Sementara Baim dan Andin berhasil menghentikan perselisihan antara Amar dan Aldi, mereka segera memutuskan untuk fokus pada tugas yang lebih mendesak. Mereka bersama-sama memikirkan cara untuk menurunkan jasad Santi dari atas tempat yang misterius ini, sambil mempersiapkan segala yang diperlukan untuk memberinya penghormatan terakhir. Di dalam rumah nomor tiga belas yang gelap dan mencekam, misteri semakin dalam, dan ketegangan di antara mereka semakin memuncak."Kita harus secepatnya mencari tangga untuk menurunkan tubuh Santi, masalahnya dimana kita bisa menemukan barang itu?" tanya Baim, "apa kita harus kembali meneliti kembali semua ruangan di rumah ini, hanya untuk mencari sebuah tangga?""Entah, Im. Jika harus kembali ke memeriksa rumah ini, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Aku takut, Im," sahut Alma. "Lagipula rumah ini kelihatannya sudah sangat lama tidak ada penghuninya, barang-barang seperti tangga pasti sudah lapuk dimakan usia atau rayap.""Aku tau, Al. Tapi, masa iya
Mereka lalu mengeluarkan beberapa lembar kain tebal yang biasa mereka pakai untuk selimut untuk menutupi jasad Santi dan menyerahkannya kepada Amar. Usai menutupi jenazah salah satu teman karibnya, Amar pun kembali duduk di ruang tamu, tetapi tidak ada satupun suara keluar dari lisan mereka. Ketegangan masih terasa di udara, dan pertanyaan-pertanyaan misterius masih menghantui pikiran mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Dan mengapa Santi harus mati dengan cara yang mengerikan?Keenam sahabat itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sesekali mereka mengusap tengkuk dan kedua tangan mereka dikarenakan bulu kuduk mereka meremang. Di tengah suasana tegang tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh tak beraturan dari perut Amar. "Kamu lapar, Mar?" Rusdi yang duduk paling dekat dengan Andin, auto menanyai Amar tanpa berbasa-basi lagi. "Iya, Rus. Maaf, aku tinggal dulu semuanya. Aku mau mencari bahan makanan yang sukup jawaban untuk kita semua." Usai mengatakan h
Alma merasa cemas dan tidak bisa menenangkan dirinya. Dia terus berdoa dalam hati, memohon agar Amar kembali dengan selamat dari rumah yang misterius itu. Pikirannya terus melayang pada Santi yang telah kehilangan nyawanya di tempat ini, dan dia berharap tidak akan ada korban lain.Waktu terus berlalu, dan ketegangan di ruangan semakin terasa. Mereka semua duduk dalam keheningan yang gelap, hanya diselingi oleh suara-suara aneh dari luar rumah. Mereka tahu bahwa Amar adalah satu-satunya harapan mereka untuk mendapatkan makanan, tetapi kekhawatiran mereka semakin mendalam seiring berjalannya waktu.Andin, Rusdi, Baim, dan Aldi juga merasakan ketegangan yang sama. Mereka saling melemparkan pandangan yang penuh kekhawatiran, tetapi tak ada yang berani mengucapkan kata-kata. Mereka hanya bisa menunggu dan berharap bahwa Amar akan kembali dengan selamat, membawa berita bahwa mereka bisa keluar dari rumah itu dan melanjutkan rencana liburan mereka atau kembali ke rumah dengan membawa jenaza
Setelah beberapa lama berusaha, akhirnya, Amar berhasil mencongkel lemari besar itu. Dengan bernafsu, Amar membuka pintu itu, berharap mendapati beberapa bahan makanan yang bisa dibawanya dan dimakan bersama enam sahabat karibnya Namun, ternyata dugaannya salah, yang Amar dapati saat lemari itu berhasil dibuka adalah sepotong tangan kiri yang terlihat masih sangat segar seperti baru saja dipotong. Alih-alih berteriak meminta pertolongan, Amar malah mengamati potongan tangan yang bersimbah darah itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Potongan tangan ini...sepertinya aku kenal?" Amar bergumam sendiri sambil mengamati potongan tangan itu. Dengan rasa penasaean, pemuda itu mengambil lempengan besi yang tadi dipakainya untuk mencongkel pintu lemari, kemudian memutar potongan tangan tersebut. "Hei, cincin di jari kelingking ini kenapa mirip sekali dengan cincin yang kupakai, ya? Tapi, masa iya, cincinku itu ada yang menyamai, padahal kan itu pesanan khusus." Lagi-lagi Amar hanya menggumam
Dan, bersamaan dengan itu mata Amar terbelalak lebar, mulutnya memuntahkan banyak darah tanpa sempat bersuara, dan pada detik berikutnya warna hitam matanya sudah berganti putih dan kepalanya pun terkulai lemas tanpa daya. Sementara itu, enam sekawan yang terkejut mendengar suara tawa menakutkan dan petir yang bersahutan itu pun saling memeluk sambil menutup wajah dan mata mereka masing-masing. "Al, Ndin, i-itu tadi suara siapa? Kenapa begitu menakutkan, sampai sekarang aku masih merinding." Rusdi menanyai Alma yang terkenal paling sensitif dengan hal-hal gaib di antara mereka. Alma menggelengkan kepalanya karena dia sendiri tidak tahu sosok seperti apa yang tertawa begitu nyaring dan melengking menakutkan tadi. "Hih, kenapa aku berada di sini, di tempat laknat yang merenggut nyawa salah satu teman karibku!" Rusdi mulai kembali memaki karena kesalAndin tersentak mendengar kata-kata makian yang keluar dari mulut Rusdi, dan berteriak hingga mengagetkan teman-temannya yang lain. "A
Kekuatan itu semakin lama semakin terasa mempengaruhi emosi mereka. Andin yang sebelumnya sempat merasa kesal dengan tingkah Rusdi yang selalu berkata kasar pun tampak menatap Rusdi dengan tatapan marah. Andin menatap tajam Rusdi, "Rusdi, kata-katamu tadi terlalu kasar! Hilangnya Amar bukanlah salahku atau siapapun di sini."Rusdi menyadari kesalahannya, namun bertahan, "Kita butuh fakta, Andin. Jangan terlalu emosional. Siapa yang tahu ini bukan rencana tersembunyi dari salah satu dari kita?"Andin semakin kesal, "Ini tentang sahabat kita yang hilang, Rusdi! Jangan mencari-cari alasan. Kau pikir aku akan menyusun rencana untuk kehilangan teman?"Rusdi mencoba menenangkan suasana, "Andin, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi kita harus realistis. Amar tidak akan kembali dengan perdebatan. Kita harus fokus pada ritual ini."Andin mengangguk, tetapi ekspresinya tetap tegang. "Baik, tapi jangan sekali-kali meremehkan perasaan kami terhadap Amar. Kita perlu bekerja sama, tapi jangan sam
Tidak hanya Andin, Alma yang lebih sensitif dengan dunia tak kasat mata pun merasakan ketakutan yang sama bahkan jauh lebih besar daripada yang dirasakan Andin. Dia bisa merasakan ada sebuah entitas yang tengah mengawasi, menunggu mereka lengah dan akhirnya seperti nyamuk yang ditepuk keras dengan dua belah tangan.Mereka berlima benar-benar merasa kalut saat ini, sebab hingga saat ini keberadaan Amar masih belum mereka ketahui. Mereka berlima mencoba memanggil nama Amar berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Suasana gelap dan tegang menggelayut di sekeliling mereka, membuat mereka semakin bingung tentang nasib Amar yang misteriusDalam kegelapan yang semakin menyelimuti, mereka merasa seperti terperangkap dalam sebuah misteri yang semakin dalam. Keberadaan Amar yang masih tidak jelas membuat ketakutan mereka semakin tak tertahankan. Dalam hati, mereka berharap agar Amar segera ditemukan dengan selamat."Ndin, sepertinya lebih baik kita kembali lagi saja ke titik awal kita menunggu A
"E-entah, aku tidak melihat wujud sosok yang bicara itu," jawab Alma dengan suara gemetar menahan takutMendengar jawaban Alma, sontak membuat Andin dan Baim mundur ke belakang dan memilih untuk bersama Alma dan Aldi, sementara Rusdi tetap berdiri di depan memimpin rombongan. Suara gemerincing lampu hias masih terdengar, udara dingin meniup tengkuk mereka dan membuat bulu kuduk meremang. Suara celepuk menambah seram suasana. Di tengah rasa takut yang menguasai, tiba-tiba Baim merasa ada seseorang yang meniup telinganya. Baim yang merasa terganggu itu pun mengusap telinganya. Namun, tidak sampai lima menit telinga kembali seperti ditiup seseorang. "Ish, Aldi, coba, deh, kamu jangan usil," ketus Baim, wajahnya cemberut karena kesal. "Sudah tahu aku ini penakut masih saja menggangguku dengan meniup telingaku."Aldi menatap Baim dengan tatapan heran, lalu menjawab, "meniup telinga apaan? Aku sama sekali tidak mendekatimu, Im. Dari tadi aku berada di sini."Baim langsung menoleh ke arah