Berbagai catatan kemajuan produk tidak bisa berhenti begitu saja di departemen ini. Bahkan Celine sampai mengikat rambutnya asal pertanda dirinya mulai lelah. Demi mengejar cuti selama dua hari, aku memaksa diri melewati malam di rumah dinas untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal yang ku kerjakan selama seminggu dipangkas menjadi beberapa semalam.Mataku mencoba tetap kuat menyelesaikan draf terakhir rekomendasi produk. Aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata mengenai tulang punggung yang mulai kram semenjak beberapa waktu terus berdiri."Pak Dirga tahu tentang ini, Bu?"tanya Celine membuatku menaruh telunjuk di atas bibir."Dia sudah terlalu banyak pekerjaan sebagai komandan untuk skuadron. Sekarang saatnya aku menunaikan tugas sebagai Ibu, Celine,"ucapku."Benar, Bu. Masalah ini harus segera mendapatkan titik temu. Oiya, Pak Dhito tampaknya merasa kaget setelah mendapatkan email beruntun,"ucap Celine membuatku terkekeh geli.Kisah percintaan ku dengannya sudah kandas sejak perbedaan la
Suasana malam di kota Jakarta tidak pernah usai dari keramaian seperti ramainya jalanan yang terlihat dari balik tebalnya kaca kamar hotel. Masalah Rania akan selesai sebentar lagi tanpa perlu membawa nama Dirga. Aku dengan diriku sendiri pun bisa menyelesaikan masalah tidak peduli latar belakang para perempuan itu. Perlahan ku langkahkan kaki melewati koridor hotel berjalan menuju lift. Rasanya benakku sudah tidak lagi bisa bersabar mendengar kalimat pembelaan dengan sedikit tekanan dan kedua alis menukik. Telinga ku mungkin akan sedikit pengar setelah ini. Ting Baru saja lift terbuka menampilkan wajah seorang pria yang sangat familiar bagi ku. Bibir ku terkatup erat tidak bisa berkata-kata melihat tatapan datar tanpa berusaha beranjak dari lift."Mas Dirga,"ucapku kaget bukan kepalang. Tanpa perlu menjawab, Dirga meraih kartu di tangan ku seraya menarik paksa menjauh dari lift. Pria itu menarik ku memasuki salah satu kamar hotel. Baru saja aku ingin mendengar kesaksian para pere
Nafas ku tidak berhenti berdegup kencang menatap pemandangan di bawah sana. Entah bagaimana dengan bodohnya tidak sempat mengatur tempat duduk dan berada tepat di sebelah jendela. Keringat dingin mengucur deras membasahi pelipis ku sejak setengah jam yang lalu. "Apa ada yang membuatmu cemas, Dek?"tanya Dirga membuatku mendongak seraya menggeleng.Sepertinya kalau menyatakan pada Dirga diriku takut duduk di dekat jendela pesawat terlalu memalukan. Pria itu bahkan terbiasa melakukan manuver di angkasa seorang diri tanpa gentar. Entah bagaimana cara ku untuk tetap diam dan tertidur tanpa berpikir tengah melawan ketakutan yang mendera."Bicaralah,"ucap Dirga menggenggam tangan ku."Saya takut duduk di dekat jendela, Mas,"ucapku lirih memalingkan wajah."Saya tidak bermaksud mempermalukan dengan tingkah kekanakan. Maaf, Mas. Saya baik-baik saja,"ucapku cepat sebelum bibirnya terbuka.Dirga menghela nafas pelan disertai dengan kekehan kecil. Pria itu mengusap kepala ku sembari menunjuk ke
Temaram lampu baca membuatku tidak berhenti membaca sebuah buku di atas nakas. Entah kemana perginya Dirga hingga sekarang belum kunjung masuk ke dalam kamar. Tidak mungkin aku meninggalkannya tidur lebih dahulu. Jenuh terus menerus menunggu, perlahan ku langkahkan kaki beranjak keluar.Canda tawa renyah yang terdengar dari depan televisi membuatku segera bergabung. Rupanya kedua insan itu tengah asyik menikmati sajian drama komedi di televisi. Dirga yang melihatku segera menarik lengan bergabung bersamanya. "Pasti televisimu hanya sebagai pajangan rumah ini saja, kan,"ucap Dirga membuatku mengangguk pelan."Kenapa tidak bilang mau menonton?"tanyaku mengambil biskuit di atas meja."Rania tadi ke kamar Bunda. Tapi sedang di kamar mandi. Jadi, Rania kembali lagi,"ucap Rania membuatku mengangguk mengerti.Mataku menatap drama komedi di televisi hanya bisa menghela nafas pelan. Apa yang lucu dari tontonan ini? Atau dalam hidup ini aku terlalu serius sampai tidak pernah mengalami hal kony
Tepukan lembut di bagian pipi membuat kedua mataku lantas terbuka. Dirga masih betah memelukku pagi ini. Bibirku tersungging melihat pemandangan yang selalu menjadi mimpi bagiku tersaji di depan mata. Biasanya antara aku dan dirinya bangun masing-masing sibuk mempersiapkan hari."Saya sudah meluangkan waktu untuk berjumpa. Apakah saya bisa mengajak bertemu di hari libur nasional di Madiun?"tanya Dirga mengemukakan kembali idenya semalam.Pria itu ingin mengadakan perjumpaan keluarga untuk menghibur ku. Tapi bagiku pertemuan itu bukan hanya sebuah momen formalitas. Sejak menikah, aku belum pernah berbakti pada kedua mertua dan hanya saat itulah bisa bertemu Rania lagi. Aku dan Dirga akhirnya sepakat memberitahu Rania informasi itu tanpa perantara orang lain.Fakta memang lebih menyakitkan dari khayalan. Tetapi semua hal itu akan lebih baik dinyatakan sejak awal sebelum Rania beranjak dewasa. Perubahan emosional anak-anak ketika mendapati sesuatu yang mengerikan seperti itu bisa memicu
Kopi hitam di atas meja entah berapa kali sudah diganti menunjukkan betapa sulitnya problematik yang tengah dijalani. Pasca kebocoran pipa dan membutuhkan waktu lama untuk melakukan maintenance, Altezza memutuskan untuk menggunakan suplai energi sementara dari perusahaan utilitas sekitar.Tingginya kadar deposit yang terkandung pada pipa sudah membuktikan perlunya regenerasi unit demineralisasi. Sepertinya itu pun bukan kesalahan dari para operator. Melainkan kondisi alam yang semakin ekstrem memberikan perubahan dari waktu ke waktu. Alat yang dibuat manusia tidak akan mampu menangkal aktivitas itu."Izin menanggapi sekaligus bertanya. Apakah normal jika ada resin yang terlarut didalam pipa? Maksudnya kita tahu bersama seharusnya resin itu tidak terlarut kesana,"ucapku melihat hasil analisa laboratorium."Kebocoran demineralisasi. Sepertinya unit dengan kode 312-DA itu perlu diganti Pak Altezza. Mengingat beberapa waktu sebelumnya terdapat laporan serupa,"ucap beberapa suara menanggap
Gemericik air yang terdengar cukup riuh dari luar kamar membuatku bangkit. Perlahan ku hela nafas panjang menatap seisi kamar yang sudah lama tidak pernah ditempati. Setelah Anisa mendatangi ku siang ini, dia memaksa membawa pulang ke rumah. Padahal besok aku pun harus kembali bekerja. Pintu kamar ku terbuka menampilkan sosoknya dengan perut buncit segera menutup pintu rapat. Tidak lama lagi aku akan mendapatkan seorang keponakan baru. Perempuan itu menatapku lekat seolah sedang berusaha memberikan pengertian. Sebenarnya aku pun tidak mengerti mengapa dirinya memaksa ku pulang. Di rumah ini semuanya baik-baik saja."Apa kamu tahu beberapa hari kemarin ada perempuan yang mengaku ibu kandung Rania datang kemari. Beruntungnya Rania masih ditempatmu dan Ibu sudah berusaha menghubungimu sebelumnya. Sepertinya kamu sedang sibuk dan begitulah alasan mengapa aku dan Mas Dyo membawamu pulang,"ucap Anisa membuatku menghela nafas panjang."Hilang satu masalah muncul masalah lain. Perempuan itu
Denting jam dinding ku sudah menunjukkan memasuki pertengahan malam. Selepas perbincangan hangat seperti biasa, aku merasa semakin ingin mempertahankan janin di rahim ku. Lagipula aku pun tidak punya alasan untuk menggugurkan bayi tidak bersalah itu. Seharusnya aku berpikir dahulu setiap bertindak dan semuanya kini sudah terjadi.Tidak ada yang perlu disesali.Aku tidak hamil diluar pernikahan dan suami ku bukanlah suami orang lain. Tetapi didikan terhadap janin ku harus dimulai sejak dirinya masih dalam kandungan. Memikirkan itu kembali menimbulkan rasa kasihan dan enggan mengandung. Aku berada dalam rasa yang dipenuhi dilema. Perasaan baru ada sebuah janin yang tumbuh masih menimbulkan kekhawatiran tersendiri.Bahaya paparan bahan kimia yang mengancam janin ku selama masih bekerja di Pupuk Anumerta menjadi polemik baru. Aku tidak punya pilihan lagi selain harus menerima tawaran Ardhito berpindah ke Pupuk Indonesia. Sekalipun beban pekerjaan ku semakin besar, aku pikir inilah saatnya