PT. Santosa Abadi, berdiri di gagah di depanku, rasa gerogi, deg-degan bercampur aduk menjadi satu. Jantungku seakan ingin loncat dari tempatnya. Baru kali ini aku merasa sangat gugup ketika mengantarkan berkas lamaran kerja. Berkali-kali aku memaut wajah baruku di depan cermin motor spocy-ku. Ya ... Wajah baru, karena baru kali ini aku mengenakan hijab setelah sekian lama aku tak memakanya. Terakhir aku memakainya ketika lebaran tahun kemarin, itu saja poniku masih terlihat.Ada rasa tidak percaya diri ketika aku melihat wajahku sendiri di dalam cermin spion motor. Ada rasa gerogi yang membuat aku setiap beberapa detik membenarkan ujung pashminaku.Produsen jilbab ini sangat besar, berbeda dengan apa yang aku pikirkan. Aku rasa perusahaan ini sudah masuk kelas nasional. Aku lantas memasuki gedung besar itu dengan debar yang semakin menjadi-jadi. Peluh dingin sudah membasahi telapak tanganku."Ah ... Iya. Aku kan mau menemui Mas Khairul terlebih dahulu." Aku memutar tujuan yang tad
Hariku kini disibukkan dengan segudang laporan, dari laporan bahan baku yang masuk dan bahan baku yang keluar. Tak hanya itu, aku juga diminta mempelajari alur penjualan. Angel membimbingku dengan baik dan telaten.Sudah satu minggu aku bekerja di sini. Sejauh ini aku belum mengalami kendala yang berarti. Hanya saja aku harus lebih teliti dalam bekerja. Karena masih ada beberapa kesalahanku dalam membuat laporan.Bergaul dengan Angel dan teman-teman yang lain, aku belajar banyak hal. Salah satunya yaitu kewajiban berhijab. Semakin hari aku aku semakin mahir menggunakan jilbab. Walaupun aku masih menggunakan jilbab yang nge-tren di saat ini, belum mampu menutup aurat dengan sempurna, tetapi buatku itu adalah pencapaian terbaikku di tahun ini.Sudah berkali-kali ibu mertua mengingatkanku untuk mengenakan jilbab, tetapi aku belum sanggup. Dan ketika beliau melihat aku menggunakan jilbab sewaktu mengantarkan anak-anak, beliau sangat terharu, bahkan sampai menitikkan air mata."Ibu senang,
Sore itu selepas Magrib aku baru bisa ke rumah ibu untuk menjemput anak-anak. Kedatangan perempuan itu membuat mood-ku hilang seketika. Gorengan yang tadi aku beli masih teronggok di atas meja ruang tamu. Semoga saja setelah bertemu anak-anak, mood-ku akan menjadi baik kembali.Telepon genggam yang tadi aku isi daya di dekat meja televisi berkedip-kedip, menandakan ada pesan masuk. Nama Ammar si bujang setengah lapuk memenuhi jendela notifikasi.[Dimana? Kenapa nggak dibalas] pesan terakhir yang kubaca. Sementara pesan sebelumnya belum aku buka.[Minggu depan aku ikut kamu sidang, ada sesuatu yang harus aku tunjukkan untuk bukti tambahan, biar kamu bisa menuntut hak asuh anak dan nafkah mereka] isi pesan pertama dari Ammar.[Aku sibuk apalagi melayani mahasiswa abadi seperti kamu. Lebih baik kamu urus saja skripsimu, setelah itu cari kerja! Jangan nanti setelah lulus minta kerjaan sama Om Tanto, malu dong][Pokoknya aku ikut!][Terserah!!!!][Kamu tunggu saja, aku bawa kejutan di hari
Suara direktur muda yang sangat familiar itu menerpa gendang telingku. Bahkan aku yang sedari tadi terkesan cuek dan acuh dengan kehadiran pria itu, kini ikut penasaran dengan rupa dari direktur muda itu."Selamat pagi, Pak," jawab para cewek-cewek dengan genitnya."Bagaimana kabar kalian pagi ini?" tanyanya lagi. Suaranya benar-benar membuatku penasaran dengan wajah pria itu. "Bapak lagi flu ya? Kok maskernya nggak dibuka?" tanya Angel dengan nada yang di buat-buat."Oh ... Nggak." Pria itu lantas berbalik badan dan terlihat dari gerakan tangannya kalau dia sedang membuka maskernya."Astaghfirullah halaazim, A-Ammar ...." ucapku tergagap Ketika melihat wajah direktur itu adalah Ammar. Pira itu lantas mengedipkan satu matanya. Pandanganku tiba-tiba buram dan gelap.Terasa badanku dibopong oleh sesesorang dan tak lama aku terbangun."Diminum dulu tehnya." Suara itu kembali menyapaku."Kamu belum sarapan ya? Kok pingsan sih. Jangan bilang kalau kamu pingsan karena bertemu denganku," le
Sudah tiga hari aku tidak masuk kerja, hanya lembar kertas bertanda tangan seorang dokter mewakili kehadiranku. Selain itu, rasa kesal dan sakit hati yang membuatku enggan melangkah kaki di perusahaan itu lagi.Selama itu juga aku aku memblokir nomor direktur dadakan itu. Rasanya aku semakin ilfeel dengan laki-laki itu. Bukannya aku sombong, tidak ingin dibantu, tetapi dengan cara dia yang diam-diam seperti itu, membuatku sudah merasa jika diriku ini tidak memiliki kemampuan.Selama tiga hari aku di rumah, aku habiskan dengam menulis novel yang sudah aku publikasikan secara online di sebuah aplikasi novel baca.Baru sehari aku monetisasi ceritaku dan belum ada yang membuka kunci bab. Aku sadar, menjadi seorang penulis tidak seinstan membuat mie instan, bahkan membuat mie instan juga membutuhkan proses yang tidak sebentar, paling tidak ada jeda waktu untuk memprosesnya.Di media sosial juga aku belum terlalu intens untuk melakukan promosi. Nanti kalau aku sudah merasa sehat, aku akan
Wanita berbadan dua itu histeris, lantas dia mengeluarkan gawainya, tak lama dia berbicara dengan seseorang di seberang telepon."Iya, Mas, buruan sini!"(...)"Iihh ... Nggak usahlah, Mas. Kok mau bicara segala," sungut wanita itu."Nih. Ada mau yang bicara." "Siapa?" "Ngomong aja sendiri!" Aku pun menerima gawai itu dan menempelkan di alat pendengaranku."Mirna, tolong ya. Sekali ini aja. Biarkan Nina nginap di sana." Aku menghela nafas kasar."Bang, aku udah ngalah lho, suami aku diambil sama wanita itu, sekarang mau ngerecokin lagi kehidupanku dan anak-anak. Urus sendirilah Bang istrimu yang kayak anak kecil ini.""Satu minggu aja, Mir. Tolong.""Nggak, Bang! Aku mau usir dia.""Jangan gitu dong, Mir. Rumah itu kan rumahku juga, tolong minta pengertiannya.""Nggak, Bang! Aku yang harusnya minta pengertian kamu. Kamu kan udah jadi suami sirinya perempuan ini. Ya larang dong. Masa mau nginap di rumah ini yang jelas-jelas ada aku di sini. Apa kata tetangga Bang, apalagi kalau ada k
Pov: FahmiDengan bujuk rayuku akhirnya ibu mengizinkanku menempati rumah itu, tetapi dengan catatan aku dan Nina tidak boleh menggunakan. Kamar utama, ibu hanya memperbolehkanku menggunakan kamar ke dua yang ukurannya lebih sempit.Bahkan ibu sendiri yang menyegel kamar utama agat tidak kami gunakan. Tak hanya itu, fasilitas di sana seperti kulkas dan mesin cuci tidak boleh kami pakai. Alhasil, setiap hari aku harus membawa cucian baju ke laundry dan membali makan di luar setiap hari.Gajiku yang semakin turun membuat aku harus pontang-panting untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Padahal kami hanya hidup berdua, selama aku meninggalkan Mirna, tak sepeser pun uang yang aku kirim untuk Fauzan dan Faisal. Aku benar-benar dibuat bangkrut oleh istri ke duaku itu.Kalau sudah begini, aku rasa rinduku dan bersalahku pada Fauzan dan Faisal semakin menggebu. Dulu aku tidak pernah memedulikan kedua anak itu, bahkan ketika Mirna kerepotan, aku tidak pernah mau membantu sedikit pun, dengam dal
"Mas, mana mobilnya? Kok kamu naik ojek?" cecar Nina saat aku pulang dari kantor."Kamu itu, bukannya menyambut suami pulang kerja malah nanyain mobil," sungutku."Apanya yang mau ditanya, Mas. Kamu kan baik-baik saja.""Ya setidaknya kasih air minum, syukur-syukur ku buatkan kopi gitu. Selama kita menikah, kamu sama sekali belum pernah membuatkanku kopi atau teh manis.""Idih ogah, Mas, memang aku pembantu kamu, kamu kan bisa buat sendiri.""Sudahlah, Nin, aku capek, biarkan aku istirahat sebentar!" "Mana mobilnya, Mas. Nanti kalau aku mau pergi gimana? Terus itu kenapa kamu pakai baju OB begini?" Nina menarik kerah baju yang aku pakai dengan jijik."Ini semua gara-gara kamu, aku harus jual mobiil untuk mengganti uang nasabah dan aku juga harus menerima resiko diturunkan menjadi OB, ini semua karena ulah KAMU!" teriaku berapi-api. Darahku kini benar-benar mendidih."Hah! Kok bisa sih Mas. Uang kamu kan banyak, masa aku minta untuk beli perhiasan aja harus jual mobil. Nanti kalau kit