“Keenan, kamu mau apa?” tanya Gladys terkejut, ketika mendapati tangannya diborgol untuk kedua kalinya.
“Diam! Jangan banyak bicara!” Keenan memerintah Gladys sambil melayangkan tatapan tajam pada gadis itu. Kemudian dia menutup pintu mobil dan langsung berjalan menuju kursi kemudi.
Gladys mencoba untuk melepaskan tangannya. Dia mengguncangkan tangannya berharap borgol itu bisa lepas dari tangan mungilnya. Saat Keenan sudah duduk di sampingnya, Gladys menoleh ke arah laki-laki itu dengan tatapan tajam.
“Lepaskan aku! Aku bukan seorang tersangka!” raung Gladys. Dia sangat tidak terima dengan perlakuan Keenan saat ini.
Keenan tak memedulikan ucapan Gladys sama sekali. Dia menstarter mobil dan langsung menginjak pedal gas. Membawa mobilnya keluar dari parkiran basement.
Kesal karena tak mendapatkan respon dari laki-laki dingin itu. Gladys memukul lengan Keenan sambil terus memanggil namanya. Berharap laki-laki itu m
Harap bijak dalam membaca chapter ini, ya.Happy reading~***Keenan mengunci pintu besi itu dan melihat Gladys yang mulai ketakutan melihat tempat ini. Dia menyeringai puas, ini lah akibatnya jika Gladys sering melawan pada Keenan. Namun di satu sisi, dia merasa senang akhirnya bisa membawa Gladys ke tempat ini.“Keenan, tempat apa ini?” tanya Gladys gemetar, matanya menatap sekeliling ruangan.Ruangan ini hampir mirip dengan tempat pertama kali sang gadis di sekap. Tapi … tempat ini lebih terlihat menyeramkan. Di pojok ruangan, dia melihat sebuah ranjang. Selain itu terdapat peralatan aneh yang menggantung di dinding ruangan itu. Gladys menyipitkan matanya, mencoba menatap ke arah benda aneh itu. Oh, Tuhan! Apa itu? Kenapa ada ... ah, Gladys tak sanggup untuk melihatnya lagi. Buru-buru dia memejamkan matanya.Keenan tak menjawab, dia menghampiri Gladys dengan membawa beberapa tali berwarna mer
Karena terlalu asyik dengan tubuh Gladys, sampai-sampai dia melupakan satu hal yang penting. Padahal Keenan tak melakukan aktivitas di atas ranjang bersama Gladys, tapi tubuhnya itu memang membuat Keenan candu. Sayangnya Keenan harus meninggalkan karya seni yang baru saja dia buat itu. Agak sedikit kesal, tapi tamunya ini sangat penting dan tak mungkin dia lewatkan begitu saja.Suara hentakan sepatu pantofel yang sedang dikenakan oleh Keenan mendominasi ruangan besar dan kosong itu. Dia baru saja masuk ke sebuah ruangan yang tepat berada di depan ruang Gladys berada. Terdapat dua orang laki-laki di sana. Satu orang berdiri dengan mengenakan kemeja berwarna hitam. Sedangkan yang satunya lagi sedang berlutut dengan posisi tangan terikat dan kepala tertutup kain.“Selamat siang, Mas. Maafkan jika saya mengganggu Anda,” ucap laki-laki yang sedang berdiri itu dengan rasa tak enak.Keenan tersenyum sungging sambil mengibaskan tangannya. Laki-laki itu hanya
Gladys membuka matanya secara perlahan. Dengan pandangannya yang masih kabur, dia berusaha memindai sekelilingnya. Tempat yang terasa asing baginya. Kemudian dia mendapati seseorang tertidur tepat di tepi ranjang.“Keenan?” gumam Gladys, saat dia yakin orang yang tidur di sampingnya itu adalah laki-laki yang tadi mengikatnya dengan tak berperasaan.Seketika hati Gladys bergejolak panas. Dia masih tidak terima dengan perlakuan Keenan padanya. Ingin rasanya menikam laki-laki ini sekarang juga. Tapi … Gladys tak mempunyai keberanian untuk menyakiti seseorang.Gadis itu masih memandangi wajah Keenan yang masih tertidur. Ternyata laki-laki bengis itu sangat polos ketika tertidur. Sungguh, jika orang yang tidak tahu bagaimana tabiat Keenan aslinya, pasti akan mengira bahwa laki-laki ini adalah laki-laki yang hangat dan baik.Untuk sepersekian detik Gladys pun terpesona dengan visul Keenan. Kulit wajah Keenan terlihat sangat terawat untuk ukur
“Ah, sial!” gerutu Gladys sambil mengacak rambutnya. Perasaannya kini tak tenang, mungkin lebih tepatnya dia sedang merasa ketakutan.Sekarang sudah pukul delapan, tapi Keenan tak kunjung datang ke rumah sakit. Gladys ingat betul, tadi Keenan bilang akan pulang sebentar ke rumah. Tapi … sekarang sudah hampir tiga jam dan dia belum juga datang ke rumah sakit.Eh, sebentar. Kenapa Gladys mengharapkan kedatangan Keenan? Padahal bagus bukan jika laki-laki itu tidak ada di dekatnya. Mengingat perlakuan Keenan padanya hari ini cukup membuatnya terkejut. Selama 23 tahun hidupnya, dia belum pernah dipermalukan seperti tadi.Tapi … entah kenapa disaat seperti ini Gladys mengharapkan Keenan ada di sampingnya. Apalagi saat tadi laki-laki itu meminta maaf padanya. Hati Gladys terasa hangat mendengar satu kata maaf yang keluar dari mulut laki-laki berengsek itu. Kata maaf yang terdengar sangat tulus walau terkesan malu-malu. Dan Gladys, bisa merasak
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Keenan pada laki-laki yang sedang bersama dengan Gladys. “Menemani Gladys. Tadi dia meneleponku dan meminta untuk menemaninya,” ucap laki-laki itu santai. Keenan melirik ke arah Gladys, seolah meminta penjelasan dari gadis itu. Gladys tersentak ketika ditatap dingin oleh Keenan. “Anu … aku menelepon Mas Erza soalnya kamu tidak mengangkat teleponku,” ucap Gladys sedikit ragu. “Benarkan? Dia yang menelponku, tenang saja aku tidak macam-macam padanya kok,” timpal Erza. “Kenapa kamu tidak sabar menungguku datang?” Keenan kini sudah berdiri di depan Gladys dan Erza yang sedang duduk di sofa. Perasaannya sedikit kesal ketika mendapati Gladys bersama dengan laki-laki lain. Walaupun gadis itu bersama dengan sahabatnya yang sudah dia percaya. “Karena aku terlalu takut sendirian di sini. Dan bayangkan kalau aku menunggumu? Kamu baru datang jam segini, yang ada aku keburu mati ketakutan,” dengus Gladys kesal
Gladys sedang merapikan barangnya, hari ini dia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Antara senang dan tidak, itu lah yang sedang dirasakan Gladys sekarang. Senang, karena dia bisa pulang dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Tidak, karena … itu adalah rumah Keenan.Tiba-tiba saja dia mengingat kembali obrolan dengan Erza malam itu. Laki-laki itu berpesan kepada Gladys untuk sabar menghadapi Keenan. Dia juga berpesan, sebisa mungkin Gladys harus bisa membuat Keenan merubah pandangannya tentang perempuan. Tapi entah kenapa Gladys tak yakin bisa melakukan hal itu.“Sudah berkemas?”Gladys tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Lalu dia mendapati sang dokter yang datang ke ruangannya. Di belakang dokter itu berdiri laki-laki yang dia kenal.“Sudah, Dok,” ucap Gladys sambil mengangukkan kepalanya. Dia melirikkan matanya pada Keenan. Syukurlah, sepertinya mood laki-laki itu sedang baik.“Baiklah kalau begitu,
Maaf. Satu kata yang sangat jarang keluar dari mulut Keenan. Dia merasa muak ketika harus mengucapkan kata tersebut. Alasannya, karena sedari kecil dia selalu mengeluarkan kata maaf hampir setiap hari. Padahal dia tak pernah melakukan sebuah kesalahan, tapi dia harus berkata demikian jika sang ibu mulai memarahinya.Namun hari itu, entah kenapa Keenan bisa mengucapkan kata terlarang tersebut, pada gadis yang beberapa bulan ini jadi objek pemuas hobi gilanya. Dia sendiri sempat berpikir apa dirinya gila? Tapi saat melihat kondisi Gladys yang pingsan dan tak berdaya, dia merasa bahwa perlakuannya ini salah. Dan sudah saatnya dia mengucapkan satu kata yang sudah lama tidak dia katakan.“Ekhm … kamu sudah selesai?” tanya Keenan sedikit salah tingkah. Dia mencoba menutupi rasa senangnya, karena Gladys sudah mau memaafkannya.“Eh?” Gladys terheran. “Selesai apa?”“Sarapan,” jawab Keenan sekenanya.Gl
Sudah lebih dari satu bulan Gladys harus menjalani kehidupan wajib lapor setiap saat pada Keenan. Awalnya memang terasa berat, tapi lama kelamaan dia terbiasa. Lagi pu;a apa sih kegiatan Gladys? Setiap harinya saja Gladys harus berada di sisi Keenan. Bahkan saat ada tugas ke Bandung untuk mengontrol projek kerjasama, Gladys pun diwajibkan ikut.Tapi sudah satu bulan juga Keenan tak melakukan hal aneh pada Gladys. Jika diperhatikan lagi, laki-laki itu bisa sedikit lebih baik pada Gladys. Semoga saja sikapnya berubah dan selalu seperti ini. Gladys pun akan sebisa mungkin untuk tidak membuat laki-laki itu marah.“Mas Erza, ini apa?” tanya Gladys yang melihat sepucuk undangan di meja kerjanya.“Oh itu undangan untukmu. Minggu depan ada pesta ulang tahun Pak Adrian, mantan CEO perusahaan ini,” jawab Erza.“Pak Adrian? Ayahnya Mas Aidan? Berarti Pamannya Mas Keenan?”Erza menjentikkan jarinya. “Iya. Acaranya ming