Sisca tersenyum, melambaikan tangan ke arah Arnold yang bersiap masuk ke dalam rumahnya sendiri. Setelah Arnold masuk, Sisca melangkah menuju pintu rumahnya. Ia tertegun ketika mendapati sepatu itu berada di rak sepatu miliknya. Sepatu itu ....
Sisca segera menerjang pintu yang ternyata tidak terkunci, melangkah dengan tergesa-gesa hingga sampai di depan pintu kamar itu. Jantung Sisca berdegup kencang, dia tidak berniat mengetuk pintu, melainkan menekan knop dan segera membuka pintu kamar guna memastikan sang papa memang sudah sampai di rumah.
Sisca tertegun ketika mendapati laki-laki paruh baya itu tengah duduk di pinggir kasur dan menatapnya dengan mata memerah. Segera Sisca menghambur memeluk Burhan, tangisnya pecah, membuat Burhan menghela nafas panjang.
"Pa ... Papa kenapa sih? Kenapa Papa tiba-tiba pergi tadi? Sisca ada salah apa sama Papa?" rintih Sisca di dalam pelukan sang papa.
Burhan tersenyum getir, menggeleng perlahan dengan tangan yang
"Sebenarnya aku hendak dijodohkan orang tuaku dengan anak rekan bisnisnya, Han."Senyap.Semua mendadak senyap begitu kalimat itu meluncur keluar dari mulut Linda. Gemericik suara hujan yang tadi sempat kembali menetes deras kini mendadak sunyi dan tidak terdengar rintiknya di telinga Burhan.Ia membeku, bukan karena hawa dingin dan basah baju yang membuat dia membeku, tetapi oleh kenyataan yang sore ini begitu luar biasa memukul jiwanya hingga hancur seketika.Linda, gadis yang begitu dia cintai, yang mencintai dirinya hendak dijodohkan dengan laki-laki lain oleh kedua orang tuanya? Mimpi buruk macam apa ini?"Ka-kamu bercanda, kan, Lin?" Burhan mencoba meraih sisa-sisa harapannya, berharap ini semua hanya candaan yang sengaja Linda buat untuk mengerjai dirinya.Air mata Linda menitik, ia menundukkan kepalanya seraya menggeleng perlahan. Sebuah jawaban atas pertanyaan penuh harapan yang keluar dari mulut Burhan tadi. Kini Burhan makin beku
Sisca menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air matanya banjir. Sementara Burhan sibuk menyeka air mata dengan sapu tangan lusuh yang ternyata milik Linda. Benda yang sampai sekarang masih dia simpan dan bawa kemana-mana.Sisca sendiri tidak pernah menyangka bahwa ternyata sang papa di masa lalu pernah memiliki hubungan asmara dengan mama Arnold. Bahwa papanya pernah memiliki perasaan sedalam itu pada calon besan perempuannya."Kau tahu, Sayang? Papa hanya tidak ingin kamu merasakan apa yang dulu pala rasakan. Ditolak karena tidak sederajat dan sama kayanya dengan orang yang kamu cintai itu sangat menyakitkan sekali, Sis." Burhan mengelus kepala anak perempuannya itu.Sisca mengangkat wajahnya, menatap sang papa yang masih berlinang air mata."Papa masih mencintai tante Linda?" sebuah pertanyaan yang pertama kali muncul ketika tahu papanya pernah punya kisah cinta sedramatis itu.Burhan menghela nafas panjang, menatap
"Papa balik ya, Sis." Burhan tersenyum, menatap Sisca yang tengah menyeruput kopi di cangkirnya.Sisca meletakkan cangkir di meja, menatap sang papa dengan tatapan sedu. Obrolan mereka kemarin malam masih terngiang. Tentang hubungan Sisca dengan Arnold, tentang hubungan masa lalu orang tua mereka yang begitu mengejutkan."Papa yakin nanti mau langsung pulang? Nggak nginep sehari lagi gitu? Papa belum ke coffee shop Sisca?" Sisca rasanya berat melepas sang papa pulang ke Semarang."Kapan-kapan saja." Burhan kembali tersenyum, "Nggak sia-sia kamu kuliah, ilmu mu bisa kamu terapkan juga dan membawamu di posisi sekarang." Burhan tidak menyangka bahwa putrinya bisa memimpin dan mengelola coffee shop sampai sepesat itu.Sisca tersenyum, meraih tangan sang papa dan meremasnya dengan begitu lembut. "Maaf Sisca sudah mengecewakan Papa perihal hubungan Sisca dengan Arnold, Pa. Maafkan Sisca yang tidak bis-.""Sudah. Jangan suka menyesali ap
Linda mengerutkan kening, ia yang semula tengah santai sambil membolak-balik halaman sebuah majalah itu sontak menutup majalah di pangkuannya, mencoba fokus pada apa yang hendak Arnold katakan terhadap dirinya. Ada apa sampai nada bicara Arnold terdengar begitu serius?"Mami lagi santai, memang kamu pengen ngomong apa, Ar?" Linda melempar majalah ke atas meja, rasanya akan ada hal yang begitu penting yang hendak dibicarakan."Penting Mi, Arnold harap Mami mau kooperatif menjawab semua pertanyaan Arnold."Kembali kening Linda berkerut, kenapa jadi seserius ini sih? Ada masalah apa dan ada hubungan apa dengan dirinya?"Mami kenal Burhan Santoso?"***Dirly memilih melangkah keluar dari ruangan itu dan membiarkan Arnold mengobrol serius dengan sang mama. Sungguh pelik sekali masalah yang dihadapi orang satu itu? Apakah ini balasan karena dia selalu menjadikan wanita hanya sebatas mainannya dulu?"Kayaknya gue harus tobat deh! Ogah ntar nas
Sisca tengah membantu menyiapkan pesanan-pesanan kopi ketika tiba-tiba Arnold sudah berdiri dan tersenyum lebar di depan meja bar. Sisca rasanya ingin melempar cangkir yang dia pegang tepat mengenai jidat laki-laki itu saking gemasnya."Jangan terlalu keras berkerja, istirahatlah dan aku transfer berapa butuhmu!" godanya yang benar-benar membuat Sisca melemparkan sesuatu ke wajah itu, ya meskipun bukan cangkir, tapi serbet itu sukses mendarat tepat di wajah Arnold."Astaga, kebiasaan banget sih, Sayang!" protes Arnold yang melemparkan balik serbet itu, tidak pada kekasihnya, melainkan ke meja yang ada di depan matanya."Biarin! Siapa suruh gangguin orang kerja." Sisca meletakkan cangkir itu, melepas appron yang dia kenakan lalu memberi kode pegawainya untuk melanjutkan pekerjaan Sisca. "Kenapa lagi?"Arnold tersenyum lebar ketika melihat Sisca akhirnya keluar dan menghampirinya. Memang itu yang dia harapkan, bukan?"Udah makan? Makan keluar yuk!"
"Aku sudah bilang mami."Sisca yang sudah membuka mulut itu kontan menarik kembali sendoknya, menatap Arnold dengan tatapan terkejut. Dia sudah bilang mamanya? Soal apa? Soal Sisca yang ternyata merupakan anak dari mantan kekasih sang mama?Sisca meletakkan sendok miliknya, menatap Arnold yang masih belum menyentuh makanannya sama sekali. Duduk di kursinya sambil tersenyum menatap Sisca dengan sorot mata yang begitu lembut. Sisca menghela nafas panjang, kenapa rasanya dia takut membahas hal ini?"Apa tanggapan beliau?" Sisca begitu takut mendengar jawaban dari pertanyaan ini, namun dia begitu ingin tahu."Mami pengen ketemu kamu dulu." jawab Arnold yang kembali membuat mata Sisca terbelalak kaget."Ketemu aku?"Arnold tertawa, membuat Sisca sontak mencebik kesal. Tidak tahukah dia bagaimana Sisca begitu risau dan takut setengah mati?"Tentu, bukankah akhir bulan ini kamu juga akan bertemu dengan beliau? Mungkin
Linda menatap jalanan yang padat itu dari tempat dia duduk. Dia sudah berada di mobil, dalam perjalanan menuju Solo. Hendak menemui sosok itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang membuat anak sulungnya tergila-gila setengah mati? Gadis yang rupanya merupakan anak dari laki-laki yang pernah dia cintai dulu sekali.Ah ... benarkah dulu? Benarkah sekarang dia sama sekali tidak memiliki perasaan itu lagi? Linda menghela nafas panjang, menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang sudah melingkar di sana puluhan tahun. Linda memutar cincin itu. Ada rasa pedih menjalar di hati Linda, rasa yang membuat matanya memerah seketika.Burhan Santoso, dia laki-laki sederhana. Sederhana tapi penuh kharisma. Dia cerdas, namun tidak banyak bicara. Dia tidak pernah menonjolkan dirinya, tapi kemampuan otak dan kemampuannya berbicara di depan umum yang selalu berhasil membuat Burhan lebih menonjol dari mahasiswa lain."Kak, aku dari LPM nih. Boleh
"Nggak sama Rizal?" tanya Sisca setelah mencatat pesanan tambahan pesanan yang Brian inginkan. Ditatapnya laki-laki itu dengan seksama.Brian tersenyum getir, ia malah duduk di kursi yang ada di depan bar. Mengabaikan sejenak teman laki-laki yang dia bawa ke mari."Cari selingan, Sis. Kalau dia bisa main dobel, kenapa aku nggak bisa?" jawab Brian sambil terkekeh.Sisca menyerahkan lembar berisi pesanan itu pada pegawainya, memberi kode agar pesanan itu segera di proses. Dia menyimak sosok yang wajahnya berubah masam itu. Dia tadi bilang apa? Cari selingan? Selingkuh maksudnya?"Kalian masih jalan, kan?" Sisca benar-benar penasaran, meskipun jujur dia masih syok dan sedikit ngeri mengingat bagaimana mereka berdua bercumbu di ruang praktek Rizal dulu.Brian tersenyum dan mengangguk pelan, menghela nafas panjang dan nampak memalingkan wajah. "Kita masih jalan, Sis. Tapi tahu sendiri, kan, dia dituntut normal oleh orang tu