Satu jam berikutnya aku ingin menghilang.
“Hom-pim-pa…”
“Ana kalah!!” Kerumunan itu bersorak.
Sekali lagi memaki dalam hati, aku menatap hampa telapak tanganku yang satu-satunya terbuka ke atas. Aku dipaksa mengikuti games tak bermoral kawanan-kencan-buta-bodoh-Gina, dan untuk yang ke-empat kalinya aku kalah.
Hukuman bagi yang kalah adalah mendapat pertanyaam memalukan dari peserta lain dan wajib dijawab jujur. Mengubur rasa malu, aku sudah menjawab tentang dengan siapa aku first kiss─Gama, mantan pacarku yang bertahan dua setengah bulan saja di tahun ke dua kuliahku, apa yang ingin aku sentuh dari tubuh seorang pria─dadanya yang bidang, dan apa warna celana dalamku malam ini─hitam dengan beberapa renda. Bahkan aku sudah menegak habis lemon ice─pengganti martini yang aku tolak dengan tegas─berulang kali sampai rasanya berubah aneh di mulutku.
“Pertanyaan lo kali ini, siapa cowok pertama yang tidur bareng l
Hai pembaca...semoga kalian semakin menyukai interaksi Anna dan Daniel ya...
“Putri tidur, ayo bangun. Saatnya kita menyelematkan dunia.”Hawa dingin merambati tengkuk. Aku bergidik. Melawan rasa sakit di kepala, aku paksakan mataku mengerjap dan membuka. Jam dindingku menunjukkan sudah tengah hari. Bagaikan tersambar petir, aku langsung duduk tegak di kasur.“Tokoku?!”“Tenang, Adik Kecil. Dua pegawaimu yang rajin itu sudah buka toko sejak pagi tadi. Setelah mengintipmu masih tidur nyenyak, mereka memutuskan memulai kerja tanpa dirimu. Kamu nggak usah khawatir, aku membantumu mengawasi mereka kok,” terang Revi sambil duduk di ujung kasurku, persis saat pertama kali dia menampakkan dirinya padaku.Aku mendesah lega, bersyukur karena aku punya pegawai yang tekun sekaligus dapat kupercaya untuk memegang kunci cadangan toko, berjaga-jaga untuk keadaan darurat seperti ini. Mengangkat kepala, aku mulai bingung melihat Revi, meski tidak membutuhkan tidur lagi ia begitu sumringah.“Kenapa
Hampir satu jam berikutnya, aku sudah berada di dalam movil Gina, meliuk-liuk di jalanan kota Surabaya yang panas dan gerah. Cuaca yang seperti ini menenggelamkan niatku yang tadinya ingin berjalan-jalan santai di sepanjang trotoar menikmati pemandangan kota sambil menjernihkan pikiran. “Klien gue kali ini seorang wanita cerewet dan super nyebelin. Dia pengen pesta pertunangannya sesempurna mungkin. Kakak gue sudah pusing dibuatnya, dan terpaksa kali ini gue yang harus turun tangan. Wanita ini beruntung karena calon tunangannya tajir dan sama sekali nggak peduli dengan bayaran yang kami minta. Kalau bukan karena calon tunangannya itu, WO kakak gue nggak bakalan sudi ngelayani wanita itu.” Gina masih mengomel ketika mobilnya masuk ke halaman rumah klien yang dia maksud. Sebagai imbalan karena telah mengantar balik mobil boxku, Gina menyeretku untuk mendatangi rumah kliennya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali. Gina bekerja di dua tempat. Terkadang dia berada di ka
Aku sedang membuat desain di buku sketsa, tapi garis lengkungan yang kutarik terlalu tajam. Kaki kursi yang kugambar terlihat menjadi tidak seimbang. “Ayolah, Adik Kecil. Maafkan aku…” Aku merobek gambar itu, menjadikannya bola-bola kertas seperti beberapa sebelumnya yang sudah memenuhi keranjang sampah, kemudian mulai menggambar lagi di kertas baru. Hampir satu jam setelah pulang dari rumah Daniel aku menekur di meja kerja tanpa memperdulikan sosok transparan Revi yang mengocehkan kata maaf. Lain lagi dengan Gina. Gadis itu tidak menduga bahwa Daniel ‘tunangan klien cerewetnya’ adalah Daniel yang ‘sangat ia kagumi’. Selama ini yang bersemangat mengurusi masalah pertunangan itu hanya Cherry, dan awalnya kakak Gina yang menangani wanita itu sebelum akhirnya dilimpahkan padanya. Intinya, Gina tidak tahu apa-apa. Sisa perjalanan pulang ia habiskan untuk menyumpahi wanita itu. Ujung pensilku patah. Merasa bosan dengan ocehan maaf Revi, aku membalikkan tub
Naungan daun pohon palem tidak cukup berhasil menghalangi sorotan terik matahari. Jadinya aku pelan-pelan merapat ke dinding bangunan di belakangku untuk menyelamatkan kulitku dari rasa terbakar. “Yakin mereka bisa dipercaya?” bisikku. “Tentu. Aku sudah sering menyewa mereka dan hasil kerja mereka nggak perlu dipertanyakan lagi,” jawab Revi mantap. “Hah? Pekerjaan macam apa yang kamu lakukan sehingga memerlukan orang seperti mereka untuk menyelesaikannya?” Revi menghindari tatapanku, berupaya keras untuk mencari cara membela diri. “Aku biasa menggunakan mereka untuk menggertak beberapa orang yang membuatku kesal. Itu saja.” Kedua pria besar yang kami bicarakan itu sudah selesai mengenakan kemeja batik. Sedikit lebih baik menghilangkan penampilan preman mereka meski aura preman itu tetap terasa. Beberapa jam yang lalu aku menghubungi mereka, menyebutkan nama Revi sebagai referensiku. Mereka merespon dengan terlalu bersemangat. Kami bertemu di t
Rumah Daniel mungkin dibangun di atas tanah seluas lapangan sepak bola, begitu luas dan berliku-liku. Kami tiba duluan berkat jalan pintas yang ditunjukkan Revi. Diam-diam kami merapat di dinding. Daniel─lengkap dengan setelan kemeja dan jasnya, tampak tampan berbahaya─baru saja keluar dari ruangan yang sepertinya memang ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukannya di ruangan itu mengingat ini acara pertunangannya dan tamu mulai berdatangan. Sewajarnya sekarang ini ia berada di depan, meladeni tamu dan tersenyum bahagia ketika mendapatkan serentetan ucapan selamat. Oh, masa bodoh, yang terpenting sekarang adalah: dia sedang sedirian. “Aku akan mengalihkan perhatian orang-orang. Kalian kerjakan tugas kalian,” perintahku pada ajudanku, mereka mengangguk kompak. “Sekarang!” Dua pria besarku menghilang di balik dinding untuk pergi menjemput Daniel. Mencoba mengatur irama jantung, aku berbalik pelan-pelan. Para pria suruhan paman Revi satu-per satu muncul m
Khusus hari ini aku menutup toko dan meliburkan karyawan. Aku tidak ingin Edo dan Mila melihat dua orang pria besar─yang jelas-jelas bertampang preman─menggotong tubuh Daniel ke dalam rumahku dengan amat mencurigakan. Bisa-bisa imagesakit jiwaku naik level menjadi psikopat pembunuh di kepala mereka. “Sekarang, apa yang harus kita lakukan padanya?” Sambil memainkan jari, aku berjalan mondar-mandir di dalam kamarku seperti setrikaan. Para preman itu sudah pergi dengan janji akan menutup mulut rapat-rapat. Berhasil menculik Daniel tidak sepenuhnya membuatku senang, karena begitu membayangkan Daniel tahu aku yang menculiknya, dia akan marah sekali. “Tunggu dia bangun dan ceritakan apa yang sedang terjadi, mungkin besok pagi kita bisa melepasnya pulang,” kata Revi sambil mengikuti mondar-mandir dengan arah berlawanan, “Kita berhasil mengacaukan rencana pamanku, jadi untuk beberapa hari ke depan, keadaan aman terkendali.” Aku mendesah berat, ingin se
Kakiku melompat dua langkah ke belakang. Daniel menggeram, mencoba bergerak kasar untuk lepas dari tali yang mengikat tangannya. Selain jasnya yang tertinggal di mobilku, Daniel masih mengenakan kemeja dan celana yang kini mulai kusut, sementara rambutnya yang sehitam bulu gagak tampak acak-acakan. Campuran rasa terkejut, marah, dan sebal karena tidak bisa melepas tali itu mememuhi wajahnya. Anehnya semakin Daniel terlihat berbahaya, dia terlihat semakin tampan menggairahkan. Kembali, aku mengingat ciuman kami. Annaaa… FOKUSSS!!!! Revi pindah, duduk di deretan sofa yang diduduki Daniel. Kedua lengannya dengan begitu santai disampirkan di punggung sofa. Seolah dia tidak menyadari aku sedang menghadapi seekor kudanil liar yang mengamuk. “Sebaiknya kamu mulai menjelaskan padanya, Adik Kecil.” Kepalaku bergerak seperti gerakan burung pelatuk. “Aku sedang menyelamatkanmu,” terangku pada Daniel. “Yang kulihat sekarang kamu sedang menculikku,” nadan
Jam dinding di dapurku menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit dan Revi belum muncul sejak tadi siang. Bahkan ketika aku tadi ke mall untuk belanja, dia juga tidak menguntitku, padahal di mall banyak wanita cantik dan Revi biasanya bersemangat sekali kalau diajak cuci mata di tempat yang dipenuhi wanita.Hati Revi pasti benar-benar terluka oleh perkataan Daniel. Aku berharap sekarang Revi sedang berkumpul dengan para teman hantunya, bersenang-senang dengan cara paling masuk akal yang bisa dilakukan oleh para hantu.Bunyi perutku yang kelaparan menyadarkan aku dari lamunan. Hujan deras turun sejak tadi sore, hawa sejuk sedikit berhasil menggantikan udara panas kota. Aku memutuskan memasak sesuatu yang hangat untuk makan malam. Perlahan, aku menciduk tahu campur dari panciku yang masih mengepul panas ke atas piring. Aku meletakkan dua porsi tahu campur plus kerupuk udang, dua gelas jeruk hangat, dan potongan apel ke atas nampan.Suara tele