Nay berlari melewati koridor apartemen. Pukul dua dini hari tentu sangat sepi. Untung saja penjaga malam masih ada di sekitar tempat parkir motornya. Buru-buru Nay men-start dan memacunya. Ia harus sampai di rumah sakit segera. Tidak sampai dua puluh menit Nay tiba di RS. Persada. Dia langsung menuju ke IGD. Terlihat Aruni duduk di kursi tunggu di depan IGD. “Aruni, bagaimana keadaan Ibu,” tanya Nay cemas. Aruni tidak menjawab. Dia langsung memeluk Nayara, terisak. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Nay mematung. Tangis Aruni sudah cukup menjawab keadaan Bu Mien. Air bening mengalir di kedua pipi Nay. Ternyata Ini arti mimpinya tadi. Bu Mien berpamitan padanya. “Aruni, ayo kita masuk. Temani kakak.” Aruni menggeleng. “Kenapa?” “Uni tidak mau Ibu pergi. Uni tidak mau!” Tangisnya kembali pecah. Nay memeluknya lagi. “Uni, tunggu di sini. Kakak masuk dulu ya.”“Iya, Kak.” Aruni mengurai pelukannya. Kaki Nay seperti hilang kekuatan. Terasa sangat berat untuk melangkah k
Nay memacu sepeda motornya dengan kecepatan tak lebih dari enam puluh kilometer per jam. Menyusuri jalan beraspal yang mulai sunyi karena hujan turun hingga saat ini. Jaket denimnya tak cukup kuat menahan hawa dingin di perjalanan. Sesekali Nay mengeluarkan energi-energi kecil untuk menghangatkan tubuhnya. Kalau tidak alerginya akan bertingkah. Ya, Nay alergi udara dingin. Tubuhnya akan muncul ruam-ruam merah yang sangat gatal dan itu bisa sangat mengganggunya. Nay menambahkan kecepatan motornya. Dia ingin sampai di apartemennya sekitar pukul sebelas. Tidak ada janji memang. Hanya saja kekuatannya akan ada pada level sangat baik sebelum lewat tengah malam. Nay berencana mengunjungi dunia bawah malam ini. Bukan untuk bertemu penguasa Astramaya tapi untuk melacak seberapa besar kekuatan Tarangga yang konon tiada bandingnya. "Wira, kau mau ikut tidak? Aku mau ke Rimba Arana. Waktu itu aku belum sempat menanyakan ke Cendra Dewi, apakah dia masih jomlo atau sudah ada pacar." Nay bertanya
Nay menyerap energi Astramaya agar tubuhnya bisa menyesuaikan diri dengan panasnya. Hawa dari portal ini jauh berbeda dengan api Astramaya yang pernah dirasakan Nay saat mengambil jiwa Rey.Nay menarik napas dan mengembuskanya pelan. Dia sangat berhati-hati. Tidak ingin melakukan kesalahan yang bisa menimbulkan kerusakan pada tubuhnya. Nay mulai merambatkan energi masuk ke dalam portal. Dia sengaja menjalankannya secara perlahan. Bila melakukannya dengan cepat bisa saja seseorang di seberang portal ini mengetahui kedatangannya. Nay mulai mendengar suara banyak langkah-langkah kaki. Suara orang berbicara dengan bahasa dunia bawah. Penghuni Astramaya sedang berinteraksi satu dan lainnya. Energi Nay terus merambat maju. Dia mulai merasakan satu tarikan kuat seolah-olah mengarahkan energi Nay untuk bergerak ke sana. Nay tidak berusaha menolaknya. Dia ingin tahu ke mana arah energi itu menuju."Nayara." Suara pria dengan nada rendah mengejutkan Nay. "Untuk apa melakukan itu? Kenapa tidak
"Namanya Suri. Dia tinggal di dalam rimba ini juga. Memiliki kemampuan menyimpan energi semua kejadian di dunia bawah. Dia tinggal di ujung rimba yang gelap dan lembab. Aku tidak bisa berbicara padanya. Dia menutup diri sejak Palaka menguasai rimba ini. Tidak memperkenankan siapa pun berinteraksi dengannya. Semoga kali ini dia mau menerima kita." "Jadi saya bisa menanyakan tentang apa saja padanya?""Iya. Dia tidak bisa membohongimu. Sebuah bejana besar miliknya akan menunjukkan apa yang kau ingin ketahui. Bila niatmu baik, bejana itu akan menunjukkan. Tapi bila sebaliknya, warna air di dalamnya akan menghitam.""Tidak ada salahnya mencoba. Kita pergi sekarang, Ratu?" Mata Nay terlihat berbinar."Baiklah, Nay." Ratu Cendra Dewi membuka sebuah portal persis di sebelah portal sebelumnya. "Lewat sini!" Dua pasang sayap ratu kembali terlihat. Dia terbang memasuki portal. Nay mengikutinya.Tak berapa lama mereka tiba di ujung rimba. Udaranya berkabut dan dingin. Nay enggan untuk menapakk
"Maafkan, Ibu! Maafkan ibumu, Nak!" Kalimat yang berulang-ulang ia teriakkan. Tampak jelas bahwa ia menyesal dan tidak punya pilihan selain melakukan hal itu. Tubuh bayi itu terhempas ke dalam kawah yang panas. Letupan-letupan lava pijar mengenai tubuhnya. yang masih merah. Namun, bukannya menangis, bayi itu terlihat nyaman berada di atas genangan lava. Bermunculan makhluk-makhluk api mengelilingi bayi tersebut. Satu dari mereka mengambilnya, lalu berucap, "Kaulah bayi yang kami tunggu-tunggu. Kelak kau akan sehebat api Astramaya. Selamat datang Tarangga!" Mereka menamainya dengan Tarangga, bintang yang bersinar di Astramaya.Penglihatan Nay tertarik ke suatu ruangan. Ada perempuan yang dilihatnya tadi dan seorang laki-laki berbaju kebesaran persis seperti yang dikenakan raja Affandra. Wajahnya pun serupa. "Simpan rahasia ini. Jangan kau sebut-sebut anak itu lagi! Mau ditaruh di mana mukaku kalau penerus tahta kerajaan adalah anak cacat seperti itu! Buang saja dia! Biarkan dia dim
"Bagaimana, Mbak Sur? Betah di sini?" Nay bertanya pada wanita paruh baya yang menjabat tangannya begitu ia masuk. Mbak Sur baru bekerja tiga hari ini untuk membantu menjaga anak-anak."Iya, Mbak. Betah. Anak-anak sudah pada ngerti dan mandiri. Jadi saya tidak terlalu repot.""Syukurlah kalau begitu. Ini saya bawakan makanan kecil untuk anak-anak dan Mbak Sur. Dibagikan saja. Sisihkan untuk yang belum pulang. Saya ke kamar Bu Mien dulu." Nay meletakkan plastik yang dibawanya ke atas meja. "Monggo, Mbak."Masuk ke kamar Bu Mien setelah seminggu kepergiannya membuat dada Nay terasa penuh. Banyak hal membahagiakan terjadi di sini. Rindu, kata itu cukup mewakili perasaan Nay saat ini.Nay membuka lemari. Terlihat kotak tersebut di atas rak paling bawah. Nay mengambilnya. Mengusap sedikit debu yang menempel di bagian atasnya. Pasti ada sesuatu di dalamnya. Nay merasakan energi yang tak biasa setelah menyentuhnya. Kotak itu tertutup rapat. Tidak ada kunci ataupun gembok terkait di sana. N
Mereka sudah berada di atas savana. Mata Nay selalu waspada. Selubung pelindung juga sudah dia pasang. Masih belum terbaca oleh Nay energi yang ada di sana., baik besaran maupun jumlahnya. "Nay, banyak yang datang!""Iya, Wira. Mereka mengarah ke savana. Semoga ini bukan seperti pikiranku." Nay mulai merasakan kumpulan energi besar yang terbentuk dari banyaknya energi. Khandra terbang semakin rendah. Mereka hampir sampai di tengah savana. Nay merasakan semakin banyak energi mengepung savana. Namun, ia tidak menemukan adanya energi Lalika di tempat tersebut. "Kita sampai, Nay. Lalika memintaku meninggalkanmu di sini sementara dia belum datang. Begitu pesan yang aku terima saat menghubunginya ketika kita di udara," kata Khandra kemudian melesat menjauhi Nayara. "Tunggu! Kau membohongiku. Kau pikir aku tidak tahu. Tidak semudah itu, Khandra," ujar Nay ketus. Wira keluar dari tangan Nay. Berdiri di sampingnya dengan panah yang sudah terpasang di busurnya mengarah pada Khandra. "Sela
Tak berapa lama semua benda itu sudah Nay kunci dengan mantra. Dia harus mengumpulkan energi lagi untuk menutupnya. Kali ini Nay mengangkat tangannya ke udara dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas. Dia mencoba mengambil energi angin. Nay merasakan dingin menjalari seluruh tubuhnya. Sangat tidak nyaman mengingat Nay lebih sering menghisap energi dari dalam bumi. "Kau harus menyesuaikannya, Nay. Pelan-pelan saja." Gantari bersuara lirih. Energinya pun tentu banyak terkuras. Nay mengikuti apa yang dikatakan Gantari. Dia melakukannya dengan konsentrasi penuh dan tidak tergesa-gesa. Aliran energi angin mulai merambat dengan suhu yang sama dengan tubuh Nay. Dia sudah bisa menyerapnya dengan baik. Energi di tubuhnya pu sekarang sudah kembali terisi. Saatnya untuk merapatkan kembali retakan tanah yang tadi dibuat. Nay menjejakkan kaki ke tanah. Memasang kuda-kuda dengan sempurna. Kedua telapak tangan terbuka berada di depan dadanya. Nay menarik napas diikuti dengan gerakan tangan