorang ayah. Ia hanya percaya omongan Rianti yang sekarang malah hanya mengeruk hartanya saja tanpa peduli Tian seperti apa.“Masuk ke kamar temani Zea. Kalau kamu terus balas omongan ayah yang ada kamu capek sendiri nanti.” Edwin mengusap pundak Melody mencoba meredam amarah ibu satu anak itu.“Tidak usah cari kesempatan!” Ia menepis tangan Edwin lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.Edwin menatap kepergian Melody sambil geleng-gelen
Nino menarik nafas dalam-dalam, mengurut pelipisnya yang berdenyut. Ia tidak ingin apa yang menjadi berita panas itu sampai di telinga Serra. Jadi sebelum semuanya tersebar, Nino sudah menyuruh orang-orangnya untuk menghapus berita itu dan mencegah agar tidak semakin meluas.Saat ini Serra sedang menunggu kelahiran anaknya jadi lebih baik tidak dibuat stres dengan apa yang terjadi. Nino hanya menjaga perasaan sang istri bukan bermaksud menyembunyikan sesuatu.“Mas, masih belum gerak juga?” Terdengar suara Serra dari dapur, seperti cenayang saja. Tahu jika suaminya masih berdiri tak bergerak di ruang tengah.“Iya, sayang. Ini mau mandi.” Nino menyahut lalu melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.Tanpa diberitahu oleh Serra pun Nino sudah tahu dari Edwin sebenarnya. Edwin bahkan menceritakan lebih detail soal Tian yang berniat menampar Melody tapi karena Edwin menghalangi makanya Edwin yang menerima tamparan dan mertuanya itu. Nino jelas sangat marah tapi ia belajar dewasa untuk tidak
Melody terlalu banyak berpikir.[Aku di depan rumahmu.]Padahal tinggal bilang saja tidak ada di rumah. Memang kadang-kadang otak pintarnya itu tidak bisa berpikir dengan semestinya.“Aish!”Tin!Ia memilih untuk membuka pagarnya karena jika tidak maka nanti yang akan keluar Edwin. Melody akan membuat Andrew pergi.Andrew turun dari motornya saat melihat Melody, membuka helm hingga senyumnya yang lebar langsung terlihat.“Drew kamu mau apa ke sini?” Melody menutup kembali pagarnya dan berbicara dengan Andrew dari luar.“Tentu saja ingin menemuimu dan meminta penjelasan soal apa yang dikatakan Edwin saat itu. Aku tidak suka kamu menghindar terus, Mel.”“Kita bicara di tempat lain ya, jangan di sini. Besok saja aku menemuimu.”“Tidak boleh aku masuk?”“Jangan. Ada ayahku di dalam, dia itu tidak suka jika ada teman laki-lakiku datang.” Melody memberikan alasan yang menurutnya bisa membuat Andrew pergi.“Aku ‘kan datang baik-baik, Mel. Bu-”Pagar terbuka dari dalam membuat jantung Melody
Serra kembali masuk ke dalam kamar, padahal tadi ia sudah akan turun tadi, mendengar percakapan suami dan mertuanya membuat Serra menjadi mellow begini. Terharu karena diistimewakan di sini.Setelah membasuh wajahnya, wanita itu langsung turun. Bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.“Sudah siap, sayang?” Nino yang menyadari kehadiran sang istri langsung bangkit.“Mam, kami pergi dulu ya.” Serra langsung pamit.“Ke mana?” Kening Mami Anna berkerut.“Menemui Melody, Mam. Sekalian bawa Maura ketemu ayahnya,” jelas Serra.“Ya sudah, hati-hati di jalan. Nino, bawa mobilnya pelan-pelan.”Nino memutar bola matanya malas, “Ya ampun, Mam. Sudah berapa ribu kali Mami mengatakan itu padaku, aku akan hati-hati membawa mobilnya.”“Mami ‘kan hanya mengingatkan.” Mami Anna membela diri.“Mengingatkan tapi tidak sesering itu juga, Mam. Mami mengalahkan alarm saja.” Nino geleng-geleng kepala, “Mami itu lebih sayang padamu daripada aku.” Nino menyandarkan kepalanya di pundak sang istri sudah seperti a
“Ed, Edwin!” Edwin tidak memperdulikan Melody yang memanggilnya dan memilih memacu motornya dengan kencang.“Sudahlah, Mel. Lebih bagus seperti ini, tidak ada lagi halangan untuk kita.”“Iya, kamu benar.” Dalam hatinya Melody meyakinkan diri sendiri jika Edwin tidak akan mungkin berani pergi darinya karena Edwin itu cinta mati. Di satu sisi Melody ingin lepas dari Edwin tapi disisi lain ia tidak ingin Edwin pergi darinya. Memang rumit isi otak Melody ini, hanya ia sendiri yang bisa mengerti.Tadi Melody sudah menjelaskan semuanya dengan detail pada Andrew soal asal-usul kenapa Melody bisa sampai menikah dengan Edwin.“Aku antar pulang ya.”“Tidak usah. Aku mau belanja dulu habis itu pulang.”“Ya sudah, kalau begitu aku akan menemanimu.”Melody menggeleng, “Tidak usah, Drew.”“Tapi aku memaksa, Mel!”“Terserahlah.” Melody melangkah masuk ke dalam minimarket.Sebenarnya tadi ia sudah memilih-milih tapi keburu Andrew menelepon makanya langsung keluar dan siapa yang menyangka malah bert
“Zea sudah tidur?” tanya Oma Titi yang beru keluar dari kamarnya dan berpapasan dengan Edwin.Edwin belum mengatakan apa-apa pada keluarganya soal masalah yang terjadi antara dirinya dan Melody. Tapi nanti ia juga akan bicara karena tidak akan mungkin terus disembunyikan. Apalagi jika Edwin berlama-lama di sini pasti akan dicurigai.“Sudah, Oma. Kenapa Oma jam segini masih belum tidur?”“Air di kamar Oma habis, Oma mau minum.”“Kembali saja ke kamar, biar Edwin yang ambilkan Oma.” Edwin langsung pergi ke dapur.Setelah mengambilkan air, Edwin kembali ke kamarnya. Ia menatap Zea yang terlelap, sebenarnya merasa kasihan juga karena Zea sampai harus minum susu formula karena Edwin membawanya ke sini tapi besok ia akan menyuruh art di rumahnya untuk mendatangi Melody meminta asi untuk Zea.“Maafkan Papa ya.” Tangan Edwin dengan hati-hati mengelus lembut pipi Zea yang gembil.Berat tapi ia juga tidak mau terus memaksa Melody untuk bersamanya jika memang Melody tidak mau. Awalnya Edwin mema
“Eh, Non Melody. Kenapa berdiri di situ? Mari masuk.”Melody berjengit mendengar suara Bi Idah dari belakangnya.“Ya ampun, Bibi bikin kaget saja.”“Maaf, Non. Bibi tidak tahu Non Melody sedang melamun. Permisi, Non. Bibi duluan mau menyimpan belanjaan.” Bi Idah berlalu sambil membawa belanjaan.Sudah terlanjur datang, Melody tidak mungkin kembali apalagi ia sudah tidak bisa menahan sakitnya. Untuk saat ini harus membuang rasa malu. Dengan pasti melangkah menuju tempat ibu mertuanya berada.“As-Selamat pagi.” Melody langsung menyapa dengan senyum tipis. Hampir saja ia mengucapkan salam.“Melody.” Oma Titi menyambut, “sini duduk, Nak.”Sangat berbeda dengan Bu Sanjaya yang tampak masam. Enggan untuk menerima tamu apalagi Melody, mungkin kesal karena mendengar Melody tidak peduli pada Zea padahal Bu Sanjaya juga tidak beda jauh dengan Melody, ia juga pernah ada di posisi Melody, tidak memperdulikan anaknya sendiri.Dengan perasaan ragu, Melody mendekat dan duduk di samping Oma Titi.“Be