“Aku tak tahu bagaimana kau menghadapi dua putra Mama, Fa. Selama ini Mama cukup pusing saat mengahadapi keduanya,” ujar Nazilla.
Sedangkan Farrin, ia hanya tersenyum menanggapinya. Tak mungkin, kan, ia mengatakan dengan gamblang jika ia juga jengah dengan kelakuan keduanya, terutama pada Avan? Hey! Ia tak mau menyakiti hati seorang ibu karena tingkah putra-putranya.
“Fa, kamu jangan sungkan, ya. Anggap Mama ini ibu kamu juga. Kamu anak Mama dan sudah menjadi bagian dari keluarga kami. kamu juga bisa mengadu sama Mama jika salah satu dari si kembar menyakitimu. Entah itu hati atau fisikmu, ya.”
Hati Farrin menghangat saat Nazilla mengatakan hal itu. jujur saja, sedari kecil ia tak begitu akrab dengan ibunya. Ibunya seolah menjaga jarak dan enggan mendengar keluh kesah yang ia pendam. Sejak dulu, ibunya hanya mengerti jika ia hanya boleh mendengarkan perkataan ibunya, bukan menceritakan apa yang ia rasakan.
“Mama tenang
Mengapa jadi begini? Bukankah sebelum ini Avan telah menyetujui jika Vian menggantikan posisinya sebagai sami Farrin? Ia bahkan rela menyerahkan baju dan tempatnya saat di altar. Mengapa kali ini ia menuntut kembali atas ikatan mereka sebelum ini?“Hentikan, Van. Kita sudah tak bisa melakukan hal ini lagi. Aku sudah bersuami dan kau sudah menjadi adik iparku,” lirih Farrin. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata dan membuat pandangannya membuaram.“Kau memang sudah menjadi kakak iparku. Tapi jangan lupakan, Fa. Aku masih mencintaimu!” tukas Avan. Sisi lain dalam jiwanya memberontak dan mnginginkan Farrin lebih dari biasanya. Entahlah. Telah banyak waktu yang ia lalui bersama Farrin. Telah banyak masa yang mereka lalui bersama, dan banyak pula harapan yang ia impi untuk bersama dengan Farrin.Avan ingat semua yang impikan. Salah satunya adalah masakan Farrin yang menemaninya tiap pagi, senyum menawan yang ia lihat ketika membuka mata, d
“Jadi, kalian sedang bertengkar? Pertengkaran pengantin baru, huh?” tanya Rizuki. Ia merasa heran karena Avan dan Farrin terlihat tidak membuka percakapan sama sekali. “Pertengkaran pengantin baru apanya?!” hardik Avan. Ia tersinggung dengan ucapan Rizuki karena ia sama sekali tak merasakan hal itu. Sedangkan yang dihardik, hanya bisa tersenym tipis. Rizuki mengambil tempat di kursi belakang karena ia tak ingin mengganggu pasangan yang tengah dimabuk cinta dan belum genap seminggu meresmikan status yang sah. Juga, ia lebih leluasa membawa koper yang berukuran sedang itu dan tidak perlu susah payah membuka bagasi. Setidaknya, begitulah pikir Rizuki. Tidak tahu jika keduanya gagal menikah dan yang sebelumnya menjadi calon istri, kini menjadi adik ipar. Sejak awal, tak ada yang mengabari Rizuki bahwa pernikahan mereka berubah haluan. “Ya kalian menggunakan muka masam saat bertemu denganku. Kenapa, Van? Apakah aku mengganggu waktu kencan kalian deng
Setelah mengantar Rizuki ke apartmennya, mereka berdua kembali menapaki jalanan beraspal. Farrin yang tak tahu akan ke mana ia dibawa hanya bisa diam. Menghadapi Avan dalam keadaan seperti ini bisa saja membuat segalanya menjadi semakin runyam. “Rizuki itu pribadi yang menyenangkan, ya?” tanya Farrin. Ia mencoba memberanikan diri membuka percakapan dan memilih topik yang tidak terlalu sensitive. “Tidak! Dia orang yang sangat menyebalkan,” jawab Avan. Selama ini Avan tidak pernah memiliki pandangan yang baik terhadap wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretarisnya itu. “Tapi yang kulihat tidak seperti itu, Van.” “Itu karena kau sejenis dengannya jadi ia memperlakukanmu baik.” “Karena itu, dia baik, ya?” Baiklah, Avan mulai mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Pasti Farrin menyangka jika Rizuki baik dalam artian kepadanya. “Kau itu buta, ya? Tidak lihat dia selalu menindasku?” Farrin tersenyum. Menindas Avan?
Part 42“Fa, kau mau berkata jujur padaku, tidak?” tanya Avan setelah mereka meyelesaikan beberapa wahana permainan. Farrin mengangguk saja. Ia sedikit lelah, tetapi terlihat begitu bahagia karena menikmati waktu yang sangat jarang ia nikmati.“Sejauh mana perasaanmu padaku, Fa? Kumohon, jawablah dengan jujur.”Sejenak Farrin menimbang pertanyaan yang Avan ajukan padanya. Farrin tahu, ia tak dapat menyembunyikan apa pun dari Avan. Semua yang ia sembunyikan bisa saja terkuak dengan mudah oleh perintah otoriter dari Avan.“Aku menyayangimu seperti dulu, Van. Tidak ada yang berubah. Hanya status kita saja yang berubah. Kini aku adalah adik iparmu,” ujar Farrin. Ia tahu jika mengelak akan percuma. Yang bisa ia lakukan hanya mengikuti alur yang dibuat oleh Avan.“Jadi sedari dulu kau tidak pernah mencintaiku? Hanya menyayangiku, begitu?”Farrin terdiam tak menjawab karena sejujurnya, perasaan yang i
Avan memang sudah gila dengan segala pemikirannya.Farrin harus mengakui itu atau ia bisa kehilangan kewarasan karena bujuk rayu Avan. Tak Farrin pungkiri sama sekali jika ia bisa mnrasakan dirinya luluh karena sikap pemuda itu yang lebih baik setelah ia menikah. Jika saja hal ini terjadi beberapa hari sebelum ia menikah, mungkin ia bisa mempertimbangkannya.Kejam sekali.Bagaimana bisa hati yang awalnya begitu keras dengan sebuah pilihan kini bisa melunak dengan sebegini mudahnya?“Van, aku pernah berjanji jika aku hanya menginginkan satu kali pernikahan untuk seumur hidupku. Jadi, mustahil jika kita bersama.”“Bahkan jika aku telah berusaha keras sekali pun?”“Ya!”Jawaban mantap dari Farrin membuat Avan terhenyak di posisinya. Bertahun-tahun menghadapi Farrin dan kekeraskepalaannya sepertinya sama sekali tak membuat Avan mengerti. Ia selalu mengatakan hal yang hampir sama untuk berulang kali. Ber
Part 44“Aku berusaha keras bekerja di kantor dan menangani Mama yang mengamuk, lalu kau seenaknya mengubah tatanan rumahku dan menggoda istriku. Di mana otakmu, Van!” bentak Vian. Ia sudah tak bisa lagi membendung amarahnya saat melihat Avan yang dengan seenaknya tengah berbaring di ruang keluarga sambil menonton film kesukaanya. Rasa lelah setelah seharian bekerja dan mendapat pelototan tajam serta amarah ibunya semakin memuncak melihat si pelaku yag kini sedang menikmati waktu santai.Seolah tidak ada hal besar yang telah ia perbuat karena kepergiannya yang seenaknya sendiri itu.“Vi, kau hanya menangani Mama dan berkas sepele itu. tak usah dibesar-besarkan.”Mungkin bagi Avan berkas yang Vian kerjakan adalah berkas sepele yang bisa selesai dalam waktu beberapa jam, tidak seharian penuh seperti Vian. Namun,tetap saja untuk Vian yang baru pertama kali menangani sebegitu banyaknya, hal itu merupakan hal besar. Ia menyadari jika di
Part 45“Sudah selesai?” suara Farirn mengagetkan lamunan Avan dan membuatnya hampir terjungkal di kursinya. Melihat hal itu, sontak Vian hanya bisa menahan tawanya saja. Ia bersyukur karena ia tidak sedang dalam kondisi memakan sesuatu. Karena jika itu terjadi, ia pasti akan tersendak.“Yah. Kau tak ingin mandi?” tanya Vian. Pertanyaan sepele yang sebenarnya bisa Vian tebak dari keadaan Farrin yang telah rapi itu. Namun, untuk sekedar basa-basi, tak apa ia melakukan hal itu. Terlihat bodoh di depan sang istri tak apa, bukan? Setidaknya lebih baik daripada tak ada yang bisa bicarakan sama sekali.“Aku sudah mandi. Biar Avan yang harus mandi sebelum makan malam kita mulai. Van, pergilah mandi!” perintah Farrin. Avan hanya bisa menurut saja karena aura Farrin saat mengintimidasi bukanlah hal baik untuk dinikmati terlalu lama.“Baju gantiku?” tanya Avan. Ia berharap Farrin akan mengantarnya dan menunjukkan baju
46“Sebenarnya, aku ke sini ingin mengajak kalian untuk bersama pulang ke kediaman Mama setelah makan malam,” ujar Avan.“Tapi kita sudah akan makan malam, Van,” balas Farrin. Tak enak rasanya jika mengabaikan makanan yang telah terhidang di meja. Apa lagi membuangnya. Untuk makan terlebih dahulu lalu ke rumah mertuanya, pasti membuat Farrin begah. Ia tak terbiasa makan malam terlalu banyak. Tak makan di sana pun, pasti membuat mertuanya kecewa.“Kita bisa makan. Nanti di sana hanya akan memakan kudapan ringan. Tenang saja, Fa. Mama sudah kuberitahu jika aku makan malam bersama kalian saat ini. Jadi, beliau hanya akan menyiapkan hal kecil saja nanti.”Vian dan Farrin merasa tak enak karena seolah menolak ajakan ibu mereka. Andai Avan mengatakannya lebih awal, pasti Farrin akan lebih memilih untuk tidak masak di sini dan membantu mertuanya saja di kediaman utama. Dalam hati, Vian merutuki ibunya yang tak mengatakan hal i