POV Angga"Emang Mas kenal sama dosen aku?" tanya Dinda lagi yang terdengar begitu antusias. Aku meraih botol sampo kemudian menuangkannya srdikit ke kepala Dinda, segetelah itu aku membasahi rambutnya dengan sedikit air lalu mengusap-usapnya hingga mengeluarkan banyak busa."Tentu saja Mas kenal, Sayang. Ha ha." Aku sedikit tergelak membayangkan anak Bunda yang satu itu. Dia memang begitu kaku dari dulu. Tidak pernah bercanda baik denganku maupun dengan Sisil, dia sangat pendiam dan begitu serius. "Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong pada Mas?" tanya Dinda. Aku meraih gagang shower kemudian mengarahkan ke kepala istriku. "Minta tolong apa?" tanyaku. Aku keluar dari bathub, setelah membilas tubuh, aku menyambar handuk, menggunakannya untuk mengeringkan rambut dan melilitkannya ke pinggang. Segera saja aku menggendong istriku yang memakai jubah mandi keluar, meraih daster di lemari kemudian mengulurkan padanya. Dinda segera menerimanya. Segera ia memakainya lalu menyisir rambutny
POV Yana + DindaAku terus memikirkan perkataan Dinda tadi yang menyuruhku agar mendatangi Pak Rama ke ruangannya lalu meminta maaf padanya. Duh, kena-pa, juga, aku pakai acara tinju dia? Benar-benar. Tiap datang bulan, emosiku memang selalu gak terkontrol, selalu gak terkendali.Mungkin memang sebaiknya aku mengikuti saran Dinda. Lebih baik minta maaf daripada aku tidak mengikuti tiga mata kuliah sekaligus. Yang benar saja. Masa harus mengulang tiga mata kuliah pada semester pendek? Aku pasti akan merasa gak enak hati sama papanya Dinda yang udah biayain aku kuliah.Aku menyentuh layar HP lalu menekan nomer ayah. Aku berjalan keluar dari kantin sambil menelepon."Halo, Yah?" ucapku saat panggilan teleponku diangkat oleh Ayah."Ini ayah hampir tiba di kampusmu.""Yah," kataku. "Aku nanti ke warung naik angkot, Yah. Aku lupa ada tugas kuliah yang harus aku kerjain. Maaf ya, Yah," kataku merasa tak enak hati pada Ayah. Ayah pasti akan kaget jika sampai tahu kelakuanku pada dosenku sendi
POV Dinda"Kenapa dia?" tanya Mas Angga saat ia menatap layar HP-ku."Gak tau, nih. Tiba-tiba dia WA gini," ucapku sambil menatap layar HP. Aku mengetik,Kamu ada masalah apa, Yan?Besok aku ceritain, Din. Sekarang aku hanya bisa nangis. Balas YanaAku memandang Mas Angga. "Katanya mau ceritain besok, Mas."Mas Angga mengangguk, tangannya merangkul pundakku. "Iya, Mas baca juga." Dia menatap HP-ku. "Mungkin dia sedang tidak punya uang, Sayang.""Bisa jadi sih, Mas." Tapi rasanya gak mungkin kalau Yana begini karena tidak punya uang. Sahabatku itu walau hidup sederhana, namun ia rajin sekali menabung. Jadi gak ketang satu juta, dia pasti punya uang."Oh ya, Mas lupa. Mas pernah bilang padanya waktu itu pas awal menikah, jika dia mau membantu Mas dengan cara menginap di rumah dan menemui teman-teman Bunda, maka Mas akan memberinya uang. Dia langsung menolak. Tapi menurut Mas, tidak masalah jika Mas memberinya uang," kata Mas Angga. Aku mengangguk setuju."Besok, Mas titip uangnya ke kam
POV Dinda"Setau aku gak ada, Om.""Gak ada masalah kok Yana nangis terus ya, Din? Apa kamu bisa ke sini sebentar? Mungkin keberadaanmu bisa menghibur Yana."Aku memandang suamiku, dia mengangguk kecil."Iya, Om, ini aku mau jalan ke situ sama suamiku.""Iya, Din, Om tunggu.""Iya, Om." Lalu, aku mematikan sambungan."Gak papa nih, Mas, kalau kita ke rumah Yana dulu?" tanyaku sambil menggeser tubuh mendekat ke arahnya lalu tanganku melingkari pinggang suamiku. Mas Angga mengangguk kecil."Tidak papa, Sayang. Tapi dua jam saja di rumah Yana-nya, ya?" Dia menatapku sekilas."Iya, Mas. Aku bertanya-tanya Yana ada masalah apa, ya, sampai sebegitunya? Setahuku, di kampus dia gak punya musuh."Tatapan Mas Angga sedikit menyipit, seolah ia tengah mengingat sesuatu."Apa, Mas?" tanyaku. "Katamu, Yana sedang ada masalah dengan dosennya, kan?""Oh, iya. Tapi masa sebegitunya. Atau mungkin saja, Pak Rama gak mau maafin Yana, ya? Mungkin saja dia gak ijinkan Yana masuk ke mata kuliahnya.""Itu b
POV Dinda"Emp ...." Aku ragu-ragu. Kesannya gak sopan banget meminta Bunda membantu tapi aku gak punya pilihan. Aku gak ingin Yana berhenti kuliah karena kelakuan gak sopannya pada Pak Rama waktu itu. Walau sedang datang bulan sekalipun, kelakuan Yana emang gak bisa dibenarkan juga, sih. Bisa-bisanya dia tinju Pak Rama di depan teman-teman sekelas. Walau ninjunya gak di depan teman-teman sekelas juga namanya ya gak sopan."Ada apa, Din? Bilang saja sama Bunda." Bunda menatapku begitu ingin tahu."Bilang saja, Sayang. Yaa siapa tahu Bunda mau membantumu," kata Mas Angga, membuat Bunda berlama-lama menatapku begitu ingin tahu. Aku terus menoleh memperhatikan Bunda."Apa itu, Ga, coba katakan pada Bunda.""Jadi, Bun," ucapku dengan suara lirih. "Yana sedang ada masalah sama dosennya. Jadi, ceritanya begini." Lalu, aku menceritakan detail kejadiannya pada Bunda, Bunda sesekali tersenyum saat mendengar ceritaku. Di bagian aku bilang Yana gak sengaja cium Pak Rama, Bunda dan Mas Angga sama
POV DindaPapa dan Mama saling pandang. Mereka menatap ke arah anak-anak yang tampak begitu antusias lalu menatap Mas Angga yang terus saja menggaruk-garuk rambutnya. Kalau Mas Angga saja begitu menyikapi anak-anak alias gak bisa tegas, lalu bagaimana denganku yang hanya ibu sambung buat Ian dan Deri? Hmm, benar-benar, deh, Mas Angga, gak tegas banget. Aku tentu saja walau sangat keberatan Ian dan Deri ikut pergi bulan madu, namun aku tak mungkin menolak mengajak keduanya di depan Ayah dan Bunda. Gak enak tentu saja.Seolah mengerti dengan situasi yang tiba-tiba menjadi hening, Bunda segera mendekat ke arah Ian dan Deri lalu menggenggam tangan keduanya."Anak-anak, kita main ke Samber, yuk? Naik komedi putar, ho-reeee!" kata Bunda dengan wajah riang. Namun anak-anak langsung menggeleng secara bersamaan."Enggak, ah, Ian mau ikut Mama Dinda," sahut Ian. Si bungsu Deri mengangguk padaku. "Aku juga mau ikut Mama Dinda," kata Deri. Mata polosnya yang bening memandangku dengan penuh harap
"Eeeh, kok berantem la-giii. Udah, udah," kataku. Aku mengerucutkan bibir saat bertemu tatap dengan suamiku melalui spion dalam. Akhirnya, aku memilih duduk tegak dengan waspada jika ada yang mau memukul duluan, maka tangannya akan kupegang. Perlahan-lahan, Ian dan Deri mulai tertidur. Jadi ketika sampai di kapal harus dibangunkan berkali-kali barulah Ian mau membuka mata. Sementara Deri digendong oleh ayahnya. Aku dan Mas Angga menaiki tangga menunju ke atas, Mas Angga tentu saja dengan menggendong Deri di dadanya sementara aku menuntun Ian yang kepo banget, segala macam ditatap olehnya dan ditanyakan. Terkadang dia berhenti melangkah cukup lama hanya untuk menghitung banyaknya mobil di lantai bawah sementara aku dan dia di tangga menuju lantai atas, udah gitu ditungguin oleh orang-orang di belakang kami. Aku gedek banget, sumpah. Untung aku cinta beneran sama Mas Angga, jadi ya harus menyayangi anaknya juga dengan sepenuh hati.Drama gak berhenti sampai di sini saja rupanya. Begitu
POV Rama Ardiansyah"Assalamualaikum."Itu suara Bunda. Aku yang sedang santai di kamar setelah menidurkan Shelin beranjak bangun dengan cepat. Sejak pulang dari kampus, aku terus saja di kamar Shelin karena anak perempuanku ini minta dibacakan dongeng si Kancil."Assalamualaikum. Di. Ardi?" Suara Bunda kembali terdengar. Aku menyelimuti Shelin lalu melangkah keluar kamar."Waalaikum salam," sahut Bi Ina. Bi Ina adalah Baby sitter Shelin. Bi Ina tinggal di sini sementara Mbak Utari yang biasanya memasak dan membersikan rumah hanya bekerja setengah hari saja. Dia datang pukul 5 pagi dan pulang pukul 12 siang. Terkadang saat makan sore, aku membeli makan di luar untukku, Shelin juga Bi Ina. Tapi membeli di luar hal yang jarang karena aku hobi memasak."Ardi ada?" tanya Bunda pada Bi Ina."Ada," sahutku sambil keluar kamar. Aku mendekat ke arah Bunda lalu menyalaminya. Aku mencium punggung tangannya kemudian mengajaknya untuk duduk di sofa."Ini, Bunda bawakan kebab untuk Shelin," kata B