Share

Bulan madu

Ya Tuhan, aku benar-benar melakukannya! Rania menggigit bibirnya. Ingatannya kembali dan sangat terasa jelas lumatan bibir Sakti kepada dirinya.

"Jangan pergi! Aku sangat mencintaimu," kata Rania melingkarkan kedua tangan tepat di pinggang sispex yang di miliki Sakti. Kepalanya bersandar manja di dada bidang yang mengeluarkan aroma khas yang sangat menghipnotisnya.

"Aku akan menemanimu!" Perkataan Sakti mulai terekam jelas dalam ingatannya.

"Tidak!" Teriakan Rania membuat sopir taksi menghentikan laju kendaraannya.

Ssst Duk

"Owh!" keluh Rania memegang kening yang menghantam bahu jok yang ada di depannya.

"Kenapa, Teh?" tanya sopir taksi itu menoleh ke belakang. Memastikan penumpangnya dalam keadaaan baik-baik saja."Kenapa teteh berteriak?" 

Rania tersenyum tipis. Ia baru menyadari teriakannya membuat sopir taksi itu terkejut.

"Tidak, Pak! Maaf, saya hanya teringat dengan baju saya di rumah. Padahal, besok saya harus memakainya tapi saya lupa tak mencucinya," ucap Rania meringis.

"Oh, begitu! Saya kira teteh kenapa?" Sopir taksi mulai melajukan kembali kendaraannya.

Ya Tuhan, bisa-bisanya aku mengingat kejadian itu lagi! Dan ini malah semakin parah. Ya Tuhan, kenapa aku jadi begini? Kenapa aku bilang seperti itu padanya dan dengan mudahnya bersikap manja? Apa jangan-jangan ini semua karena aku minum minuman milik pak Sakti itu? gumam batin Rania mengingat saat ia menegak minuman kaleng seperti orang kehausan. Ia menghela nafas panjang. Kedua matanya beralih menatap lampu-lampu yang seakan berlari mengikuti dirinya.

Drt ... Drt ...

Pandangan Rania beralih. Dahinya mengernyit melihat nama sahabatnya turun naik di layar pipih untuk menghubungi dirinya.

"Sarah!" gegas Rania mengangkat telepon tersebut."Sarah, ada apa? Tumben malam-malam menghubungiku? Bukankah hari ini kamu shift malam?"

("Rania, keluarlah! Sekarang aku di depan rumah kamu. Aku bingung, kenapa  rumah kamu banyak orang dan di depan rumah juga banyak mobil?")

Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Perkataan sahabatnya benar-benar membuatnya bingung.

Banyak orang? Di depan rumah banyak mobil? Apa jangan-jangan mereka menagih hutang di rumah? Tidak! Itu tidak mungkin!

"Rania ... Hello! Apa kamu mendengarkanku!"Suara sarah terdengar melengking dari balik layar pipih itu, hingga membuat Rania menjauhkan ponsel dari telinganya.

Rania menghela nafas panjang. Alisnya  bertaut dan kembali menempelkan ponsel tepat di telinganya.

"Sarah, aku dalam perjalanan pulang. Tolong, jaga ayahku, ya? Sebentar lagi aku pulang!" ucap Rania.

"Kenapa aku harus menjaga ayahmu? Bukankah ayah kamu ...," kata Sarah terhenti saat menyadari teleponnya mati.

"Yah, mati lagi! Kenapa Rania menyuruhku menjaga ayahnya, ya?" tanya Sarah bingung.

Sarah menghela nafas panjang. Dua bola matanya tak berhenti menatap rumah Rania yang sangat ramai.

"Sebenarnya siapa yang bertamu? Kok kayak acara ...." Dahi Sarah mengerut. Alisnya bertaut saat melihat beberapa orang menghias depan rumah sahabatnya itu.

"Apa jangan-jangan Rania mau tunangan atau malah menikah secara diam-diam?" tebak Sarah tiba-tiba. Bibirnya merapat, sudut matanya mengerut menatap om  Hakim berbicara dengan orang berjas yang tak asing baginya.

"Mike? Kenapa dia di rumah Rania?" tanya Sarah terkejut saat pacar yang ia khianati berada di rumah sahabat dekatnya itu.

***

Rania turun dari taksi. Kedua bola matanya tak berhenti mengerjap melihat rumahnya terhias indah dengan bunga-bunga bermekaran.

Apa ini benar rumahku? tanya Rania seakan tak percaya melihatnya. Dua bola matanya berputar menatap halaman rumahnya yang sudah terpasang tenda.

"Rania!" panggil tetangga rumah yang menghentikan langkah kakinya. Rania berbalik dan mencoba untuk tersenyum saat berhadapan dengan ibu-ibu yang terkenal dengan biang gosip di sekitar rumahnya.

"Selamat malam, ibu-ibu!" jawab Rania.

"Kamu itu ya, diam-diam sudah mau menikah saja! Ibu pikir kamu tuh tak punya pacar lho!"

"Iya, saya juga berpikir seperti itu. Padahal, kata Ratih kamu di kantor tak punya kekasih. Trus, kamu menikah dengan siapa?" sahut ibu tetangga yang lain.

Rania menghela nafas panjang. Bibir bawahnya melipat menahan rasa amarah yang tertahan di dada.

Benar-benar menyebalkan! Bisa-bisanya mereka memandangku seperti itu. Kayak aku ini tak laku saja! gumam batin Rania menghela nafas panjang.

"Atau jangan-jangan kamu menikah dengan om-om, ya?"

Rania mendongak. Kedua tangannya mengepal saat tuduhan ibu-ibu tersebut sudah melewati batas.

Tenang Rania tenang! Kamu tak boleh emosi menghadapi mereka. Mulut mereka akan terdiam jika tau dengan siapa kamu akan menikah! tegas Rania mulai mengembangkan senyumnya.

"Bisa jadi! Ya ampun Rania, tak seharusnya kamu seperti itu. Kamu itu masih muda lho!" sahut ibu lainnya.

Rania melangkah kakinya dan mendekati kedua ibu tukang gosip itu secara perlahan.

"Kalo besok tidak ada acara, ibu-ibu bisa datang ke sini. Dan ibu-ibu bisa melihat dengan siapa saya akan menikah. Dan, kalian juga tak perlu membawa amplop untuk saya. Ok!" gegas Rania melangkah pergi meninggalkan mereka.

"Heh, sombong banget dia! Belagu banget tak mengharap amplop dari kita!"

"Iya, menikah dengan om-om saja, bangga. Kita pulang! Besok kita lihat seperti apa suami Rania itu!" gegas mereka pergi.

Ceklek

Rania membuka pintu rumahnya. Kedua matanya mengerling melihat isi rumahnya berbeda dari biasanya.

Ya Tuhan, apa aku salah masuk rumah?" tanya Rania dalam hati. Kedua matanya berputar memastikan kalo rumah yang ia masuki adalah rumahnya.

"Kamu darimana?" Suara ayah mengejutkan Rania.

 Rania berbalik dan tersenyum saat ayahnya keluar dari kamar.

"Tadi, Rania pergi ...." Rania menghentikan perkataannya. Dan tak mungkin juga jika ia memberitahu yang sebenarnya pada sang ayah kemana ia pergi. 

"Rania pergi ke acara ulangtahun teman, Ayah. Maaf, ya. Tadi Rania tak sempat bilang sama ayah," ucap Rania memegang punggung tangan ayahnya.

"Begitu. Ayah kira kamu ke mana? Lihatlah! Rumah kita jadi bagus seperti ini. Dalam waktu dua jam, mereka memberikan nuansa baru untuk rumah kita."

Dua bola mata Rania berbinar. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat betapa bahagianya wajah  ayah melihat rumahnya yang terhias cantik.

"Ayah menyukainya?" tanya Rania.

"Heem. Ayah harap, dia lelaki yang tepat untuk kamu, Sayang! Mencintai kamu setulus hati seperti ibu kamu," pinta Ayah memegang kedua pipi Rania.

"Amin!" jawab Rania spontan.

Sejenak, air liurnya tertelan begitu saja. Senyumnya yang dari tadi mengembang mendadak memudar dengan ucapannya barusan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengaminkan perkataan itu? Jelas-jelas aku dan pak Sakti tak saling mencintai dan gara-gara minuman itu kami terjebak dalam situasi yang sulit seperti ini! Hah, andai saja kemarin aku tak minum minuman itu! gumam batin Rania mendesah panjang.

 "Tidurlah! Acaranya akan di lakukan jam 8 pagi. Dan katanya jam 3 pagi, mereka akan datang untuk merias wajah kamu," kata Ayah yang membuat Rania terkejut.

"What? Jam 3 pagi?"

***

Keesokan harinya, Sakti tak berhenti menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Rambut klimis, setelan jas hitam yang ia kenakan membuat aura ketampanannya kian terpancar.

"Ini cincinnya. Sesuai pesanan kamu!" Mike menyerahkan sepasang cincin pernikahan pada sahabatnya yang duduk di belakang.

Sakti mengernyit dan mulai membuka kotak cincin tersebut. Begitu indah dan sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Aku sudah membatalkan acara hari ini sampai tiga hari ke depan. Dan kamu bisa langsung bulan madu," ucap Mike yang seketika membuat Sakti menatap ke arahnya.

Bulan madu? batin Sakti bertanya. Perkataan Mike benar-benar membuat Sakti tak mampu menegak salivanya sendiri saat mendengarnya.

Tatapan matanya beralih ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan yang seakan berlari mengejarnya.

Haruskah aku dan dia melakukannya? 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erlina
bacaannya gantung kita disuruh baca SDH enak "tapi byar ya udahlah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status