"Duh, Gusti. Tolong bantu kami supaya bisa menemukan teman kami Amar," batin Baim. Setelah beberapa lama berada dalam tekanan rasa takut, akhirnya gangguan-gangguan itu pun berhenti begitu saja, suasana kembali tenang meski masih mencekam. Untuk meyakinkan diri bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari makhluk-makhluk tak kasat mata, Andin, Alma, Aldi, Rusdi, dan Baim kembali melanjutkan pencarian. Di depan sebuah ruangan, Rusdi yang berjalan paling depan melihat ada sebuah kain yang tertinggal di paku yang ada di pintu. Dengan penuh rasa ingin tahu, Rusdi bergegas mendekati pintu itu dan mengambil sobekan kain yang terkait di sana. "Gaes, ini kain baju Amar, bukan, sih?" tanya Rusdi seraya menunjukkan sobekan kain di tangannya. Merasa penasaran dengan yang ditunjukkan oleh Rusdi keempat remaja itu menghampiri Rusdi dan mengambil sobekan kain yang dimaksud. "Iya, bener, Rus. Ini memang sobekan pakaian yang dipakai Amar, kenapa bisa sobek begini? Dan, ini...sepertinya ini adalah nod
"Sebaiknya kita cek saja ke dalam sana, siapa tau itu memang Amar. Seandainya benar sosok itu adalah Amar, semoga dia dalam keadaan baik-baik saja dan kita tidak terlambat menolongnya," kata Aldi. Mereka berlima pun akhirnya sepakat untuk mendatangi sosok manusia yang berada di tengah ruangan itu untuk mencari kepastian apakah sosok itu adalah Amar atau bukanDan, alangkah terkejutnya mereka berlima saat mendapati sosok itu adalah Amar yang duduk membelakangi mereka dengan tangan dan kakinya diikat erat menggunakan sebuah tali. Pemuda itu tampak menyandarkan kepalanya di tembok. "Gaes, ternyata sosok bayangan itu persis seperti yang kita pikirkan. Dia Amar, ayo, cepat kita tolong dia, semoga kita tidak terlambat," ucap Alma, suaranya terdengar panik sekaligus senang karena akhirnya berhasil menemukan Amar. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain berusaha melepaskan Amar. Namun, saat mereka mencoba melepaskan tali tersebut, terdengar tawa misterius dari dalam kegelapan lorong ters
Suara angin yang mengerikan terus berdesing di luar rumah, membuat suasana semakin menegangkan. Tiba-tiba, lampu-lampu di dalam rumah mulai berkedip-kedip dan mati satu per satu, menyisakan kegelapan total. Di tengah kegelapan, terdengar langkah-langkah perlahan mendekatRombongan remaja yang kini tersisa lima orang itu memasang telinga. Waspada dan takut, itu yang tengah mereka rasakan saat ini, apalagi setelah mereka menemukan jasad Amar dengan kondisi yang mengerikan Tubuh Alma, Andin, Aldi, Baim, dan Rusdi gemetar ketakutan, wajah-wajah yang biasanya ceria penuh suka dan canda berubah penuh kengerian, curiga, waspada, pucat pasi karena kurang tidur, dan harus mengurangi isi perut demi menghemat perbekalan yang mulai menipis. Srek-srek! Srek-srek! "Hihihi! Bukankah sudah kuperingatkan kalian supaya menjauh dari rumah ini, tapi kalian tidak menurutinya. Jadi, nikmati saja semua yang terjadi di rumah ini. Berusahalah agar kalian bisa keluar dari sini, tentunya dalam keadaan hidup,
"Al, apa tidak ada tempat lain yang lebih terang gitu? Aku merasa begitu takut menyusuri rumah ini, apalagi setelah kematian Amar yang begitu mengerikan dengan perut terburai," kata Baim yang menempel erat di lengan kanan Aldi. "Ck, Im. Mana ada tempat seperti itu di rumah ini, seluruh ruangan tidak ada lampunya, senter pun sekarang kita harus bergantian supaya tidak habis dalam waktu bersamaan. Berdoa sajalah, Im, dan yakin kalau kita semua akan keluar dari sini dalam keadaan selamat dan hidup," jawab Alma"Iya, betul itu apa yang dikatakan Alma, Im. Sebaiknya kamu berpikiran positif saja, supaya makhluk itu tidak mudah mendekati kita, sepertinya dia datang saat mencium aroma ketakutan dari diri kita," sahut Aldi. Untuk meredakan rasa takut di hati, Baim menghela napasnya berulang kali. Bahkan tidak jarang dia menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa saat lamanya baru dihembuskannya secara perlahan. Melihat Baim, Alma dan Aldi pun memutuskan untuk mengikuti gerakan Baim. Alm
"Bau itu kenapa? Jangan bilang kalau kamu yang buang gas, Im!?" tegas Alma dan Aldi bersamaan. Baim mengangkat kepalanya, wajahnya terlihat memohon belas kasihan dari kedua kakak beradik itu hingga membuat keduanya mengerutkan dahi mereka karena curiga jika dugaan mereka benar adanya. Alma dan Aldi memasang tampang bengis di depan Baim, seakan ingin memotong-motong pemuda itu dan menjadikannya umpan untuk makhluk yang tidak kasat mata di rumah itu Melihat kemarahan di wajah keduanya, Baim langsung memasang wajah memelas dengan puppy eyes yang cukup menghipnotis Alma dan Aldi. "Eheee, begitulah adanya, Al. Maaf, padahal tadi sudah berusaha kutahan sebegitu rupa, tapi rupanya kelepasan. Mungkin karena perut ini berisi banyak angin makanya dia jadi menggembung dan akhirnya... ." Kembali kalimat Baim terpotong oleh sebuah suara yang cukup menggetarkan kalbu siapa pun yang mendengarnya."Tuuuuut, broooooottt!""Baaiiiiiiiiimmmm!"Teriakan Alma dan Aldi sontak memenuhi dan menggema di
Aldi menatap pilu Alma dan Baim yang masih bercanda, seakan tidak pernah ada kejadian menyedihkan dan mengerikan di dalam hidup mereka. Namun, Aldi pun tidak bisa menyalahkan mereka berdua. Pemuda itu paham jika keduanya pasti juga merasa frustrasi sehingga memerlukan sedikit jokes untuk menyegarkan otak dan suasana. Sementara itu, Alma dan Baim yang masih bercanda riang langsung berhenti tatkala melihat ekspresi wajah Aldi yang murung. "Ada apa, Al?" tanya Alma dan Baim berbarengan. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang teringat masa-masa dimana Amar dan Santi masih hidup. Kita bercanda ria bersama, tak ada satu pun yang merasa tersinggung meski candaan kita melewati batas. Tidak seperti saat ini dimana semuanya terasa begitu mengerikan dan menekan isi kepala," keluh Aldi dengan nada lirih. "Maafkan kami, Al, jika tingkah kami berdua keterlaluan," ucap Baim seraya meletakkan tangannya di bahu Aldi. Aldi menggeleng dan mengatakan bahwa dia tidak pernah tersinggung dengan candaan
Aldi, Baim, dan Alma saling berpelukan. Mereka berusaha saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Mereka bertekad untuk menghadapi teror apa pun yang ada di dalam rumah megah ini, harus keluar dalam keadaan selamat dan hidup. "Kita tidak akan menyerah begitu saja. Santi dan Amar akan selalu bersama kita dalam semangat kita untuk bertahan hidup," tegas Aldi. Alma mengangguk setuju dengan ucapan Aldi, saudara kembarnya. "Kita harus tetap tenang dan berpikir jernih. Mereka pasti ingin kita selamat," sahut gadis itu sambil mengusap air matanya. ketiga sahabat tersebut menjelajahi setiap sudut rumah yang penuh misteri. Mereka berusaha untuk tetap tenang dan berpikir jernih, seperti yang Santi dan Amar pasti ingin mereka lakukan."Kita harus hati-hati dan waspada, tetap bersatu. Jangan sampai terpisah karena ego kita," kata Baim mengingatkan"Kamu benar, Im. Kita tidak boleh membiarkan apapun memisahkan kita, kita harus tetap hidup agar bisa keluar dari sini. Semoga Andin dan Rusdi
Aldi, Alma, dan Baim berusaha untuk perlahan-lahan mundur dari sosok-sosok bayangan yang mencekam itu. Namun, mereka tetap merasa terjebak dalam situasi yang sangat menakutkan.Masih berjalan mundur dengan hati-hati, mereka berharap untuk menghindari konfrontasi apapun dengan sosok-sosok misterius ini. Ketegangan dalam ruangan semakin intens, dan keberanian mereka diuji dalam kegelapan yang mengancam."Al, sampai kapan kita harus berjalan mundur seperti ini?" bisik Baim, lututnya sudah gemetar karena ketakutan. "Sst! Mending kamu diam, Im. Aku juga tidak tahu sampai kapan kita harus begini. Tapi, kita juga tidak mungkin berjalan membelakangi mereka, sebab kita harus tetap waspada dengan para makhluk tak kasat mata itu. Kamu paham, 'kan, Im," jawab Alma yang juga ikut berbisik."Hh, ya, baiklah. Aku paham, Al," desah Baim sambil menghela napasnya dalam-dalam.Dalam kehati-hatian, mereka bertiga terus melangkah menjauhi para makhluk tak kasat mata yang masih terus bergerakSosok-sosok