Tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara keduanya. Bibir itu bertaut dengan begitu mesra dan sedikit liar. Baju-baju itu berserakan di lantai, menandakan bahwa dua anak manusia berbeda jenis kelamin itu sudah begitu terbakar sampai tidak menghiraukan kemana perginya pakaian mereka.
Arnold melepaskan pagutan bibirnya, menatap dalam manik yang pasrah di bawah kuncian tubuhnya. Wajah cantik itu sudah memerah, dengan mata sayu yang bersorot begitu menggairahkan.
“Tunggu aku ya?” bisik Arnold lirih.
“Untuk?” tampak kening itu berkerut, membuat Arnold lantas mendaratkan kecupan di kening itu.
“Datang ke papa dan melamarmu.”
Senyum Sisca merekah, “Hanya sendiri? Atau bersama keluargamu?”
“Sendiri ataupun bersama mereka, aku hanya akan memastikan bahwa hanya kamu yang akan aku nikahi. Itu lebih penting dari pertanyaanmu tadi, Sayang.”
Sisca hendak kembali bersuara, namun Arno
Arnold tengah menyusun draft laporan khusus yang selalu papanya minta ketika panggilan itu masuk ke dalam ponselnya. Sebuah nomor asing masuk, dan Arnold tahu betul siapa yang meneleponnya itu. Ia mengabaikan sejenak pekerjaan yang ada di depan matanya, meraih ponsel itu dan mengangkat panggilan dari seseorang yang sudah lama ia nantikan kabarnya.Bukan!Bukan Scarletta yang dia maksud, melainkan sosok lain yang berada di satu wilayah dengan wanita yang hendak dijodohkan dengan dirinya.“Halo, gimana? Ready semua, kan?” tanya Arnold langsung ke tujuan.“Siap, lu jangan khawatir. Hari ini juga gue bakalan eksekusi sesuai rencana kita dulu.”Senyum Arnold merekah sempurna, sudah saatnya! Dan dia sudah tidak sabar lagi menantikan semuanya berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan.“Inget, main yang rapi. Gue nggak mau ambil resiko, Sam!” Arnold menyandarkan tubuhnya di kursi, ia tampak sudahsangat tidak sa
“KAU GILA!”Sisca sontak berteriak, membuat Arnold refleks membungkam mulut Sisca sebelum beberapa pegawai dan pelanggan coffe shop itu beralih memperhatikan mereka berdua.“Jangan teriak-teriak dong, ah!” Arnold sontak melepaskan bekapan tangannya, Sisca menatap nanar lelaki itu, tampak sangat terlihat wajahnya begitu syok.“Apa maksud semua itu, Ar?” suara Sisca sama sekali tidak bisa kalem, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan dia lihat itu.Arnold menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Melambaikan tangan ke arah waitres dan menantikan sosok itu mendekati meja mereka.“Tolong satu hot arabica sama choco croissant satu.”“Baik, ditunggu sebentar Bapak.” Gadis itu lantas menoleh ke arah Sisca, “Ibu mau pesan apa?”Sisca memijit pelipisnya perlahan, ia menghela nafas panjang, kemudian menjawab pertanyaan itu dengan singkat, “Baileys iced
Sisca akhirnya menyerah. Demi apa, sejak kapan dia menjadi begitu matrealistis? Ia membiarkan Arnold melakukan apa yang dia mau setelah jenis dan tipe mobil telah mereka sepakati berdua di meja makan tadi.Ah ... jujur ada perasaan bahagia yang menyeruak di dalam hati Sisca, hanya karena begitu meninginkan dirinya, Arnold sampai rela merogoh kocek dalam-dalam hanya demi membelikan Sisca mobil? Sisca tersenyum, mulai menikmati sentuhan-sentuhan yang dilancarkan Arnold kepadanya. Gelayar-gelayar nikmat itu mulai membelenggu Sisca, membuat lengguhan-lengguhan erotis dan seksi itu akhirnya meluncur juga dari bibir Sisca.“Suka juga, kan?” ejek Arnold sambil tersenyum mengejek.“Ah ... yang jelas besok mobilnya tetep jadi!” tukas Sisca tegas.Arnold mencebik, ia lantas kembali melakukan serangan demi serangan itu. Malam ini juga akan Arnold teguk habis madu dari tubuh ini. Dia sudah keluar uang ratusan juta untuk membuat Sisca menyerahk
“Bagus yang hitam, Sayang.”Sisca mencebik, dengan tegas ia menggelengkan kepalanya dan melipat tangan di dada. Memang Arnold yang membeli mobil itu, tapi apakah dia lupa bahwa mobil itu dia beli untuk Sisca? Sebagai uang suap agar Sisca meladeni ajakannya bermandi peluh semalam?“No! Aku mau yang putih!” ujar Sisca tegas.Dia suka mobil warna putih, jadi terserah Arnold mau bilang apa, dia tetap mau yang warna putih. Terlebih sejak pertama kali launching, Honda Civic Turbo warna putih itu sudah menggodanya dengan luar biasa.Arnold membulatkan matanya, menghirup udara banyak-banyak lantas menoleh menatap wanita cantik dengan rok mini berwarna hitam itu.“Okelah, saya ambil yang putih, Mbak. Isteri saya maunya yang putih soalnya.” Desis Arnold yang mampu membuat Sisca hampir melonjak.Apa tadi Arnold bilang? Isteri?“Baik kalau begitu, Bapak. Untuk DP-nya bis-.”“Saya cash s
Arnold membawa mobilnya meninggalkan halaman parkir kantor, ia harus mengejar mobil itu. Tidak hanya untuk mengambil kembali ponselnya, tetapi juga bicara banyak hal dengan Sisca. Sekali lagi ia bersyukur ada Dirly yang tengah magang, kalau tidak mana mungkin dia bisa keluyuran macam ini di di jam kantor? Bisa habis dilibas sang papa kalau tahu begini kelakuan Arnold di sini.“Kenapa sih dari dulu ngadepin wanita itu lebih sulit dari ngadepin dosen paling killer sekalipun? Heran gue!” Arnold tersenyum kecut, terlebih menghadapi Sisca, Arnold sendiri terkadang sampai heran!Arnold terus membawa mobilnya menyusuri jalanan, pikirannya tengah bergelud mencari solusi, bagaimana caranya merayu sosok itu agar tidak lagi ngambek. Segala macam perhiasan, sepatu dan tas Sisca tolak semalam, hanya mobil yang kemudian dia mau terima dan menuruti apa yang Arnold mau semalam, masa iya dia harus memberikan mobil lagi?Arnold buru-buru membelokkan mobilnya ke halama
Ponsel seharga puluhan juta itu terhempas dan hancur berderai di lantai unit apartemen di kawasan elite yang berada di tengah kota Manhattan. Tampak terlihat si pemilik begitu frustasi dengan wajah memerah dan mata berurai air bening."You are son of bitch, Jordan!"Tampak wanita itu memaki, sungguh rasanya ia ingin meremukkan tulang-belulang laki-laki itu! Nafasnya memburu, tangan gadis itu mengepal kuat, ia benar-benar marah luar biasa dibuat laki-laki yang dia sebut bajingan tadi.Ia masih menikmati emosi yang menggerogoti hatinya ketika ketukan pintu itu tiba-tiba mengejutkan dan membuatnya terlonjak kaget."Oh damn!" ia mengacak rambutnya dengan kesal, dia sudah terjebak!Dihelanya nafas panjang, lantas dengan santai melangkah menuju pintu. Dengan sekali tekan, ia menarik knop pintu. Nampak laki-laki berkulit hitam itu sudah berdiri di depan unit apartemennya. Merangsak masuk dan menghimpit tubuhnya di tembok."A
Arnold tersentak ketika pintu ruangan kerjanya terhempas, mulutnya sontak manyun ketika mendapatkan Dirly berdiri di sana."Lu tuh ya, nggak ada sopannya sama sekali sama gue!" gerutu Arnold yang masih fokus menatap layar MacBook di hadapannya."Gue nggak habis pikir, Ko. Lu tuh bener-bener, ya?" Dirly melangkah, duduk di depan laki-laki yang sontak mengangkat wajah dan menatap dirinya dengan seksama."Gue? Gue kenapa lagi?" tanya Arnold heran, dia 'menidurkan' sejenak MacBook-nya, serius dengan Dirly yang wajahnya ditekuk itu.Dirly menghela nafas panjang, ia tampak begitu gusar membuat alis Arnold berkerut. Sebenarnya ada apa? Apa yang membuat Dirly jadi macam itu?"Secara tidak langsung lu udah membahayakan Sisca, Ko!"Mendengar nama Sisca disebut, Arnold makin serius menyimak. Semua hal yang berhubungan dengan Sisca, tentu akan menjadi urusannya juga!"Membahayakan yang bagaimana sih? Gue nggak paham.
"Nih."Arnold menoleh, tampak amplop berwarna emas itu disodorkan Sisca yang baru saja pulang dari coffe shop mereka. Undangan? Siapa yang menikah?"Undangan siapa?" ia meraih benda itu, alisnya berkerut, sementara Sisca duduk di sisinya di meja makan, meraih cangkir berisi kopi milik Arnold dan menyesapnya."Ini kan ...." Arnold tertegun membaca nama yang tertulis di sampul undangan itu, jangan bilang kalau Rizal yang tertulis di sampul undangan itu adalah ...."Tadi dia mampir ke cafe, nganterin itu dan minta supaya aku dateng ke acaranya." jelas Sisca sambil meletakkan cangkir yang isinya tinggal ampas kopi di dasar cangkir itu.Arnold tersenyum, meletakkan undangan itu di meja dan menatap Sisca dengan seksama. Secepat itu sudah dapat mangsa lagi? Ah ... agaknya dokter hewan itu tidak bisa diremehkan begitu saja."Gadis mana yang hendak dia jadikan tumbal ini?" tanya Arnold dengan nada mengejek."Pilihan orang tuanya, udah nggak sa