Sudah dua minggu sejak Gita dan Alan memilih tinggal di apartemen. Gita juga sudah sangat terbiasa bagun dalam pelukan sang suami, bahkan kadang tanpa busana sama sekali.Harus diakui, aktifitas ranjang pasangan ini sedang aktif-aktifnya. Untungnya, Gita tidak merasakan traumanya bangkit lagi. Selama dengan Alan, Gita tidak pernah merasa jijik lagi dengan dirinya sendiri."Als, bangun dong. Nanti kita telat ke kantor." Gita menggeliat keluar dari pelukan Alan dan menepuk pelan pipi suaminya.Alan yang memang mudah terbangun di pagi hari, langsung menggeliat resah. Begitu melihat wajah Gita, dia otomatis tersenyum."Lima menita lagi ya, Bee." Alan menarik Gita kembali ke pelukannya."Alan." Gita protes dengan kelakuan suaminya. "Aku juga harus siap-siap ke kantor. Kalau kamu gak bangun sekarang, kita bisa telat."Mendengar pernyataan Gita, mata Alan langsung terbuka lebar. Lelaki itu melepaskan pelukannya dan beranjak duduk bersila, menatap sang istri dengann tatapan bangga campur haru
"Aduh, Pak Erik. Pagi-pagi kok sudah teriak-teriak seperti ini sih? Ribut banget tahu gak?" Gita langsung mengeluarkan kata-kata pedas dan memasang wajah juteknya, begitu melihat lelaki yang dia panggil."Nah, ini dia yang ditunggu." Erik dengan percaya dirinya merentangkan tangan seolah hendak memeluk Gita.Gita refleks menghindar dan bersembunyi di belakang Alan. Tidak lupa juga dia memberikan ekspresi jijik pada Erik. Pasalnya, dulu Erik sering menatapnya dengan pandangan tak senonoh."Maaf Pak. Suami saya ini cemburuan. Saya tidak bisa diizinkan memeluk pria tak dikenal selain keluarga." Gita memberi penekanan pada kata selain keluarga.Tentu saja Erik bisa menangkap apa maksud kata-kata Gita. Tapi demi proyek, dia bersedia menebalkan muka. Dia butuh pekerjaan untuk bisa terus hidup mewah."Saya tidak tahu kalau Alan ternyata pencemburu berat. Padahal rasanya dulu tidak begitu," balas Erik asal saja, diikuti dengan tawa yang terdengar canggung."Emangnya Pak Erik kenal suami saya
Alex menatap gusar lelaki di depannya ini. Sudah dipukuli berapa kali pun, dia tetap berlutut dengan kepala menunduk.Lelaki itu adalah Zayn. Lelaki yang sudah membuat janji dengan Alex pagi-pagi buta dan mengakui segala dosanya. Dosa yang diperbuatnya pada putrinya.Mendengar pengakuan singkat dari Zayn saja sanggup membuat Alex siap membunuh lelaki itu. Apalagi ketika Gita mengatakan akan berbicara padanya. Alex rasanya ingin langsung membuang Zayn dari jendela ruangannya yang berasa di lantai dua puluh."Kamu yakin?" tanya Alex untuk kesekian kalinya. Dia masih tidak rela putrinya bertemu pria brengsek itu."Selama ada Alan, aku akan baik-baik saja Dad." Gita menjawab dengan pelan."Tidak apa-apa Dad, aku akan menjaga Gita." Alan ikut meyakinkan dengan cara merangkul istrinya."Dad akan ikut masuk ke dalam." Alex akhirnya memutuskan.Gita hanya mengangguk pelan. Dia menatap pintu yang tadi sudah sempat ditutup oleh ayahnya. Sebelum menekan kenop pintu, Gita menatap Alan meminta duku
Zayn menghela napas pelan. Dia sudah tahu akan seperti ini dan tidak merasa kaget lagi. Memang tidak mudah untuk memaafkan orang brengsek seperti dirinya."Tapi saya juga merasa tidak perlu menghukummu," lanjut Gita lagi.Alex dan Zayn menoleh bersamaan ke arah Gita dengan ekspresi kaget. Rasanya hanya Alan saja yang bersikap biasa."Apa maksud kamu, Ta?" tanya Alex tidak mengerti dengan keputusan putrinya. Alex saja sudah ingin membumihanguskan seluruh keluarga Zayn.Zayn sendiri juga tidak mengerti dengan Gita. Padahal dia sudah mempersiapkan diri untuk minimal dipukuli sampai pingsan, tapi Gita malah tidak berniat melakukan apa-apa?"Gita percaya, hukuman dari Tuhan jauh lebih menyakitkan dari pada hukuman dari sesama manusia," jawab Gita pelan.Alan tersenyum. Dia sangat bangga pada istrinya yang sudah menjadi lebih bijak dan dewasa. Tidak lupa Alan memberi elusan ringan di bahu istrinya."Cukup jangan pernah memperlihatkan wajahmu dihadapan saya dan keluarga saya. Kalau pun tidak
"Astaga!" Jelita refleks menutup mata, begitu memasuki ruangan bosnya.Tiga hari belakangan ini, sudah tak terhitung lagi berapa kali Jelita terkaget seperti ini. Pasalnya Gita dan Alan sangat senang bermesraan di dalam ruangan Gita.Kalau hanya sekedar bersandar manja atau berpelukan sih tidak masalah, tapi dua orang ini tidak segan saling mencumbu. Bahkan kemarin Jelita mendapati dua orang itu dengan pakaian berantakan.Dan hari ini, Gita terlihat duduk di atas mejanya dengan kaki bertaut di pinggang Alan dan saling bepelukan, juga memagut mesra. Untungnya celana panjang Gita masih terpasang sempurna."Mau berapa kali kubilangi sih, Je? Ketuk pintunya!" geram Gita antara kesal dan malu."Saya sudah ketuk pintu loh Bu. Buku jari saya sampai merah, karena ngetuk terlalu keras." Jelita memperlihatkan buku jarinya yang memang memerah. Semenjak mendapati Alan dan Gita bermesraan di ruangan, Jelita memang selalu mengetuk pintu lebih keras dari biasanya."Mungkin harus dipasangin bel biar
"Gimana Als?" tanya Gita pada Alan dengan penasaran."Untungnya, Zayn belum ganti nomer dan dia angkat. Dia sih, langsung setuju. Malah katanya apapun yang kita minta pasti akan dikabulkan.""Dasar gila. Disuruh nikah dengan Isabella yang lagi hamil anak orang, masa langsung setuju?" Gita malah protes."Memangnya kita apaan coba?" tanya Alan yang langsung dibalas dengan cengiran Gita. "Kita juga cuma beda sedikit kan?" tanya Alan lagi."Emang sih, cuma beda di hamil anak orang saja." Gita mengangguk setuju.Ya, ide gila yang diusulkan Gita kemarin adalah menjodohkan Isabella dan Zayn. Isabella bisa pergi bersama Zayn, untuk menghindari Erik yang mau mencelakai bayinya. Bisa mengakui Zayn sebagai ayah dari anaknya dihadapan orang tuanya. Mendapat perlindungan juga dari Zayn.Awalnya Isabella juga sedikit ragu, tapi pada akhirnya dia bersedia bertemu dengan Zayn terlebih dahulu. Untungnya juga Zayn langsung setuju dan belum pergi terlalu jauh dari Jakarta."Aku luar biasa banget gak sih
"Gimana? Bisa kan Mom?" tanya Gita pada Julie lewat telepon."Bisalah. Kalau yang seperti itu saja gak usah pakai usaha kali, Ta. Tapi, nanti Mom usahakan lagi deh. Sekalian nanti minta tolong Bundamu."Mendengar kata 'bunda', membuat senyuman Gita berubah kecut. Dia sudah bisa sedikit memahami ibu kandungnya, tapi tetap merasa belum bisa menerima keputusan Amel saat itu."Ya, sudah. Gita minta tolong ya Mom." Gita segera mengakhiri panggilan teleponnya."Mom benar-benar suka bermedia sosial ya?" tanya Alan begitu Gita selesai dengan teleponnya. "Mom, bahkan mengunggah sewaktu dia ikut membenahi rumah kita.""She is queen of social media. Sudah dari zaman dahulu kala sih sebenarnya," balas Gita santai."Syukurnya kita sudah mulai tinggal di sana sejak tiga hari lalu. Jadinya lebih gampang menepis gosipnya," lanjut Alan sambil menggulir halaman media sosial ibu mertuanya.Ya, sejak tiga hari yang lalu, pasangan ini sudah mulai tinggal di rumah Alan. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi
Pintu ruangan Gita terbuka dengan keras. Gita melirik sebentar, melihat Eza berjalan tergesa menghampirinya dan langsung menggebrak meja kerjanya. Gita hanya melirik sahabatnya, kemudian memberi isyarat pada Alan agar mereka bisa ditinggal berdua."Apa masalahmu sih?" tanya Gita santai kembali melanjutkan pekerjaannya."Aku hamil," seru Eza terlihat panik.Gita menghentikan segala aktivitasnya, kemudian menatap Eza dengan ekspresi datar. "Lalu?" tanya Gita dengan datar."Lalu? Kau bilang lalu?" teriak Eza tidak terima. "Aku hamil brengsek.""Pria mana lagi yang ingin kau jebak?" Gita bertanya dengan santainya. Sama sekali melupakan kejadian Eza dengan Tony."Jebak? Sekarang kau memfitnahku?" Eza tidak berhenti berteriak. Gita sampai bingung melihat sahabatnya yang sangat sensitif ini."Lagi PMS?" tanya Gita dengan ekspresi heran."Gimana bisa haid kalau aku hamil sialan? Aku lagi hamil benaran brengsek."Gita mengernyit bingung. Eza memang psycho, tapi hari ini emosinya benar-benar mel