"Astaga! Kita di sini khawatir banget, ternyata dia tidur mangap gitu?" gumam Arvan dalam hati.
Kekhawatiran mereka sirna sudah ketika melihat Diana yang mengurung diri di kamar mandi justru tertidur. Duduk di atas closet dengan kepala bersandar tembok. Sedikit menengadah hingga mulutnya terbuka.
"Diana!" bentak Pak Roni dengan keras dan mengagetkan.
Diana membuka matanya. Menggeliat dan menguap lebar. Mulutnya masih terbuka ketika gadis berponi ini melihat banyak orang di depan kamar mandi.
"Ka ... kalian kenapa semua di sini?" tanya Diana dengan kepolosannya.
"Kamu itu udah bikin khawatir tau gak? Heksa sampe aku hubungin karena aku ngira kamu ngelakuin hal yang aneh-aneh di dalam," tukas Malik.
"Aku ketiduran, maaf."
"Bisa-bisanya kamu tidur di jam kerja seperti ini?" pak Roni sangat marah.
"Maaf, Pak. Tadi aku lag
Niat awal mengajak Diana makan siang sebelum pulang gagal. Heksa masih merasa kesal dengan perlakuan Chintya terhadap kekasihnya itu. Heksa mengemudikan mobilnya hingga sampai ke istana mewah milik keluarga Wijaya. "Sa, kirain mau ajak makan," kata Diana sambil memanyunkan bibirnya. "Oh iya. Aku sampe gak kepikiran, Di. Nanti malem aja aku ajak makan di luar ya! Sekarang kamu istirahat." Heksa mengusap rambut Diana. "Kamu gak masuk dulu?" "Gak usah. Salam aja buat mamih sama papih kamu." "Ya udah. Hati-hati ya, Sa." "Iya, sayang." Diana turun dari mobil milik Heksa. Melambaikan tangan dan menunggu mobil sang kekasih lenyap berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Heksa mengendarai mobil sportnya itu dengan kencang. Ia berniat untuk menemui Chintya lagi. Ada satu hal penting y
Niat awal mengajak Diana makan siang sebelum pulang gagal. Heksa masih merasa kesal dengan perlakuan Chintya terhadap kekasihnya itu.Heksa mengemudikan mobilnya hingga sampai ke istana mewah milik keluarga Wijaya."Sa, kirain mau ajak makan," kata Diana sambil memanyunkan bibirnya."Oh iya. Aku sampe gak kepikiran, Di. Nanti malem aja aku ajak makan di luar ya! Sekarang kamu istirahat." Heksa mengusap rambut Diana."Kamu gak masuk dulu?""Gak usah. Salam aja buat mamih sama papih kamu.""Ya udah. Hati-hati ya, Sa.""Iya, sayang."Diana turun dari mobil milik Heksa. Melambaikan tangan dan menunggu mobil sang kekasih lenyap berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.Heksa mengendarai mobil sportnya itu dengan kencang. Ia berniat untuk menemui
"Jadi ini yang kamu lakukan selama ini di belakangku?" teriak lelaki berkaca mata di depan pintu ruangan Arvan."Apa-apaan ini? Kalian jangan bikin keributan di sini!" bentak Malik."Diam kamu! Ini urusan kami," kata Danu lagi."Kami? Urus saja urusan kalian sendiri. Jangan bawa-bawa saya! Dan katakan pada istrimu untuk berhenti mengganggu hidupku lagi!" Arvan mendorong tubuh Chintya ke arah suaminya. Ya, Danu adalah lelaki yang usianya 10 tahun lenih tua dari Chintya. Ia merupakan anak seorang konglomerat. Sama-sama menjabat sebagai seorang CEO."Van, tolong aku, Van, please! Aku gak mau lagi hidup sama pria ini," kata Chintya yang sudah diseret oleh suaminya.Malik segera menutup pintu. Meski sejenak tiba-tiba pria berkumis ini merasa kasihan dan iba kepada Chintya."Van, kayaknya Chin ....""Stop! Jangan sebut nama dia lagi
Diana meminjam charger salah satu pegawai salon. Ia segera mengisi daya baterai ponselnya dan membiarkannya tergeletak di meja."Kira-kira selesai jam berapa?" tanya Diana."Gak lama kok, mungkin sekitar 3 jam," jawab pegawai salon itu sambil menjepit poni Diana ke belakang."Ya ampun. Ini jidat apa lapangan? Lebar bener," batin pegawai salon itu ketika melihat dahi diana yang menonjol dan lebar.Diana melihat jam dinding dari cermin. Perombakan yang dilakukan diperkirakan akan selesai pukul 22.00 malam.***Heksa masih menunggu dengan gelisah. Ia memanggil salah satu pelayan dan memberikan cincin itu."Jika wanitaku sudah datang, taruh cincin ini ke dalam hidangan. Terserah kalian, mau di taruh pada makanan apa. Pastikan mudah ditemukan.""Baik, Tuan.""Saya akan menjemput kekasihku dulu. Siapkan
Diana mulai kesulitan bernapas. Tanpa pikir panjang, Heksa langsung membopong gadis itu. Wajah Diana sudah pucat. Napasnya pendek seperti orang yang terserang asma dadakan."Sabar, Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang ya!"Heksa membawa Diana keluar dari private room. Beberapa pramusaji terlihat mengintip dari balik pintu. Mereka saling berbisik karena tidak tahu jika Diana menelan cincin yang dimasukkan ke dalam cheese cake."Kasihan. Pacarnya udah bikin momen romantis kayak gini malah asmanya kambuh.""Iya kasihan banget. Mudah-mudahan gak jantungan juga."Bisik-bisik dua pramusaji yang sedang melihat Heksa kesulitan membopong Diana yang cukup berat."Di, kamu kurus tapi kok berat. Apa aku yang gak pernah angkat beban?" kata Heksa sambil terengah.Diana tidak menjawab. Ia sibuk mencolok mulutnya dengan telunjuk. Berharap sesuatu yang te
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.