Setelah sehari penuh tersiksa dengan chat, beserta telepon sang istri yang selalu saja merengek minta pulang. Sore harinya, Raj meminta kepada dokter agar istrinya itu, dipulangkan saja.
Siapa yang tidak kesal, kalau setiap menit Mai selalu saja mengirimkan Raj chat yang tidak penting. Bahkan, Mai mengirimkan banyak sekali stiker, hanya agar Raj mengabulkan permintaannya untuk segera pulang ke rumah.
Hanya saja, Raj memberi syarat agar Mai pulang ke kediaman Pras untuk sementara waktu. Kalau ada di sana, Raj yakin kalau istrinya tersebut akan ada yang merawat dan mengawasi.
Akhirnya setelah Mai menyetujuinya, mereka kembali pulang ke kediaman Pras. Menginap di sana, sampai kondisi Mai benar-benar pulih sepenuhnya.
“Berhenti dari Casteel High, Mai.&rdquo
“Duduk sini,” Sinar menepuk sisi kosong pada sofa panjang yang ia duduki, ketika Mai baru saja membuka pintu kamar. Mai pun menghampiri sang bunda. Namun, bukannya duduk, Mai malah merebahkan diri di sofa. Menjadikan paha sang bunda sebagai bantalnya. Karena itu, Sinar pun reflek mengusap kepala putrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Kepalanya masih pusing?” tanya Sinar. Mai mengangguk. Tidur menyamping dan meringkuk. “Apa kamu bahagia, Mai?” Pertanyaan sederhana dari Sinar itu, seketika menyentak perasaan Mai. “Bahagia?” Mai lantas mengajukan pertanyaan kembali pada sang bunda.
Pras yang hendak pergi ke rumah depan untuk membaca buku di perpustakaan, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ada sang putri, yang sedang duduk di sofa sembari menonton televisi seorang diri. Gerakan tangan yang terlihat naik turun tersebut, menandakan kalau Mai tengah sibuk memakan sesuatu.Pras mendekat. Mengitari sofa, lalu duduk tepat di samping putrinya tanpa jarak. Melihat satu mangkuk besar kentang goreng yang tengah Mai peluk seorang diri.Menyadari ada sang ayah duduk merapat. Mai segera beranjak dan pindah menuju kursi ratu yang biasa duduki oleh sang bunda. Tidak melihat Pras sama sekali dan terus saja sibuk memakan kentang gorengnya sambil melihat berita.Terhitung, sudah tiga hari Mai tidak menegur Pras sama sekali. Putrinya itu masih ngambek karena sudah dilarang bekerja dan diancam sedemikian rup
Kelopak mata Raj terbuka pelan. Disuguhkan wajah cantik Mai yang menatapnya dengan lekat. Tidak biasanya, istrinya itu bangun lebih dulu daripada dirinya. Terlebih, di hari minggu seperti ini. Mai akan benar-benar bermalas-malasan dan enggan beranjak dari ranjang. Kecuali, pada saat mereka tinggal di rumah orang tua Raj kala itu.“Aku memang ganteng, jadi gak usah dilihatin seperti itu.” Raj menggeliatkan tubuh kakunya dengan begitu puas. Memajukan wajahnya, lalu mengecup bibir ranum itu sekilas. Mendengar kalimat narsis yang dimuntahkan oleh sang suami, Mai langsung mengerucutkan bibirnya sekilas. Rasa percaya diri Raj sedari dulu, memang sudah terlampau tinggi. Oleh karena itulah, pria itu dengan berani melamar Mai hingga berkali-kali. Di mata Mai, sosok Raj itu memang tidak tahu malu.
Kedua tangan itu saling menggamit erat. Berjalan keluar dari ruang periksa, setelah berkonsultasi dengan dokter kandungan. Meskipun kondisi Mai sudah membaik, tapi dokter tetap menyarankan agar wanita itu tetap beristirahat dan tidak melakukan hal yang menguras tenaga juga pikiran. Hal tersebut hanya untuk pencegahan, agar kejadian lalu tidak terulang kembali. Di persimpangan koridor, keduanya hampir saja bertabrakan dengan sosok wanita yang berlari dengan tergesa. “Hah, oh, maaf,” kata wanita itu lalu terkesiap ketika melihat sepasang suami istri yang hampir ditabraknya. “Ngapain di sini, Ra?” Mai sedikit mengatur jaraknya dengan Dara yang terlihat panik. Begitu pula dengan Raj. “Cipta demam tinggi,” kata Dara dengan tergesa. “Aku duluan, ya!” serunya kemudian berla
Baru saja Raj membuka pintu rumah, indera penciumannya sudah disambut dengan aroma manis yang benar-benar menggugah selera. Raj sudah bisa menebak, kalau istrinya itu, saat ini pasti sedang membuat kue kering di dalam sana. Atau, mungkin sudah selesai membuat kue kering.Pintu garasi yang sudah tertutup, menandakan bahwa pelayan yang biasa berada di rumah untuk bersih-bersih dan menemani Mai di rumah, sudah pulang semua. Itu artinya, sore ini hanya tersisa Mai dan Raj saja yang ada di rumah.Sama seperti hari-hari kerja sebelumnya.“Mii … di mana?” tanya Raj sedikit mengeraskan suaranya ketika memasuki ruang keluarga.“Dapur.”Setelah meletakkan tas kerjanya di salah satu sofa, Raj melangk
Qai yang melihat sang adik duduk seorang diri di depan televisi itu langsung bergegas menghampiri. Duduk di samping Mai, lalu merentangkan satu tangan di sepanjang bahu sang adik yang tengah duduk bersandar. “Lembur?” tanya Mai yang hanya melirik sekilas pada Qai. “Gak,” jawab Qai lalu menatap perut Mai yang kini sudah mulai terlihat. “Habis makan malam sama om Bira, sama investor juga.” Satu tangan lainnya lalu mengusap perut Mai tanpa izin. “Tangan!” hardik Mai sambil memukul punggung tangan Qai dengan keras. “Aku ini istri orang, jangan pegang-pegang sembarangan.” “Astaga, Maaiii. Kayak dipegang sama orang lain aja!” Qai balas menghardik tapi kembali meletakkan tangannya di atas perut sang adik. “Gak ngerti, gimana anakmu nanti, kalau punya mami galaknya kayak kam
“Ini, gimana konsepnya?” Raj yang baru masuk kamar itu, memandang penampilan sang istri dari ujung rambut hingga kaki. Di mata Raj, dress yang saat ini dipakai oleh sang istri, sungguh tidak bisa dipakai untuk pergi makan siang bersama rekan kerjanya. “Konsep apa?” Mai merai flap bag yang sudah ia siapkan sebelumnya lalu menghampiri Raj. Merasa sudah sangat siap untuk segera pergi ke restoran bersama sang suami. “Bajumu, Mi. Terlalu seksi,” ujar Raj lalu menangkup kedua bahu Mai dan membalik tubuh yang sudah semakin berisi itu. “Ganti dengan yang lain.” Mai sontak menggeliat agar kedua tangan Raj itu lepas dari tubuhnya. Kembali berbalik dan memberi tatapan datarnya. “Seksi gimana? Ini juga dress lama. Bajuku yang baru-baru kan ada di rumah semua.”
Mai dan Raj terdiam sejenak di tempat, ketika melihat beberapa orang yang sudah lebih dahulu mengelilingi meja makan. Kemudian, keduanya saling melempar pandang. “Kenapa ada Endy di sini?” tanya Mai dengan suara yang terdengar sangat pelan. “Emang kamu gak tahu, Pi?” Raj sedikit menunduk dan juga berbicara sama pelannya. “Kalau tahu, sudah aku bilang dari kemarin,” ujar Raj kembali mengajak sang istri untuk menghampiri meja makan. Dari ekspresinya, wajah Endy pun melukiskan keterkejutan yang sama. Itu berarti, pria itu juga tidak mengetahui kalau salah satu orang yang akan ditemuinya kali ini adalah pria yang pernah berkelahi dengannya. Setelah saling berjabat tangan dan berkenalan dengan dua orang yang memang baru dikenal, kedelapan orang tersebut akhirnya duduk melingkari meja makan dan saling berbasa-basi terlebih dahulu. Sementara itu, baik, Mai, Raj dan Endy berlakon seolah mereka bertiga tidak saling mengenal sama sekali. “Ibu ju