"Mau aku bantu untuk membakarnya?"
Apalah daya, dia selalu datang saat Kiana tidak memiliki pundak untuk bersandar. Kiana tidak bisa menyembunyikan perasaan yang kali ini lebih terluka. "Rael!" ucap Kiana, lirih. "Apa yang yang kau lakukan di sini? Bibirku kenapa?" tanya Kiana. Rael tersenyum tanpa menunjukkan seluruh wajahnya. Sampai detik ini, Kiana tidak tahu seperti apa wajah Rael jika ia menyibakkan rambutnya."Kenapa harus mempertanyakan keadaanku? Keadaanmu sendiri, bagaimana?" tanya Rael."Aku? Tentu baik-baik saja." Mau berusaha seperti apapun, Rael tidak akan bisa dibohongi. Ia bahkan bisa mendengar aliran darah yang mengalir pada setiap syaraf."Lukamu itu baru. Siapa yang memukulmu?" tanya Kiana. Setidaknya, ia ingin mendengar cerita orang lain sehingga ia bisa melupakan luka hatinya meski hanya sejenak.Tuan Don membuat semacam perjamuan kecil untuk menyambut lima pemimpin perusahaan. Ia membawa dua orang jenius yang akan sulit disingkirkan."Perjamuan semewah ini, Anda bilang perjamuan kecil. Sungguh luar biasa, Tuan," ucap Jordan."Terima kasih. Aku anggap itu sebagai pujian. Tapi, Jordan. Aku kecewa padamu," kata Tuan Don. Jordan mengerutkan keningnya. "Maaf, Tuan. Bisakah Anda mengulanginya? Saya khawatir kalau saya salah dengar," ucap Jordan.Prang! Jordan mendapatkan satu lemparan gelas yang terisi oleh red wine. Jordan menaikkan sebelah tangannya. Ia tidak mengizinkan pemimpin lainnya ikut campur."Apa ini sikap Anda, Tuan?" ujar Jordan. Ia tidak mempermasalahkan pelipisnya yang berdarah dan pakaiannya yang ternoda. "Anda mencoreng wajah saya dihadapan pada tamu lain. Apa Anda juga siap untuk menerima rasa malu?" sambungnya."Kau pikir, siapa dirimu
Tinggal dalam satu atap, membuat Kiana lebih sulit untuk melupakan setiap kejadian yang mengingatkannya pada kenangan manis yang berujung pahit. Namun, mansion begitu besar yang bisa menampung ribuan orang, memberikan keuntungan tersendiri untuk Kiana. Kiana hanya perlu menghindari mereka yang tidak ingin ia temui saat jam makan bersama. Kiana juga harus melewati jalan yang bisa membuatnya bertemu dengan mereka berdua. Menghindar adalah rencana tapi bagaimana jika Zea sendiri yang mendatangi Kiana? Pagi hari yang begitu cerah, Kiana memetik mawar yang sedang merekah. Mawar merah yang durinya membuat jarinya tertusuk karena sangat tajam.“Akh!” pekik Kiana.“Pakai saja sapu tangan milikku.”&n
Agnes memasang ekspresi bingung pada wajahnya. Ia diam dan menurut ketika Arta memakaikan jaket padanya. Padahal sudah jelas-jelas mereka akan pergi berkencan tapi Arta malah menutupi dress cantik yang sudah Agnes pilih. Di dalam bag berwarna biru, Arta mengeluarkan sepatu dengan ukuran kaki Agnes. Agnes tiba-tiba saja menjadi kesal dan suasana hatinya menjadi buruk. Akan tetapi, Arta berjongkok dan mengganti heels yang Agnes pakai dengan sepatu yang sudah ia beli. “Kencan-kencan kita selama ini terlalu monoton. Aku akan memberikan kesan yang baru,” ucap Arta sembari menengadah ke atas. “Kau cantik. Setiap hari, setiap saat, kau terus saja terlihat cantik. Bagiku, tanpa kau menyempurnakan penamp
Zavier sedang merencanakan untuk membuat kencan yang berkesan. Ia membutuhkan wanita lain yang lebih tahu untuk membantunya. Zavier tidak bisa meminta bantuan Kiana. Ia lebih memilih untuk meminta bantuan seniornya. “Akhirnya semuanya selesai,” ucap Zavier. Ia merasa lega. “Kak, terima ini. Ini bayaran karena Kakak sudah membantuku,” lanjutnya. “Aku tidak menerima bayaran uang.” Zavier sedikit bingung mengartikannya. “Lalu apa?” tanya Zavier. Ia tidak ingin tersesat karena menebak-nebak. Lebih baik langsung menanyakannya dengan jelas. Senior tersebut menarik kerah kemeja Zavier dan m
Kiana memiliki firasat buruk. Namun, ia sudah berjanji dengan Tuan muda kalau ia akan menerima undangannya. Entah itu untuk makan bersama atau untuk saling bertarung dan menunjukkan keunggulan diri. Kiana menggunakan motor untuk mempersingkat waktu. Akan tetapi, Tuan muda menghadang Kiana tepat di perempatan jalan utama. "Kenapa kau di sini? Bukankah kau mengajakku bertemu di tempat lain?" tanya Kiana sembari melepaskan helm. "Aku punya pilihan untukmu." Pilihan? Pikir Kiana. Kiana mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu rencana apa yang sedang Tuan muda rencanakan. Ia yang menganggap Tuan muda sebagai lawan, perlahan bersikap netral. Namun malam ini, sepertinya anggapan itu akan kembali seperti semula. "Apa maksudmu?" tanya Kiana. Kiana turun dari atas motor. Ia ingin bicara lebih dekat. Hah... &
Tuan Dogam kembali memanggil Renza karena waktu untuk melatih diri sudah tiba. Namun, Renza memenuhi panggilan bukan untuk berlatih, melainkan untuk menuntut penjelasan. Benar. Renza tidak akan membatalkan keputusannya untuk berlatih sangat keras demi melampaui Kiana. Namun, ia tidak setuju dengan cara Tuan Dogam yang menipunya. Renza datang dengan amarah yang tidak padam dalam dirinya. Amarah yang harus ia lampiaskan pada objek yang seharusnya. Luka di tubuh Renza sudah sembuh. Luka di tubuh Tuan Dogam juga sama. Jika mereka bertarung dalam kondisi keduanya prima, mungkin saja akan ada yang mati diantara mereka.“Akhirnya kau datang. Aku kira kau kabur seperti pecundang,” kata Tuan Dogam. Ia yang sedang memahat sebatang kayu, tahu kehadiran Renza meski tanpa menol
"Karena aku percaya padamu."Brak! Tuan Dogam menutup pintu dengan kasar. Renza hanya bisa mengepalkan tangannya sembari menggerutu."Percaya? Percaya apanya? Sialan!" Tidak ada yang bisa Renza pikirkan saat ini. Ia hanya perlu memulihkan kondisi tubuhnya dan berpikir cermat untuk kabur dari sana."Aku jadi seperti anjing yang ditelanjangi. Bangsat!" hardik Renza. Renza yang tidak mengenakan apa-apa, merasa geli. Untuk pertama kalinya ia berlatih tanpa sehelai pakaian yang melekat bahkan miliknya terpampang nyata. Satu hari telah berlalu. Tuan Dogam hanya mengirim seseorang untuk mengantarkan segelas air putih dan juga semangkuk bubur. Makanan dan minuman tersebut, sama sekali tidak mengenyangkan perut Renza.
Jordan hanya berhadapan dengan seseorang yang seumuran dengannya. Namun, ia merasa terintimidasi dan juga tertekan. Auranya begitu mencekik. Padahal, belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Darah Jordan terasa seperti mendidih. Bibirnya menyeringai persis seperti psychopath yang akan memulai aksinya."Apa yang sedang kau rencanakan?""Tuan, sebelum kita bicara, sepertinya saya harus memperjelas sesuatu terlebih dahulu. Saya bicara dengan Anda menggunakan identitas yang mana?" tanya Jordan."Terserah kau saja.""Tuan Rael si pecundang atau Tuan muda yang tidak terkalahkan?" tanya Jordan. Ia menyisir rambutnya ke belakang. "Saya belum terbiasa dengan penampilan Anda sebagai Tuan Rael tapi nada bicara seperti Tuan muda," sambungnya."Hm... Tidak penting identitas yang mana. Pembahasan kita jauh lebih penting," jawab Rael. Lima pemimpin anak per