Hans mengambil tangan kananku. Luka bekas pecahan kaca itu sudah mengering. Sedikit terkejut dengan gelagat Hans yang aneh. Lalu dia juga meraih tangan kanan Sarah. Sementara Aska hanya memperhatikan drama romantis yang ada di depannya.
"Sarah, sudah lama aku menaruh hati padamu. Ternyata pemuda ini yang bisa meluluhkan semua kesombonganmu. Aku akan selalu mendukungmu, Sarah. Akan tetap menjadi relasi bisnis yang solid," ujar Hans menatap Sarah lembut.
"Pram, nitip Sarah!" Hanya kalimat pendek itu yang keluar dari mulutnya.
Tangan kiriku menumpang di atas tangan Hans. Menatap laki-laki paroh baya yang masih terlihat macho itu. Dia juga mempunyai sikap layaknya seorang pria sejati.
"Aku akan menjaganya, Pak Hans," janjiku padanya.&
Akhir-akhir ini aku sering mendapatkan pesan ancaman dari orang yang tidak kukenal. Entah apa yang dia inginkan. Aku tidak pernah menggubrisnya. Mungkin orang yang iri dengan keberhasilan yang telah kucapai.Setelah diangkat menjadi CEO dan menjadi Chef utama di Aska Caffe, aku lebih sibuk lagi. Apalagi restoran Sarah yang semakin ramai.Pergantian tahun baru ini, Sarah mengajakku untuk berlibur ke Puncak Bogor. Sementara anak-anak sudah diambil tantenya untuk kumpul bersama. Sebenarnya aku ingin anak-anak ikut dengan kami. Sarah tidak mengatakan kalau akan pergi ke Puncak. Mereka belum tahu kalau kami sudah menikah.Sejak siang, Aska dan kedua adiknya sudah berangkat ke rumah tantenya. Di sana mereka akan berenang dan kumpul dengan anak tantenya.&
Bab 71 Penculikan PramSudah lama aku tidak menengok rumah kontrakanku. Sejak tinggal di rumah Sarah jarang pulang ke rumah kontrakan. Entah seperti apa keadaan rumah itu.Malam sudah larut. Sarah sebenarnya melarangku pulang. Apalagi Aska dan kedua adiknya. Mereka sangat manja dengan tidak mengizinkan aku balik ke rumah. Perasaanku tidak enak. Memang aku sudah menikah secara agama dengan Sarah tetapi anak-anak belum mengetahuinya.Aku ingin memperkenalkan mereka kepada ibu dan Nita adikku. Sarah sudah ingin bertemu dengan kedua wanita yang menjadi bagian dalam hidupku."Gak usah pulang lah, Sayang. Perasaanku gak enak," kata Sarah ketika melepas kepergianku di depan pintu."Kalau di sini, aku inginnya sama kamu
Bab 72Aku mencoba menggerakkan kaki untuk mengurangi rasa sakit yang luar biasa. Sepertinya aku dehidrasi karena sejak pingsan belum ada setetes air yang membasahi kerongkongan. Perutku juga melilit sangat lapar.Waktu muda aku sering menjalankan puasa. Tapi tidak separah ini. Dua orang itu masih ngobrol dengan saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Sekarang aku dalam posisi yang sangat pasrah dengan maut yang akan menjemput.Badanku lemas tidak bertenaga. Mereka sepertinya mau membunuhku secara pelan. Hanya nama Tuhan yang ada dalam hatiku. Serta nama ibu yang aku ucapkan.'Maafkan, anakmu, Bu. Seandainya maut menjemputku. Tapi aku tidak akan pernah meninggalkan keluarga baruku.'Aku benar-benar kehausan dan perutku melilit
Bab 73" Mas, bangun!" Suara berat Pak Tua kembali terdengar di telinga.Perlahan kubuka mata yang masih berat. Kepala juga masih pusing. Badan ini rasanya mau remuk. Semua sendi susah untuk digerakan.Sinar matahari menyelinap menyusup dari celah dinding kayu yang berlobang. Pak Tua duduk di samping bale tempatku tidur. Pria itu tersenyum dengan memegang kakiku."Sudah enakan belum badannya?"tanya dia ramah. "Bapak beli bubur ayam untuk sarapan. Ayuk kita sarapan bareng," katanya memperlihatkan mangkok yang berisi bubur ayam. Aroma khasnya membuat perut ini berontak dan berteriak ingin segera diisi."Bapak beli bubur di mana?" tanyaku dengan suara yang agak parau.
Bab 74Abah Dul memapah tubuhku yang agak sedikit besar dibanding dengannya. Aku mencoba berjalan menyusuri jalan setapak di perkebunan itu menuju gang jalan keluar."Mas Pram beneran mau pulang sekarang. Gak nunggu sampai badannya enakan dulu," ujar Abah Dul."Gak, Abah. Keluarga pasti khawatir mencari keberadaanku. Apalagi menghilang tanpa jejak. Bagaimana nanti istriku sedih?" sahutku sambil berjalan menahan rasa sakit di kaki."Nanti Abah antar naik taksi, Mas Pram!""Abah gak tega membiarkan Mas Pram pulang sendirian naik taksi. Apalagi Mas Pram sedang sakit saat ini," kata Abah Dul."Makasih, Bah. Nanti saya kenalkan dengan istri dan anak-anaku," jawabku terharu mendenga
Bab 75 POV Sarah.Sejak Pram pulang ke kontrakan, hatiku menjadi gelisah. Aku masih mengintip kepergian Pram dari korden jendela. Hanya terdengar suara deru motornya yang memecahkan kesunyian malam.Sebelum tidur, aku sempatkan untuk memeriksa kamar anaku. Kubuka pintu kamar Arsya dan Atta. Kedua anak laki-lakiku tertidur pulas. Mereka saling berpelukan seperti anak kembar. Padahal ada selisih tiga tahun.Bi Iyem tidur dengan pulas di samping tempat tidur. Pasti wanita itu sangat capek merawat anakku. Bahkan pengabdiannya kepadaku sungguh luar biasa. Ketika aku terpuruk ditinggal Zoel sendirian dengan tiga anak.Perlahan kututup pintu kamar Arsya. Aku tidak ingin mengganggu Bi Iyem. Aku melihat jam dinding di ruang tamu. Tepat pukul 12 malam. Perasaanku s
"Mom!" panggil seorang wanita sambil menepuk pundakku.Aku terkejut ketika wajah renta dengan berbalut mukena sudah berada di depan mataku. Tangis dan isak masih belum hilang. Kukerjapkan mata sebentar untuk menguasai diri."Bi Iyem?" panggilku menyadari siapa yang telah membangunkan dari mimpi buruk."Ada apa, Mom?""Ketika mau ke dapur mengambil air minum, Bibi dengar Mom berteriak dan menangis kencang. Makanya Bibi beranikan diri untuk masuk kamar takut terjadi apa-apa, Mom," ujar Bi Iyem jongkok di samping ranjang."Ini minum air putih, Mom." Bi Iyem menyodorkan segelas air putih kepadakuAku bangkit mempe
Mobil Mercedes warna hitam berhenti di depan gerbang rumah kontrakan Pram. Seorang pria memakai setelan jas dengan sisiran rambut yang rapi. Nampak tergesa menghampiri diriku yang duduk lemas di lantai.Aku menatapnya tanpa berkedip. Yah. Laki-laki itu memang macho dan berwibawa. Usianya hampir sama denganku. Bahkan sering dipanggil 'Duren' alias duda keren. Dia berjalan dengan langkah panjang."Jeng?* " Hans menatapku iba.Dia menolongku bangun dari tempat dudukku. Aku hanya menurut ketika Hans memegang tanganku. Lalu dengan cepat dia melepaskannya."Ada apa, Sarah?" tanya Hans dengan tatapan elangnya langsung menukik ke hati."Hari ini kita ada meeting, kan? Bawa aku ke kantor sekarang," pintaku.&nb