“Awalnya dia tidak mau, tapi Tarangga meyakinkan dia bahwa semua akan baik-baik saja. Aku hanya mengikuti alur saja. Tarangga dan Affandra sama-sama ingin berkuasa di dunia bawah. Dia ingin lebih kuat dengan mengambil tanganmu yang berharga ini. Sedangkan Affandra menginginkan keris Naga Sasra. Segala fitnah dia gaungkan tentang kekejaman Tarangga dan sekutunya. Sejujurnya kami tidaklah sekejam itu.”“Kau kah yang kutemui di Sendang Awu waktu itu?”“Ya, maafkan untuk semua yang kukatakan tentang orang tuamu. Aku hanya mengucapkan apa yang ada di pikiran si Brojo tua bangka itu!” Nada suara Rawindra berubah. Ada emosi di getarannya.“Ada dendam apa kau dengan Ki Brojo sampai kau menyebutnya seperti itu?”“Dia yang membantu ayah Affandra membunuh ayahku. Rasendriya menyaksikannya sendiri. Dia melihat semua, bagaimana raja memaksa ayahku untuk menyerahkan keris itu.""Memaksa? Apa keris itu bukan untuk raja?" Nay mengerutkan dahi. "Naga Sasra bukan pesanan raja seperti berita yang berem
Sedikit ragu Nay menekan nama Rey di layar ponselnya. Dia menunggu Rey mengangkat teleponnya tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Tiga kali Nay mencoba tetap saja Rey tidak menjawab. “Mungkin dia lagi sibuk, Wira.” Nay meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. "Aku rasa tidak begitu. Mungkin dia sedang mencari momen yang pas untuk kalian bertemu dan bicara." Wira mencoba menenangkan. "Semoga saja memang seperti itu." Nay mendesah pelan. "Rasanya aku belum siap bertemu Rey. Ada rasa takut, khawatir, curiga dan marah. Entahlah, aku sendiri bingung dengan perasaanku sendiri.""Masalah harus dihadapi dan diselesaikan. Kalau terus menghindar kau akan terus gelisah dan bertanya-tanya dan akhirnya kau menebak sendiri jawabannya yang belum tentu kebenarannya.""Memang mudah kalau sekadar bicara. Melakukannya itu yang sulit," kata Nay seraya mengambil ponselnya yang sedang bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. [Buka pintu, Nay. Aku sudah di depan apartemenmu]Deg! Jantung Nay seak
Nay lebih banyak menghabiskan waktu di panti. Baik itu mengawasi pekerjaan pembangunan beberapa kamar tambahan maupun mengurus keperluan untuk anak-anak asuh di sana. Bukan tanpa alasan, ia ingin secepatnya semua hal yang menyangkut panti selesai dengan baik. Persiapan pernikahan juga harus dipikirkan dan direncanakan dengan matang. Ia memimpikan sebuah pernikahan yang sederhana dan khidmat. Sedangkan Rey menginginkan pesta yang megah mengingat ini adalah momen sekali seumur hidup. Ia juga memiliki keluarga besar dan kolega yang tidak sedikit. Jadi, berbagi kebahagiaan dengan mereka itu harus.Hal tersebut membuat Nay uring-uringan. Ia tidak menyangka Rey akan bertahan dengan keinginannya itu. Biasanya dia lebih banyak menyerahkan keputusan pada Nay. Namun, kali ini sangat berbeda. Sempat terpikirkan oleh Nay, mungkin ada hubungannya dengan sifat Rasendriya di masa sebelumnya. Diam-diam Nay berencana mencari tahu seperti apa sebenarnya jiwa Rasendriya yang ada di tubuh Rey. Ia tidak
"Sambutan selamat datang yang memang sedikit di luar kebiasaan. Tapi setidaknya dengan cara demikian aku jadi tahu kau punya kemampuan luar biasa. Mungkin juga yang paling hebat di rimba ini.""Jangan memuji terlalu tinggi. Aku takut jatuh terlalu rendah. Biasa-biasa saja, Nay. " Suri menggeser tubuhnya ke kanan. Terlihat bejana emas miliknya berkilauan."Kau pasti sudah tahu maksud kedatanganku, bukan?""Apa kau sudah siap dengan semua kenyataan yang akan kau lihat nanti?"Nay mengangguk kemudian Suri mempersilakannya mendekati bejana. Air di dalamnya tetap terlihat jernih. Artinya Nay akan tahu semua tentang Rasendriya. Ia meletakkan tangannya di atas permukaan air. Suhu air yang hangat membuatnya sangat nyaman hingga tidak terasa dia sudah terbawa ke suatu masa di mana Rasendriya berada. Ia sedang bersama Rawindra di suatu tempat di Astramaya. Terlihat dari batu-batu besar yang berada di sekitar mereka. "Kau adalah saudaraku satu-satunya. Kemungkinan terbesar kau tidak akan bisa
"Rey bisa melihat kami, Nay!" Suara Prita hampir terpekik."Kau benar. Dia bukan lagi Rey yang dulu," sambung Sri seraya duduk di pinggir tempat tidur Nay. Nay mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Bergerak sedikit mundur agar bisa bersandar pada sandaran tempat tidurnya dengan leluasa. "Apa dia mengatakan sesuatu pada kalian?""Tidak, Nay. Tapi sorot matanya itu, bagiku terasa seperti puluhan anak panah yang siap dilepaskan.""Aku sampai menggigil ketakutan," sambar Prita. "Aku bahkan bisa melihat api yang menyala-nyala di sana.""Rey tidak memberiku kabar sama sekali sampai malam ini. Kebenaran tentang hal yang baru kalian sampaikan aku ingin secepatnya dibuktikan.""Caranya sudah kau pikirkan, Nay?""Sudah, Sri. Aku akan meloncat dari atap gedung ini."Mata Prita mendelik. "Kau mau bunuh diri sepertiku?""Prita, Prita … gak mungkinlah Nay mau bunuh diri. Kupingmu ini harus sering-sering dibersihkan. Nay bilang mau meloncat dari atas gedung ini, bukan mau bunuh diri. Bedakan itu!"
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun