"Mommy, lihat! Mainan itu cantik-cantik!" Silla berlari ke rak yang memajang beragam mainan. Tangannya berpindah dari satu mainan ke mainan lainnya. "Wah, boneka barbie-nya cantik." Silla bergeser ke sisi yang lain. "Yang ini juga." Silla gemas sendiri melihat ada begitu banyak mainan yang sesuai dengan seleranya. "Mommy, beli ini ya?" Silla mengambil boneka barbie paket lengkap. "Ini lagi. Ini juga!" Arisha geleng-geleng kepala melihat lengan mungil Silla telah dijejali dengan begitu banyak mainan. Pelan-pelan Arisha mengambil alih mainan itu dari tangan Silla dan menaruh kembali ke tempat semula. Silla tercengang. "Yaaa … Mommy … kok dibalikin sih mainannya?" "Sayang, tidak baik mengambil terlalu banyak. Silla boleh beli, tapi pilih satu yang paling Silla suka. Yang lain, mungkin nanti kalau memang sudah waktunya mainan Silla untuk diganti." "Mommy …." Silla mulai merengek. "Oke. Dua. Tidak ada lagi tawar-menawar. Kalau Silla mau, ambil! Kalau tidak, kita pulang!" Toko mai
Bugh! Arisha menghantam Alfian dengan siku. "Akh! Sialan! Kau berani main kasar sekarang, Arisha!" Alfian meringis. Hantaman siku Arisha bersarang tepat di ulu hatinya. Arisha berbalik. Jika dia tak bisa membuka pintu, maka dia harus berhadapan dengan Alfian. Mungkin memang sudah saatnya dia mempraktikkan ilmu bela diri yang diajarkan oleh Rasyad. Alfian tegak lurus setelah nyerinya agak berkurang. Ia menyeringai. "Rupanya kau memiliki banyak kemajuan setelah tinggal di kota, Arisha. Aku suka itu. Ayo bersenang-senang!" "Pecundang! Beraninya melawan wanita," ejek Arisha seraya meludah ke lantai. "Aku semakin membencimu, Alfian!" "Ssst! Jangan bilang benci, Arisha! Aku tidak suka itu. Sampai kapan pun, kau hanya boleh mencintaiku." Alfian merentangkan tangan. "Kemarilah! Aku sangat merindukan pelukanmu." Arisha memasang kuda-kuda. Sepertinya otak Alfian tak lagi bekerja dengan baik. "Kau tak mau?" Alfian meneleng. "Ah, kau mungkin malu. Baiklah, biar aku yang mendatangimu." A
"Apa kamu masih belum ingin bercerita?" Dareen mendongak setelah ruam merah yang melingkari pergelangan kaki Arisha mulai terlihat memudar. Arisha tetap bungkam. Dia tidak mungkin menceritakan bahwa dirinya nyaris menjadi korban kebiadaban Alfian. Belum tentu Dareen akan percaya pada ceritanya. Bisa jadi juga lelaki itu akan berpikiran buruk tentang dirinya. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa." Dareen menyerah. "Mulai sekarang, belajarlah untuk lebih hati-hati dan menjaga diri dengan baik!" Dareen memberi waktu kepada Arisha untuk menenangkan diri. Dia sungguh tak menyangka bahwa dia akan melakukan hal konyol karena seorang gadis. Ingatannya menapak tilas kejadian di mall. "Silla? Kenapa dia sama sopir?" Dareen urung membuka pintu mobilnya kala melihat sosok Silla berdiri menatap pintu masuk mall, hanya ditemani oleh sang sopir. Dareen mendekat. "Sayang, kok belum pulang?" "Daddy! Daddy juga di sini?" Wajah Silla berbinar cerah melihat kemunculan Dareen. "Iya. Kebetulan daddy ada
"Tidak ada kebaikan yang dibawanya setiap kali wanita ular itu datang. Dareen, sebaiknya kau waspada. Oma tidak mau kejadian yang menimpa ayahmu juga terjadi padamu. "Wanita itu gila. Dia bisa melakukan apa saja untuk menyingkirkan Arisha dari rumah ini, seperti dia menyingkirkan ibumu." Perasaan Nyonya Hart terhadap Arisha benar-benar telah berubah. Semakin lama bergaul dengan Arisha, kasih sayangnya pada gadis itu kian tumbuh subur. Arisha sosok yang santun dan keibuan. Terbukti Silla sangat dekat dengannya. Nyonya Hart ingin menebus kesalahannya di masa lalu pada mendiang ibu Silla melalui Arisha. Dareen memperhatikan Nyonya Hart menikmati secangkir teh hijau dengan pikiran yang tak jauh berbeda. Ruang tengah itu hening untuk sesaat. Nyonya Hart menaruh cangkir tehnya ke atas meja. "Apa … rencanamu ke depan bersama Arisha?" "Bukankah Oma tak menyukainya? Sama seperti ibu Silla dulu?" Dareen berkata datar. "Jadi, masa depan seperti apa yang Oma harapkan antara aku dan Arisha?
Semilir angin malam berhenti berputar. Binatang malam pun tak lagi bernyanyi. Menyisakan kehampaan yang sunyi dan mencekam, dengan kegelapan tanpa pendar rembulan.Dareen menumpukan tangan pada pagar pembatas balkon. Kepalanya tertunduk, seakan terasa sangat berat, dipenuhi beban pikiran.Paak!Tiba-tiba ia memukul pagar pembatas itu dengan penuh emosi."Ini tidak bisa dibiarkan!"Dareen mengangkat wajah, melempar pandang pada kegelapan yang kian kelam. Tatapan tajamnya menembus pekatnya malam dengan kobaran api dendam.Penggalan obrolannya dengan Nyonya Hart menjadi minyak yang membuat nyala api itu kian membesar."Dareen, oma merasakan firasat yang tidak baik tentang Arisha. Gadis itu … mungkin dalam bahaya. Lindungi dia!"Oma gagal melindungi ibu dan adikmu, dan oma sangat menyesal. Oma harap kau tidak melakukan kesalahan yang sama seperti oma."Setiap kata yang diucapkan oleh sang nenek terus terngiang-ngiang di telinga Dareen.'Aku juga pernah gagal menyelamatkan kedua orang tua
"Tante, kapan aku tinggal di rumah, Kak Dareen? Masa aku nginap di hotel terus? Lama-lama habis nanti tabunganku?" Davina cemberut, kesal melihat isi rekeningnya mulai menipis."Sabar, Davina! Dareen itu keras kepala, sama seperti ibunya. Kita harus bisa bermain cantik. Kalau kamu berhasil menggaetnya, semua uangmu yang hilang ini akan balik berkali-kali lipat," bujuk Nyonya Rosalind.Davina adalah ujung tombaknya untuk mencapai tujuannya. Jika gadis itu menyerah, rencana yang telah disusunnya selama bertahun-tahun akan terancam gagal."Lagian nih ya … kenapa Tante nggak tendang langsung saja Kak Dareen dari perusahaannya, terus ambil alih. Kenapa harus nunggu aku nikah dulu dengannya? Aku capek diabaikan terus, Tante …."Davina memang jatuh cinta pada Dareen, makanya ia setuju untuk bekerja sama dengan Nyonya Rosalind. Akan tetapi, jika perasaan cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan, sungguh sangat menyiksa. Terbelenggu dalam penantian panjang dengan tanpa kepastian sangat melelahk
"Enak ya, sebentar masuk sebentar cuti. Kayak perusahaan ini milik sendiri!"Sindiran bernada pedas menusuk gendang telinga Arisha begitu kembali ke kantin, setelah dua hari tak masuk kerja."Kita yang repot, dia enak-enakan makan gaji buta!"Arisha mengabaikan bisik-bisik berhawa panas itu dan langsung fokus pada pekerjaan.Kesal lantaran merasa diabaikan, salah satu dari tiga koki yang sejak awal memang tak menyukai Arisha segera mendekat."Heh, kamu budek ya?" Perempuan itu menarik kasar sebelah pundak Arisha. "Kamu cuma numpang di kantin ini, jangan bersikap sok berkuasa, seolah-olah kamulah pemiliknya."Kalau memang restoran tempat kamu bekerja tidak mampu menyediakan tempat, putuskan saja kerja samanya! Jangan kami yang dijadikan budak!"Arisha diam saja. Menyimak curahan hati sang koki yang merasa tersaingi. Walau ia juga jengkel dengan sikap tidak bersahabat karyawan Dareen, Arisha cukup sadar diri untuk terus memeluk sabar agar tak lepas kontrol."Sudahlah, Mbak! Percuma bica
"Aaaah, Chef Tyas!" Koki wanita yang baru tiba tersebut melesat dan langsung menubruk Arisha, mendekapnya dengan sangat erat. "Akhirnya saya menemukan Anda, Chef. Saya senang sekali!" Arisha megap-megap. Pasokan oksigen di dadanya semakin menipis karena tergencet dekapan wanita itu. "L–lepas! A–aku tidak bisa bernapas." Arisha menepuk-nepuk lengan koki yang memagutnya. "Aduh! Maaf, maaf! Saya terlalu bersemangat." Koki wanita itu melepaskan pelukannya dan menapak mundur. "Apa sekarang Anda baik-baik saja?" Wanita itu merasa bersalah. Arisha menghela napas dalam-dalam. Memasok ulang persediaan oksigen ke dalam paru-parunya. Setelah merasa lebih baik, Arisha bertanya, "Apa kita … pernah bertemu sebelumnya?" Arisha tak menemukan arsip wajah wanita itu dalam memori otaknya. Entah mereka memang belum pernah bertemu atau ingatannya yang terlalu buruk. Air muka wanita itu berubah keruh. "Ah, saya bukan siapa-siapa. Tentu saja Anda tidak akan pernah mengingat orang seperti saya." Ari