POV Dinda"Ha ... hamil, Din?" tanya Mama terlihat begitu syok. Aku mengangguk dengan sungguh-sungguh untuk menyakinkan Mama juga Papa. Aku merogoh plastik berisi vitamin yang kuletakkan di plastik putih besar campur dengan minyak zaitun lalu memberikannya pada Mama. Mama menerima palstik berisi beberapa tablet vitamin untuk ibu hamil dengan tangan gemetar. Papa mendekat lalu meraih tangan Mama, mengajaknya untuk duduk di di sofa. Aku memutuskan duduk di sofa seberang Mama duduk, kami terhalang meja bundar."Pa, Dinda hamil, Pa," kata Mama dengan suara gemetar, wajah Mama tampak ketahutan. Papa yang duduk di samping Mama langsung memeluk Mama."Ya kalau hamil, itu artinya kita harus legowo Dinda kembali dengan Angga, Ma." Suara Papa terdengar pelan.Mama mengusap air mata di pipinya. "Iya, Pa. Gak mungkin Dinda tetap melanjutkan sidang dengan Angga. Sebaiknya, kita segera ke rumah besan kita itu, Pa."Wajah Papa seketika berubah muram. "Apa kita akan disambut hangat ya, Ma? Kita seca
POV Dinda "Hu-uuh!" Mas Angga menyentak napas keras begitu aku duduk di sampingnya. Wajahnya terlihat marah sekali."Kenapa, Mas?" tanyaku sambil nyengir kecil. Aku tahu dia marah karena ulahku barusan yang bicara tentang Kak Hardi si ketua tingkat di kelasku. Aslinya Andika yang mau dijadikan ketua tingkat, tapi cowok tengil yang suka berbuat semaunya sendiri itu gak mau."Kenapa?" tanyaku sambil lagi-lagi nyengir saat melihat Mas Angga menggelengkan kepala."Tidak papa. Kamu jangan dekat-dekat dengan Yana, dia bukan sahabat yang baik. Bisa-bisanya dia menyuruhmu selingkuh.""Dia itu hanya mau godain mas aja, kok. Emmp, jadi, kita gak jadi cerai nih, Mas?" tanyaku, tatapanku lekat ke wajah Mas Angga yang sejak tadi terus memandangiku sehingga aku jadi salah tingkah. Aaah, lama gak bertemu buat aku jadi begitu rindu. "Memangnya, kamu mau cerai?" tanyanya balik."Yaaa, enggak. Masa aku hamil enggak ada suami, sih? Ya enggak mau, lah, a-kuu. Lagian aku, sebenarnya cinta banget sama ..
POV AnggaBegitu mobil parkir di halaman rumah Dinda, aku segera turun. Begitu pun Dinda, dia turun dari mobilnya lantas berjalan cepat menghampiriku dengan senyum terkembang lebar. Tangannya terulur ke arahku lalu dengan tak sabar ia menarikku menuju teras rumahnya. Aku mengikutinya dengan perasaan was-was dan tegang. Maka saat kami tiba di depan pintu, aku memutuskan berhenti."Kenapa, Mas?" tanya istriku dengan sorot heran. Aku ingat jelas pertemuanku terakhir kali dengan Mama. Mama terlihat jengkel sekali padaku, tatapannya padaku penuh kebencian.Aku mengusap keringat dingin di dahi. Mau ketemu Mama rasanya seperti mau sidang skripsi saja. Dan perasaan, sidang skripsi rasanya tidak setegang ini. Aku cukup berprestasi selalu juara satu saat sekolah dulu, waktu kuliah juga IP-ku juga tidak mengecewakan. Aku sebelas dua belas dengan Ardy yang sama-sama ber-otak encer, beda dengan Sisil yang hampir semua nilainya jeblok. Jadi, yang kurasakan saat ini, tegangnya melebihi sidang skrips
POV Angga"Emang Mas kenal sama dosen aku?" tanya Dinda lagi yang terdengar begitu antusias. Aku meraih botol sampo kemudian menuangkannya srdikit ke kepala Dinda, segetelah itu aku membasahi rambutnya dengan sedikit air lalu mengusap-usapnya hingga mengeluarkan banyak busa."Tentu saja Mas kenal, Sayang. Ha ha." Aku sedikit tergelak membayangkan anak Bunda yang satu itu. Dia memang begitu kaku dari dulu. Tidak pernah bercanda baik denganku maupun dengan Sisil, dia sangat pendiam dan begitu serius. "Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong pada Mas?" tanya Dinda. Aku meraih gagang shower kemudian mengarahkan ke kepala istriku. "Minta tolong apa?" tanyaku. Aku keluar dari bathub, setelah membilas tubuh, aku menyambar handuk, menggunakannya untuk mengeringkan rambut dan melilitkannya ke pinggang. Segera saja aku menggendong istriku yang memakai jubah mandi keluar, meraih daster di lemari kemudian mengulurkan padanya. Dinda segera menerimanya. Segera ia memakainya lalu menyisir rambutny
POV Yana + DindaAku terus memikirkan perkataan Dinda tadi yang menyuruhku agar mendatangi Pak Rama ke ruangannya lalu meminta maaf padanya. Duh, kena-pa, juga, aku pakai acara tinju dia? Benar-benar. Tiap datang bulan, emosiku memang selalu gak terkontrol, selalu gak terkendali.Mungkin memang sebaiknya aku mengikuti saran Dinda. Lebih baik minta maaf daripada aku tidak mengikuti tiga mata kuliah sekaligus. Yang benar saja. Masa harus mengulang tiga mata kuliah pada semester pendek? Aku pasti akan merasa gak enak hati sama papanya Dinda yang udah biayain aku kuliah.Aku menyentuh layar HP lalu menekan nomer ayah. Aku berjalan keluar dari kantin sambil menelepon."Halo, Yah?" ucapku saat panggilan teleponku diangkat oleh Ayah."Ini ayah hampir tiba di kampusmu.""Yah," kataku. "Aku nanti ke warung naik angkot, Yah. Aku lupa ada tugas kuliah yang harus aku kerjain. Maaf ya, Yah," kataku merasa tak enak hati pada Ayah. Ayah pasti akan kaget jika sampai tahu kelakuanku pada dosenku sendi
POV Dinda"Kenapa dia?" tanya Mas Angga saat ia menatap layar HP-ku."Gak tau, nih. Tiba-tiba dia WA gini," ucapku sambil menatap layar HP. Aku mengetik,Kamu ada masalah apa, Yan?Besok aku ceritain, Din. Sekarang aku hanya bisa nangis. Balas YanaAku memandang Mas Angga. "Katanya mau ceritain besok, Mas."Mas Angga mengangguk, tangannya merangkul pundakku. "Iya, Mas baca juga." Dia menatap HP-ku. "Mungkin dia sedang tidak punya uang, Sayang.""Bisa jadi sih, Mas." Tapi rasanya gak mungkin kalau Yana begini karena tidak punya uang. Sahabatku itu walau hidup sederhana, namun ia rajin sekali menabung. Jadi gak ketang satu juta, dia pasti punya uang."Oh ya, Mas lupa. Mas pernah bilang padanya waktu itu pas awal menikah, jika dia mau membantu Mas dengan cara menginap di rumah dan menemui teman-teman Bunda, maka Mas akan memberinya uang. Dia langsung menolak. Tapi menurut Mas, tidak masalah jika Mas memberinya uang," kata Mas Angga. Aku mengangguk setuju."Besok, Mas titip uangnya ke kam
POV Dinda"Setau aku gak ada, Om.""Gak ada masalah kok Yana nangis terus ya, Din? Apa kamu bisa ke sini sebentar? Mungkin keberadaanmu bisa menghibur Yana."Aku memandang suamiku, dia mengangguk kecil."Iya, Om, ini aku mau jalan ke situ sama suamiku.""Iya, Din, Om tunggu.""Iya, Om." Lalu, aku mematikan sambungan."Gak papa nih, Mas, kalau kita ke rumah Yana dulu?" tanyaku sambil menggeser tubuh mendekat ke arahnya lalu tanganku melingkari pinggang suamiku. Mas Angga mengangguk kecil."Tidak papa, Sayang. Tapi dua jam saja di rumah Yana-nya, ya?" Dia menatapku sekilas."Iya, Mas. Aku bertanya-tanya Yana ada masalah apa, ya, sampai sebegitunya? Setahuku, di kampus dia gak punya musuh."Tatapan Mas Angga sedikit menyipit, seolah ia tengah mengingat sesuatu."Apa, Mas?" tanyaku. "Katamu, Yana sedang ada masalah dengan dosennya, kan?""Oh, iya. Tapi masa sebegitunya. Atau mungkin saja, Pak Rama gak mau maafin Yana, ya? Mungkin saja dia gak ijinkan Yana masuk ke mata kuliahnya.""Itu b
POV Dinda"Emp ...." Aku ragu-ragu. Kesannya gak sopan banget meminta Bunda membantu tapi aku gak punya pilihan. Aku gak ingin Yana berhenti kuliah karena kelakuan gak sopannya pada Pak Rama waktu itu. Walau sedang datang bulan sekalipun, kelakuan Yana emang gak bisa dibenarkan juga, sih. Bisa-bisanya dia tinju Pak Rama di depan teman-teman sekelas. Walau ninjunya gak di depan teman-teman sekelas juga namanya ya gak sopan."Ada apa, Din? Bilang saja sama Bunda." Bunda menatapku begitu ingin tahu."Bilang saja, Sayang. Yaa siapa tahu Bunda mau membantumu," kata Mas Angga, membuat Bunda berlama-lama menatapku begitu ingin tahu. Aku terus menoleh memperhatikan Bunda."Apa itu, Ga, coba katakan pada Bunda.""Jadi, Bun," ucapku dengan suara lirih. "Yana sedang ada masalah sama dosennya. Jadi, ceritanya begini." Lalu, aku menceritakan detail kejadiannya pada Bunda, Bunda sesekali tersenyum saat mendengar ceritaku. Di bagian aku bilang Yana gak sengaja cium Pak Rama, Bunda dan Mas Angga sama