"Entah, aku juga tidak tahu, Al."
Alma, yang selama ini menjadi yang paling skeptis, merasa ada yang memegang lengannya. Dia berteriak dan berusaha melepaskan diri, namun tidak ada yang terlihat. Semua orang dalam kelompok itu semakin panik, berusaha mencari jalan keluar dari ruang bawah tanah yang gelap dan menakutkan ini.Bulu kuduk mereka meremang, wajah-wajah mereka pun memucat karena rasa takut yang luar biasa. Kepanikan semakin nyata di wajah keenam remaja itu.Sementara mereka berusaha keluar, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba terkunci dengan sendirinya. Mereka terperangkap di dalam, berjuang melawan ketakutan yang semakin memuncak."Aduh, sekarang kita malah terperangkap di sini. Kita harus bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan? Seandainya tadi kita tidak mengikuti keinginan Rusdi, kita pasti tidak akan terjebak di sini," keluh Amar menyalahkan Rusdi"Sialan kamu, Mar! Bukankah tadi aku memberikan pilihan pada kalian semua dan kalian memilih untuk masuk kemari. Lalu, sekarang setelah semuanya terjadi, kalian menyalahkan aku?!" Rusdi melotot ke arah Amar karena tidak terima dengan kata-kata pemuda itu.Baim yang memang tidak suka dengan perkelahian atau perselisihan apa pun bentuknya, langsung menengahi agar permasalahan itu tidak berlanjut.Akan tetapi, Rusdi tidak menerimanya. Pria muda itu bersikap seolah-olah Baim dan Amar bersekongkol untuk menyalahkan tawaran yang tadi dia berikan.Perselisihan pun kembali meruncing, kali ini Baim kembali terseret dalam perdebatan dengan Rusdi yang memang keras kepala."Sudah cukup kalian semua! Tidak seharusnya kalian berdebat dan berkelahi di saat seperti ini! Kita harus bersatu untuk menemukan Santi dan jalan keluar dari rumah ini. Jadi, berhentilah berkelahi!" sentak Alma dengan kemarahan yang memancar dari sorot matanya yang indah"Tapi, Al... ." Rusdi berusaha mendebat Alma, tetapi gadis itu dengan segera menyentak Rusdi agar tidak terlalu banyak bicara hal yang tidak penting dan bersikap lebih sabar."Kalian juga, Amar, Baim. Kita semua di sini panik, takut dan kebingungan, jadi tolong jangan memperkeruh suasana. Jangan mudah terpancing dengan hal yang tidak penting," tandas Alma dengan wajah merah menahan marah."Sudah, Al. Redakan emosimu, sabar," ucap Aldi dan Andin seraya mengusap-usap lengan Alma supaya kemarahan gadis itu mereda.Rusdi, Baim, dan Amar terdiam mendengar kata-kata Alma. Mau tidak mau mereka bertiga pun menuruti perkataan gadis manis itu.Akhirnya, setelah beberapa lama dalam kegelapan yang mencekam, mereka mencoba mencari cara untuk membuka pintu yang terkunci. Amar mengambil senternya dan menyinari sekeliling pintu, mencari tanda-tanda mekanisme kunci atau sesuatu yang bisa membantu mereka keluar.Akan tetapi, ketika cahaya senter mencapai salah satu dinding, mereka semua melihat sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Di dinding itu tergambar sebuah bayangan gelap yang terlihat seperti sosok manusia dengan tangan terulur ke arah mereka. Amar segera mematikan senter, dan suasana semakin mencekam."Si-siapa itu tadi, Mar?"Entah, aku pun tidak tahu," sahut Amar.Akhirnya, karena rasa takut yang luar biasa sedangkan pintu masih terkunci dari luar, sementara rasa lelah dan lapar sudah mendera. Mereka pun memutuskan untuk memakan bekal mereka dan menunggu di sana hingga tertidur sambil berharap pintu itu bisa kembali terbuka.Walaupun kelelahan, tetapi mereka bertujuh tidur dalam keadaan tidak tenang. Mereka seringkali terjaga, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bergantianMereka merasa bahwa ada kehadiran yang tidak terlihat di dalam ruangan itu. Suara-suara aneh bergema di sekitar mereka, seperti bisikan-bisikan yang tak terdengar jelas. Andin mulai berdoa dengan gemetar, berharap agar mereka bisa keluar dari situ dengan selamat.Menjelang dini hari, tidak satupun dari mereka yang bisa tertidur pulas. Karena tidak bisa tidur, mereka memilih untuk mengikuti langkah Andin membaca doa hingga pagi menjelang."Gaes, sepertinya matahari sudah cukup terang di luar. Bagaimana kalau kita coba lagi mencari jalan keluar dari sini, sekaligus mencari keberadaan Santi?" usul Alma."Aku setuju dengan usulmu, Al. Ayo, kita kerjakan sekarang."Mereka berenam pun bergegas membereskan barang- barang mereka dan bersiap mencari jalan keluar dari ruangan gelap tersebut. Baim, Aldi, Amar, dan Rusdi baru saja menyalakan senter ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.Tiba-tiba, pintu ruang bawah tanah itu terbuka dengan sendirinya, melihat hal itu gegas keenam remaja itu keluar dari ruang bawah tanah ke koridor yang gelap. Mereka tidak ingin menunggu lebih lama lagi dan segera berlari menuju pintu utama. Namun, ketika mencoba membuka pintu tersebut, mereka menyadari bahwa itu juga terkunci."Aargh, sial! Kenapa pintu ini tid
Namun, sayangnya hingga pertanyaan itu hilang ditelan bumi, tak ada satupun temannya yang berminat menjawab pertanyaan tersebut.Andin dan Alma menangis tersedu-sedu, mereka saling berpelukkan satu sama lain. Sementara, Amar, Rusdi dan Aldi saling menatap curiga satu sama lain."Kalian berdua kemarin berada di barisan paling belakang bersama Santi, 'kan? Jangan-jangan kalian yang telah membunuh Santi atau jangan-jangan, Aldi yang sudah melakukan hal itu," tuduh Rusdi pada Alma dan Aldi.Andin yang merasa kaget dengan ucapan Rusdi sontak melepaskan pelukannya dari Alma. Dengan tatapan takut, gadis itu berteriak histeris."Kalian berdua benar-benar kejam, tidak punya belas kasihan! Apa salah Santi pada kalian berdua sehingga kalian tega membunuhnya dengan cara menggantung tubuhnya setelah sebelumnya kalian menganiaya Santi terlebih dahulu!"Alma terhenyak mendengar tuduhan yang dilayangkan oleh Rusdi dan Andin. Dia betul-betul tidak menyangka jika kedua sahabatnya itu sampai hati menuduh
Sementara Baim dan Andin berhasil menghentikan perselisihan antara Amar dan Aldi, mereka segera memutuskan untuk fokus pada tugas yang lebih mendesak. Mereka bersama-sama memikirkan cara untuk menurunkan jasad Santi dari atas tempat yang misterius ini, sambil mempersiapkan segala yang diperlukan untuk memberinya penghormatan terakhir. Di dalam rumah nomor tiga belas yang gelap dan mencekam, misteri semakin dalam, dan ketegangan di antara mereka semakin memuncak."Kita harus secepatnya mencari tangga untuk menurunkan tubuh Santi, masalahnya dimana kita bisa menemukan barang itu?" tanya Baim, "apa kita harus kembali meneliti kembali semua ruangan di rumah ini, hanya untuk mencari sebuah tangga?""Entah, Im. Jika harus kembali ke memeriksa rumah ini, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Aku takut, Im," sahut Alma. "Lagipula rumah ini kelihatannya sudah sangat lama tidak ada penghuninya, barang-barang seperti tangga pasti sudah lapuk dimakan usia atau rayap.""Aku tau, Al. Tapi, masa iya
Mereka lalu mengeluarkan beberapa lembar kain tebal yang biasa mereka pakai untuk selimut untuk menutupi jasad Santi dan menyerahkannya kepada Amar. Usai menutupi jenazah salah satu teman karibnya, Amar pun kembali duduk di ruang tamu, tetapi tidak ada satupun suara keluar dari lisan mereka. Ketegangan masih terasa di udara, dan pertanyaan-pertanyaan misterius masih menghantui pikiran mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Dan mengapa Santi harus mati dengan cara yang mengerikan?Keenam sahabat itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sesekali mereka mengusap tengkuk dan kedua tangan mereka dikarenakan bulu kuduk mereka meremang. Di tengah suasana tegang tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh tak beraturan dari perut Amar. "Kamu lapar, Mar?" Rusdi yang duduk paling dekat dengan Andin, auto menanyai Amar tanpa berbasa-basi lagi. "Iya, Rus. Maaf, aku tinggal dulu semuanya. Aku mau mencari bahan makanan yang sukup jawaban untuk kita semua." Usai mengatakan h
Alma merasa cemas dan tidak bisa menenangkan dirinya. Dia terus berdoa dalam hati, memohon agar Amar kembali dengan selamat dari rumah yang misterius itu. Pikirannya terus melayang pada Santi yang telah kehilangan nyawanya di tempat ini, dan dia berharap tidak akan ada korban lain.Waktu terus berlalu, dan ketegangan di ruangan semakin terasa. Mereka semua duduk dalam keheningan yang gelap, hanya diselingi oleh suara-suara aneh dari luar rumah. Mereka tahu bahwa Amar adalah satu-satunya harapan mereka untuk mendapatkan makanan, tetapi kekhawatiran mereka semakin mendalam seiring berjalannya waktu.Andin, Rusdi, Baim, dan Aldi juga merasakan ketegangan yang sama. Mereka saling melemparkan pandangan yang penuh kekhawatiran, tetapi tak ada yang berani mengucapkan kata-kata. Mereka hanya bisa menunggu dan berharap bahwa Amar akan kembali dengan selamat, membawa berita bahwa mereka bisa keluar dari rumah itu dan melanjutkan rencana liburan mereka atau kembali ke rumah dengan membawa jenaza
Setelah beberapa lama berusaha, akhirnya, Amar berhasil mencongkel lemari besar itu. Dengan bernafsu, Amar membuka pintu itu, berharap mendapati beberapa bahan makanan yang bisa dibawanya dan dimakan bersama enam sahabat karibnya Namun, ternyata dugaannya salah, yang Amar dapati saat lemari itu berhasil dibuka adalah sepotong tangan kiri yang terlihat masih sangat segar seperti baru saja dipotong. Alih-alih berteriak meminta pertolongan, Amar malah mengamati potongan tangan yang bersimbah darah itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Potongan tangan ini...sepertinya aku kenal?" Amar bergumam sendiri sambil mengamati potongan tangan itu. Dengan rasa penasaean, pemuda itu mengambil lempengan besi yang tadi dipakainya untuk mencongkel pintu lemari, kemudian memutar potongan tangan tersebut. "Hei, cincin di jari kelingking ini kenapa mirip sekali dengan cincin yang kupakai, ya? Tapi, masa iya, cincinku itu ada yang menyamai, padahal kan itu pesanan khusus." Lagi-lagi Amar hanya menggumam
Dan, bersamaan dengan itu mata Amar terbelalak lebar, mulutnya memuntahkan banyak darah tanpa sempat bersuara, dan pada detik berikutnya warna hitam matanya sudah berganti putih dan kepalanya pun terkulai lemas tanpa daya. Sementara itu, enam sekawan yang terkejut mendengar suara tawa menakutkan dan petir yang bersahutan itu pun saling memeluk sambil menutup wajah dan mata mereka masing-masing. "Al, Ndin, i-itu tadi suara siapa? Kenapa begitu menakutkan, sampai sekarang aku masih merinding." Rusdi menanyai Alma yang terkenal paling sensitif dengan hal-hal gaib di antara mereka. Alma menggelengkan kepalanya karena dia sendiri tidak tahu sosok seperti apa yang tertawa begitu nyaring dan melengking menakutkan tadi. "Hih, kenapa aku berada di sini, di tempat laknat yang merenggut nyawa salah satu teman karibku!" Rusdi mulai kembali memaki karena kesalAndin tersentak mendengar kata-kata makian yang keluar dari mulut Rusdi, dan berteriak hingga mengagetkan teman-temannya yang lain. "A
Kekuatan itu semakin lama semakin terasa mempengaruhi emosi mereka. Andin yang sebelumnya sempat merasa kesal dengan tingkah Rusdi yang selalu berkata kasar pun tampak menatap Rusdi dengan tatapan marah. Andin menatap tajam Rusdi, "Rusdi, kata-katamu tadi terlalu kasar! Hilangnya Amar bukanlah salahku atau siapapun di sini."Rusdi menyadari kesalahannya, namun bertahan, "Kita butuh fakta, Andin. Jangan terlalu emosional. Siapa yang tahu ini bukan rencana tersembunyi dari salah satu dari kita?"Andin semakin kesal, "Ini tentang sahabat kita yang hilang, Rusdi! Jangan mencari-cari alasan. Kau pikir aku akan menyusun rencana untuk kehilangan teman?"Rusdi mencoba menenangkan suasana, "Andin, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi kita harus realistis. Amar tidak akan kembali dengan perdebatan. Kita harus fokus pada ritual ini."Andin mengangguk, tetapi ekspresinya tetap tegang. "Baik, tapi jangan sekali-kali meremehkan perasaan kami terhadap Amar. Kita perlu bekerja sama, tapi jangan sam