"Kenapa di dalam, Ar?" Sisca memekik keras, ia merasakan betul cairan hangat itu memenuhi rahimnya.
Arnold tidak menjawab, ia malah menjatuhkan diri di atas tubuh Sisca dan memeluk erat-erat tubuh itu tanpa mengeluarkan miliknya dari dalam tubuh Sisca.
"Ar, minggir dulu!" tentu tempat yang muncul dalam pikiran Sisca saat ini adalah kamar mandi. Namun Arnold begitu posesif, mendekapnya begitu erat tanpa mengizinkan Sisca bergerak barang sedikitpun.
"Jangan banyak bawel, Sis. Aku masih ingin seperti ini dulu!"
Kontan Sisca menggebuk lengan itu sekeras-kerasnya, "Kau lupa apa yang baru saja sudah kamu lakukan, heh?"
Arnold tidak menjawab, bergeming di tempatnya yang makin membuat Sisca kesal setengah mati. Ia berusaha memberontak, namun tenaganya kalah kuat. Ia berkali-kali diterbangkan begitu tinggi dan di buat meledak dengan begitu luar baisa tadi, hingga kini rasanya Sisca tidak lagi berdaya apa-apa.
"Ar!" Ia terus berusaha melepaskan diri,
"Mami?" Tentu Arnold terkejut luar biasa mendapati Linda sudah duduk manis sambil melipat tangan. Ia yang keluar hendak mengambil air dingin dari kulkas sontak melupakan semua niatnya itu, terperanjat melihat kejutan luar biasa yang dia dapatkan malam ini. "Pakai dulu bajumu! Tidak sopan bertemu orang tua dengan bertelanjang macam itu!" seru Linda ketika melihat Arnold begitu syok dengan kehadiran dirinya. Arnold yang menyadari hal itu sontak kembali masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa, menutup pintu kamar itu dan langsung menghambur ke atas ranjang. Dia duduk di tepi ranjang, berusaha menjelaskan kejutan apa yang mereka dapatkan malam ini. "Sis ... serius bangun dulu, Sis!" Arnold panik, dia menepuk pipi Sisca dengan bertubi-tubi, membuat Sisca lantas mengerjap perlahan-lahan. "Ar, nggak kuat lagi! Aku udah lemes banget, Ar!" rintih Sisca tanpa membuka mata. "Bukan begitu, Sayang! Mami di depan!" jel
Sisca meremas-remas ujung kaosnya, ia masih duduk di ruang tamu itu bersama Linda. Ya ... hanya berdua karena Arnold meminta izin untuk mandi terlebih dahulu setelah obrolan panjang-lebar mereka barusan.Sisca tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa, jujur ia begitu takut. Yang duduk di hadapannya bukan hanya ibu dari Arnold, sang kekasih, tetapi juga isteri dari konglomerat yang mana Sisca pernah bekerja di perusahaannya, terlepas dari fakta bahwa wanita ini adalah mantan kekasih sang papa."Aku tidak bisa membayangkan, pasti papamu sangat murka dan kecewa kemarin, Sis." ujar Linda yang akhirnya buka suara.Sisca tersenyum getir, "Papa memang sangat kecewa, Tante. Tapi papa lebih kecewa setelah tahu siapa Arnold sebenarnya."Linda menatap nanar Sisca yang nampak terlihat sangat gugup itu. Kecewa setelah tahu siapa Arnold sebenarnya? Apakah itu karena siapa ibu dari kekasih anaknya ini?"Tidak salah kalau dia membenciku, Sis." desis Linda dengan
Selepas makan malam mereka kembali menuju rumah, sepanjang jalan obrolan hangat dan penuh kelakar, membuat tawa tidak henti-hentinya pecah di antara mereka. Semuanya baik, agaknya Linda masih sama seperti yang dulu, sosok yang kemarin Burhan ceritakan panjang lebar kepadanya. Sedetik kemudian tawa Sisca lenyap, masih ada satu sosok lain yang dia sendiri belum kenal dan belum tahu pasti bagaimana kepribadiannya. Dan apakah dia juga akan menerima Sisca seperti Linda yang begitu terbuka dan welcome ini? "Kapan-kapan kalau nggak sibuk ikut Mami shopping ke Paris, Sis." ujar Linda memecah lamunan Sisca. Mami. Sama seperti Burhan yang sudah membahasakan Arnold memanggilnya papa, Linda pun demikian. Sisca kembali tersenyum, menoleh dan menatap Linda dengan seksama. "Sisca belum punya pasport, Mi. Sisca urus dulu ya?" jawab Sisca sambil tersenyum. "Iya urus dulu, nanti kabari Mami kalau udah ready."
"Hei, serius nggak apa-apa meninggalkan mereka berduaan aja, Ar?" tentu Sisca protes, mereka meninggalkan orang tua mereka hanya berduaan selarut ini."Tentu, mereka perlu ruang bicara empat mata, bicara tanpa takut mengeluarkan apapun yang menganjal di hati mereka masing-masing."Bagi Arnold ini penting. Mengingat sejarah mereka yang sedikit menyakitkan di masa lalu, agaknya mereka perlu banyak bicara dari hati ke hati tentang apa saja yang sudah mereka lalui selama ini. Terlebih perihal masalah Arnold dan Sisca. Jadilah Arnold memutuskan untuk membawa Sisca kabur dan membiarkan mereka ngobrol berdua saja."Aku takut kalau me-.""Takut mereka balikan? CLBK gitu?" potong Arnold yang langsung dapat pelototan tajam dari Sisca. "Takut terus kita nggak jadi nikah?""Ar ... aku serius!" Sisca benar-benar gemas pada sosok itu, ini orang kenapa begitu santai sih? Padahal jantung Sisca sejak tadi tidak karu-karuan dan begitu cemas, kenapa dia bisa begitu s
Arnold mematikan mesin mobil, ia langsung melepas seat belt dan melangkah turun ketika ingat dua orang itu sudah berdiri di depan pagar rumah sambil melipat tangan di dada. Arnold sontak nyengir lebar, hendak mendekati mereka ketika kemudian Linda lebih dulu buka suara."Bagus! Bapaknya di sini kamu masih berani juga ya main bawa kabur anak orang?" Linda melotot gemas ke arah sang anak, membuat Arnold kembali nyengir memamerkan giginya yang putih bersih."Niat Arnold sih biar Mami sama Papa bisa ngobrol berdua gitu." gumam Arnold membela diri. "Sudah selesai, kan, ngobrolnya?"Linda menghela nafas panjang, menatap Arnold dan Sisca yang kompak nyengir lebar. Begitu pula dengan Burhan, dia hanya menggeleng perlahan sambil mengulum senyum."Sis, pulang! Tidur di rumah!" titah Burhan yang langsung diikuti anggukan kepala oleh Sisca.Sisca melangkah mendekati Linda dan mencium tangan Linda dengan hormat, berdiri di samping sang p
"Rajin amat pagi-pagi udah bangun, Sis?" komentar Burhan ketika sepagi ini menemukan anak gadisnya sudah sibuk di dapur.Sisca sontak membulatkan matanya, "Pa, tiap hari Sisca begini ih!" ia lantas mencebik, dia sudah terbiasa seperti ini semenjak keluar dari rumah dan kuliah di luar kota.Tawa Burhan pecah, ia duduk di salah satu kursi dan menatap Sisca yang sibuk mengaduk sesuatu di penggorengan. Dari baunya seperti nasi goreng, ah ... bahkan sejak SD pun, Sisca sudah pandai memasak masakan itu seorang diri."Tak kau ajak calon suami dan calon mama mertuamu sarapan?"Tangan Sisca tampak berhenti mengaduk nasi dalam wajan, ia mengecilkan api dan menoleh menatap sang papa yang mengamatinya dari kursi tempat dia duduk."Papa nggak masalah kalau tante Linda ikut bergabung sama kita buat sarapan?" tentu Sisca perlu mempertanyakan hal ini, bagaimana pun dulu pernah terjadi sebuah ikatan di antara mereka berdua, dan sebuah hal yang tidak cukup baik menj
"Aku pamit, Han."Burhan mengangguk pelan, ia tersenyum menatap Linda yang pagi ini sudah hendak kembali ke Jakarta. Mobil Sedan mewah itu sudah berhenti di depan rumah Arnold, tampak seorang laki-laki muda berpakaian serba hitam berdiri tegap di samping mobil."Save flight, Lin. Aku tunggu kabar kelanjutan obrolan kita semalam." tentu itu yang Burhan nantikan, ia ingin anak gadisnya segera mendapat kepastian, terlebih dia sudah begitu jauh berbuat, bukan?"Akan langsung aku kabari, Han. Jangan khawatir." kini Linda menatap Sisca yang berdiri di samping Burhan, tersenyum, meraih tangan Sisca dan meremasnya lembut. "Mami balik ya, Sayang. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mami, ya?"Sisca tersenyum, mengangguk pelan tanda dia mengerti dan paham mengenai apa yang tadi diperintahkan Linda kepadanya."Kabari Sisca kalau Mami sudah sampai, ya?" sebuah hal sepele yang sangat dinantikan oleh orang-orang ketika orang yang dia saya
"Sejauh apa hubungan kamu sama Dirly?"Jelita memucat, dia menatap sang bos dengan tatapan serius. Kenapa bosnya menanyakan hal itu? Apakah ada sesuatu rahasia yang laki-laki itu simpan darinya, yang tidak pernah Jelita ketahui? Dia belum beristri, bukan?"Me-memangnya kenapa, Pak?" tanya Jelita dengan mata yang tidak lepas dari wajah Arnold.Arnold menghela nafas panjang, menundukkan pandangannya sejenak lantas kembali menatap Jelita dengan seksama."Tidak apa-apa, aku hanya sedang berusaha melindungimu."***"Si Dirut Dajjal kemana sih?"Jelita terkejut setengah mati dengan kehadiran tiba-tiba sosok itu di depan mejanya. Ia fokus menatap wajah itu lantas menggeleng perlahan."Saya nggak tahu, Pak. Tadi saya lihat masih di ruangan beliau." jawab Jelita yang meninggalkan sejenak pekerjaannya.Nampak sosok itu lantas duduk di kursi yang ada di depan Jelita, mengusap wajahnya sambil mendengus ke