Arinda belum menjawab. Hanya tangis dan kehancuran yang di tampilkannya dari sorot mata sebagai jawaban.
Sudash mengepalkan tangannya erat. Dia tak tega melihatnya menangis! Hal ini mengingatkannya pada sang Adik yang sudah lama tak di temuinya. Saat sang adik menangis dan mengadu padanya. Dia akan mengelap ingus dan air mata yang berantakan di wajahnya.
"Tuan tidak akan percaya. Tidak akan ada yang percaya dengan apa yang menimpa saya. Bahkan Tuan Muda sekalipun," ujar Arinda, sesak dan lirih.
Seperti di remas sesuatu, hati Sudash seperti berdenyut. "Apa yang sudah menimpamu, Arinda? Kenapa kau begitu hancur?" batinnya, masih memperhatikan Arinda yang menangis terisak.
Setengah jam diam dengan mendengar suara tangisan Arinda. Sudash membiarkannya mengeluarkan sesak yang mungkin menyiksa dadanya. Menurut yang dia pelajari, jangan halangi wanita yang menumpahkan kesedihan dengan tangis. Walaupun tulang rusuk mereka lebih banyak dari
Arinda menggeliat nyaman di atas ranjang, memiringkan tubuhnya, dia menatap jam di atas nakas."Jam sepuluh," gumamnya sambil menguap. "Lama juga aku tidur."Beringsut bangkit, Arinda menatap kamar mewah yang di tempatinya. Dia ingat, menjelang subuh tadi dia bertemu dengan Sudash, hingga akhirnya sampai dan tidur di sini. Suara perutnya terdengar penanda lapar dan itu membuatnya teringat sesuatu."Aku benar-benar hamil?" ujarnya pelan, menatap perutnya yang masih langsing.Mengusap wajahnya, dia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seorang pelayan mengandung anak majikannya? Apakah tidak ada fitnah yang lebih nyata daripada ini? Bagaimana dia akan hidup kedepannya dengan cabang bayi di dalam perutnya? Apakah Deondra juga percaya jika dia mengatakannya?Tetes demi tetes air mata mengalir membasahi wajahnya. Sakit, itu yang dia rasakan kembali. Luka lamanya saja belum sembuh, sekarang begitu banyak luka yang bert
"Tuan ...," ujarnya tersimpuh jatuh, di hadapannya Deondra tengah duduk di kursi kebesaran.Sorot mata tajam menatapnya, membuat Arinda menundukkan kepalanya menahan takut.Tiga pasukan yang membawanya menekan bahunya agar bersimpuh. Lalu beranjak keluar meninggalkannya. Pasukan senior yang diutus untuk menangkapnya, pasukan yang langsung menyeretnya hingga terlempar di depan Sang Tuan Muda seperti saat ini.Dia terbukti melarikan diri, dengan alasan bahwa dia mengunjungi ayahnya. Pasukan keamanan yang berjaga di lantai tempat ayahnya di rawat seakan tak mampu untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia kasihan dan juga menyesal telah melaporkannya. Alhasil, gadis muda itu di bawa paksa bahkan sebelum tahu kondisi ayahnya yang baru bangun sejak lima bulan koma."Puas kau lari dariku?" tanyanya dingin, menatap kepala Arinda yang tengah menunduk.Sejujurnya saat ini dia masih hangover, hanya saja dia bisa menguasai tubuhnya da
Arinda sampai di halaman setelah berjalan melewati para pegawai di dalam gedung ini. Berselisih dengan seorang wanita berjas dan rok selutut, wajahnya datar menatap Arinda dari atas sampai bawah."Apa?" Arinda bertanya tak senang, saat wanita itu seakan sengaja menghalangi langkahnya.Tatapan mereka beradu, sebelum akhirnya wanita yang terlihat mapan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan dengan wajah yang berubah menjadi ramah."Selamat, Nona. Anda berhasil memasuki ruangan tertinggi di gedung ini. Anda adalah wanita kedua yang pernah memasukinya setelah Nona Anne," ucapnya sopan, penuh penghargaan.Arinda menyipit, menatapnya malas. Dia melepaskan tautan tangannya yang di jabat wanita itu sambil menghembuskan napas kasar."Aku tak pernah berniat memasukinya, mereka yang memaksaku!" ujarnya, menunjukkan beberapa pasukan yang masih berkeliaran di sekitar halaman."Walaupun begitu, selamat. Saya akan mengant
Lama keduanya berdiam diri dalam keadaan berpelukan. Arinda menahan kantuk yang menyerangnya dengan mengerjabkan mata. Dia mendongak, menatap ayahnya yang seperti sedang tertidur."Tidurlah, Ayah .... Arin janji akan datang lagi, kita akan kemoterapi dan membuat ayah bisa berjalan," gumamnya sambil mengusap pipi ayahnya yang terdapat luka bakar di sana.Luka itu sudah mengering, ayahnya mendapat perawatan dengan baik dari pihak rumah sakit ini. Karena mereka seakan menghargai perjuangannya yang rela melepaskan diri dari kuliah hanya untuk menjadi pelayan. Banyak suster yang membicarakannya, mereka kagum dengan perjuangan Arinda yang jika di lakukan bukanlah suatu yang mudah.Arinda bergerak, bangkit melepaskan pelukannya. Mata ayahnya juga terbuka saat menyadari itu, dia menatap anaknya yang sedang memakai tas."Kamu mau kemana?"Arinda menoleh, tak menyangka bahwa ayahnya bangun. Menatap mata ayahnya, dia menunduk dan
Merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Arinda menatap langit-langit yang masih sama seperti beberapa bulan terakhir. Dia menghela napas, seraya mengarahkan tangannya keatas perut dan mengusapnya pelan. "Apakah kamu memang ada?" Pertanyaan ragu kembali dia lontarkan kesekian kalinya. Sekali lagi wanita itu menghela napasnya berat, seakan menanggung beban yang tak tertahankan. "Jika memang ada, Bunda mohon jangan tunjukkan apapun tentang keberadaanmu pada orang-orang di rumah ini. Ayahmu, Bunda membencinya, Nak .... Dia bukan pria yang bertanggung jawab, buktinya sampai sekarang dia tak pernah meminta maaf," ucapnya dengan air mata yang mulai berurai. "Bunda akan membuatmu hadir ke dunia ini. Mungkin kamu lahir karena kesalahan, mungkin kamu hadir karena kelemahan Bunda. Hanya saja Bunda janji, kelemahan dan kesalahan itu takkan pernah kamu alami." "Bunda dan Kakekmu akan melakukan apapun padamu nanti. Kita akan hidup sederhana saja, di
Seminggu setelah kejadian itu, Arinda tetap tak peduli padanya. Gadis itu semakin menjauh, semakin membentangkan tembok tak kasat mata yang membuat mereka tak bisa bersisian.Seperti malam ini, Deondra menatapnya dari atas hingga bawah. Gadis itu tampak santai untuk berpamitan padanya bahwa dia akan pulang dan tidur di rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan rumah sakit. Di samping tempat tidur ayahnya, gadis itu biasa tidur di sofa seperti malam-malam sebelumnya."Biar aku mengantarmu.""Tidak perlu, anda majikan bukan sopir pribadi saya. Permisi, Tuan Muda."Mereka yang memang berpapasan di ruang tamu membuat gadis itu pamit sebentar. Saat mendengar jawaban Tuan Mudanya barusan, tak ada yang dia katakan selain sebuah kalimat yang semakin membentangkan jarak.Setelah ini, Deondra hanya bisa naik ke kamarnya dan menuju balkon. Dari sana dia bisa melihat tubuh gadis mungil itu timbul tenggelam di kegelapan malam. Sebenarn
Deondra menatapnya dengan menelan ludahnya kasar. "Ya, kau benar. Apapun itu, harapanku adalah itu sebuah keberuntungan yang bisa mendekatkanku padanya."Dia menegakkan tubuhnya, menatap Alrix yang mulai menutup dan menyimpan laptopnya."Coba kau cari tahu, apa yang membuatnya bertingkah aneh seperti itu, Alrix. Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau dia lebih dekat denganmu? Cobalah, ketuk isi kepalanya untuk mencari tahu penyebabnya.""Anda tidak mau melakukannya sendiri, Tuan Muda?""Ya, aku akan melakukannya juga. Kita bergerak bersama-sama. Tapi jangan terlalu mencurigakan, itu bisa membuatnya semakin jauh dan tak akan membuka mulutnya. Kau harus membantuku mencari tahu apa yang membuat gadis itu sedikit menjauh dariku."Alrix mengangguk, dia akan melakuan apapun yang di perintahkan Tuan Mudanya. Selama itu masih normal dan tak menyakiti siapapun, maka tak ada cara lain yang di lakukannya selain memberi dukungan.***
Pagi hari di rumah sakit, Arinda tengah menyuapi ayahnya dengan telaten. Mereka sesekali bicara, tentang kisah dulu, kisah cinta antara ayahnya dengan bundanya, kisah dia yang masuk sekolah dasar pertama kali. Recath bahkan merasakan baru semalam dia memberikan nama untuk putri yang ada di sampingnya ini. Namun, waktu begitu cepat berlalu. Bayi mungil yang selalu menangis, merengek dan manja itu, kini sudah duduk di samping ranjangnya. Dengan menggunakan hampir semua kecantikan ibunya dan juga ketegaran hati miliknya. Bayi mungil yang dulu selalu di timang-timangnya di lengan dengan istrinya yang memberikan dot berisi susu formula di mulutnya itu, kini sudah dewasa dan memiliki takdir hidup yang akan mengantarkannya ke dalam kehidupan yang sebenarnya.Setelah makan, Arinda akan mendengarkan beberapa arahan dokter yang menangani ayahnya untuk kemoterapi dasar. Beberapa hari ini dia selalu membantu ayahnya menggerak-gerakkan tangannya. Semuanya di lakukan perlahan, mengin