Pras menahan tawanya sedari tadi. Merasa sangat lega karena mereka tidak jadi mengenakan baju couple yang sudah dibeli oleh Sinar. Sebenarnya, bukan salah ukuran ketika membelinya, hanya saja, Sinar tidak memperhitungkan keadaan perutnya yang sudah sangat buncit itu. Jadi, kaos yang dibelinya hanya muat sebatas dada dan tidak bisa menutupi perutnya secara keseluruhan.
Untuk menggantikan baju tersebut, Sinar mencari baju dengan warna senada agar tetap terlihat serasi sebagai pasangan. Meskipun, wajahnya masih saja tertekuk masam sepanjang perjalanan menuju mall.
“Sudah, gak papa. Gini juga, kan, sama couplean,” rayu Pras agar sang istri tidak memasang wajah cemberutnya sedari tadi. “Warnanya sama putih-putih gini.”
“Gak sama,” rungut Sinar tidak melepaskan tangan Pras sejak mereka keluar dari mobil di parkiran basement. Jemari keduanya tertaut erat, di sepanjang jalan menuju salon khusus ibu hamil yang berada di lantai satu.
Rahang Pras masih saja mengetat dengan wajah datarnya. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak keduanya melangkah meninggalkan Bintang.“Mas …” sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sinar berusaha mencairkan suasana. Namun, pria itu tidak tergerak sedikit pun untuk membuka bibirnya. Sinar bahkan tidak berani untuk menyinggung rencana photobox yang sudah dicanangkan sebelumnya.“Sampai kapan kamu diemin aku kayak gini?” ucap Sinar, masih ingin terus berusaha berbicara dengan Pras. “Aku, kan, ketemunya gak sengaja. Jadi bukan salah aku, dong.”Pras masih saja bungkam dengan semua pikiran yang tidak bisa Sinar terka.Sebenarnya, Sinar ingin melakukan protes yang lebih lagi untuk lebih memaksa Pras. Namun, Sinar memiliki trauma tersendiri jika sudah berada satu mobil dengan pria itu. Sinar sudah dua kali merasakan diturunkan di pinggir jalan, ketika mereka tengah bertengkar dahulu kala. Untuk itu, Sinar lebih ba
Wajah Pras kontan berubah panik seketika, saat melihat sang istri yang duduk dan mengaduh kesakitan. Langsung berlutut di hadapan Sinar dan reflek meraba perut yang membuncit itu dengan khawatir. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, melihat Sinar yang meringis menahan nyeri.“Yang mana yang sakit, Nar?” tanya Pras dengan wajah pias penuh penyesalan. Tangan Pras dengan tanggap langsung berada di punggung serta perut sang istri. “Perutmu sakit? kita ke rumah sakit seka—”Ucapan panik Pras itu terpotong seketika, saat Sinar memukul tangan yang tidak henti mengusap perut besarnya itu. “Pergi! Gak usah deket-deket! Awas aja sampe anakku kenapa-kenapa!”Pras bungkam, batinnya sudah sangat gusar memikirkan ucapan Sinar tentang anak mereka. Mencoba menenangkan diri, tapi tidak kunjung bisa. Sungguh, Pras tidak sengaja menarik tangannya, karena ingin pergi dan enggan berdebat dengan sang istri. Tidak pernah menduga sedikit pun
Selang infus yang juga berisi antibiotik sudah tertancap di lengan Sinar. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi infeksi pada bayi di dalam kandungannya. Tindakan medis tersebut dilakukan oleh dokter pengganti, karena Dokter Novi masih melakukan operasi di rumah sakit lain.Kondisi janin sementara, masih bisa dikatakan sehat dan baik-baik saja. Pergerakannya juga masih aktif di dalam sana. Untuk hal yang satu itu, Pras dan Sinar akhirnya bisa bernapas dengan sangat lega.“Apa masih bisa lahir normal, Dok?” tanya Sinar pada sang dokter pengganti yang bernama Desi. “Kan HPLnya masih tiga mingguan lagi.”Desi yang sudah membaca rekam medis Sinar sebelumnya, memberika senyum ramahnya. “Kalau sudah 37 minggu, sebenarnya janin sudah matang dan siap dilahirkan,” terang Desi. “Karena air ketubannya masih merembes dan baru bukaan satu, jadi kita tunggu aja dulu ya. Kontraksinya juga tolong dipantau rentangnya.”“
July dan Jonas sudah berada di dalam ruangan bersama Sinar yang tidak berhenti merintih jika kontraksinya tiba-tiba datang mendera.Sementara Pras, hari ini seolah merasa jadi pria yang paling tidak berguna, karena tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan rasa sakit yang di derita sang istri. Pria itu sudah berkali-kali menawarkan agar Sinar melakukan operasi caesar saja, karena tidak tega mendengar sang istri yang kerap merintih kesakitan.“Bunda, sakiiit …” kali ini giliran July yang menjadi sasaran rengekan Sinar.“Sabar, ini baru bukaan lima, nanti kalau sudah keluar pasti lega,” ujar July yang memang selalu ceplas ceplos kepada Sinar, sembari sibuk mengusap punggung juga pinggul putrinya itu dengan lembut.“Caesar ajalah, Nar,” ujar Pras kembali ingin meyakinkan dengan wajah kusutnya. Sedari tadi yang dilakukan Pras hanyalah menjambak rambutnya sendiri, karena frustasi melihat Sinar merintih di depan m
Pras ikut menahan napas, ketika melihat Sinar mengejan dengan sekuat tenaga. Satu tangannya dengan setia berada di genggaman Sinar. Pasrah, ketika mendadak kuku sang istri sudah menancap erat saat kontraksi itu datang kembali. Berkali-kali Pras mengusap titik peluh yang mengucur di seluruh wajah sang istri. Berkali-kali pula nyawanya seolah melayang ketika melihat perjuangan Sinar yang benar-benar menguras tenaga. Setelah dinyatakan pembukaannya telah sempurna. Sinar segera di bawa ke ruang bersalin dan bersiap untuk melahirkan sang bayi yang telah ditunggu-tunggu kelahirannya. “Dok …,” panggil Sinar dengan tersengal sembari menggeleng. “Gak kuat …” rengeknya masih terus mengatur napas. “Operasi, Dok!” sambar Pras dengan cepat, karena sudah benar-benar tidak tega dengan kondisi istrinya saat ini. Dokter Novi tersenyum penuh kelembutan. Dengan wajah sabarnya, wanita paruh baya itu berujar kepada Pras, “Kepalanya sudah kelihatan, loh, Pak. Tingg
Senyum yang ada di wajah Raja dan Aida tidak surut sedetik pun, ketika menjenguk cucu keduanya itu. Terutama Aida yang akhirnya bisa benar-benar bernapas lega. Anak tertuanya akhirnya menikah, dan sudah dikaruniai keturunan yang sangat tampan. Lepaslah sudah satu beban dari pundaknya. Kini, tinggal menunggu Bira, yang masih berkeliaran tidak tentu arah dalam memilih pasangan hidupnya. Namun, karena usia Bira belum menginjak kepala tiga, Aida masih bisa santai sejenak menikmati hidup. Membiarkan anak bontotnya itu bersenang-senang, dan Aida baru akan bertindak, kalau Bira sampai tidak berhubungan serius dengan wanita ketika menginjak kepala tiga. “Ini, sih, Pras junior,” ucap Raja ketika pertama kali melihat wajah cucunya itu. “Plek banget sama Pras waktu bayi, iya, gak, Mi?” tanya Raja meminta persetujuan sang istri. “Banget!” seru Aida menatap sekilas pada sang suami, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada sang cucu yang tertidur lelap di gendonganny
Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Sinar akhirnya kembali ke rumah yang sangat ia rindukan. Itu pun, Pras sempat memaksa agar Sinar tidak perlu pulang dulu hingga benar-benar pulih. Namun, Sinar menolaknya dengan rengekan tanpa henti, hingga Pras mengalah dan menuruti sang istri untuk pulang ke rumah. Tidak hanya itu sebenarnya. Ketika sampai di rumah pun, Pras telah menyiapkan Sinar sebuah kursi roda, agar Sinar tidak terlalu banyak bergerak selama masa pemulihan. Pras benar-benar tidak tega, ketika melihat istrinya itu berjalan dengan sangat perlahan dan hati-hati ketika melangkah. “Kamu tuh, lebay, Mas,” decak Sinar yang menolak untuk memakai kursi rodanya. “Aku tuh masih bisa jalan. Lagian kata dokter, aku tuh harus gerak seperti biasa, meskipun harus hati-hati dulu sementara.” “Justru itu, sementara ini, kamu bisa pake kursi roda dulu,” saran Pras. “Kan enak, kamu tinggal gerakin tuasnya terus bisa jalan dengan cepat.” “Ih, yaa enggaklaaaah
Pagi itu, adalah pagi pertama Qaishar berada di rumah. Ada seorang suster yang akan datang untuk memandikan bayi tampan itu setiap pagi dan sore harinya. Pras pun menyaksikan Qaishar yang dimandikan oleh suster tersebut dengan seksama. Sedangkan Sinar, wanita itu tengah mengisi amunisi agar ASI yang diberikan pada putranya semakin lancar dan tidak sampai kurang. Sementara itu, Aida sibuk dengan kamera mirrorless keluaran terbaru, yang digunakan untuk mengabadikan moment tersebut, dengan sebuah video. “Qai, rewel gak semalam?” tanya Aida pada Pras, ketika sang suster sudah mengangkat Qaishar dari bak mandi. “Gak rewel, cuma bangun-bangun minta ASI sampai …” Pras menghitung sejenak, berapa kali dirinya terbangun karena putranya itu menangis karena lapar. “Lima kali,” ungkapnya dengan yakin. “Kamu ikut bantuin Sinar, atau lanjut tidur?” selidik Aida dengan memicingkan mata. “Cuma bisa bantu ngangkat sama mindahin Qai,” jawab Pras tanpa melepaskan