"Eh, Bang. Btw, adek lo yang cantik itu siapa namanya?" tanya Aldo. Laki-laki berambut gondrong langsung mengernyitkan dahinya. "Kenapa lo tanya-tanya nama adek gue?" tanyanya sembari memicingkan mata tajam. "He he. Ya kepo aja gue sama nama adek sohib gue sendiri. Emang salah? Mau gue gebet juga kan, udah nggak mungkin, udah punya suami." Laki-laki berambut gondrong terkekeh lagi. "Zulfa. Nama adek gue Zulfa," katanya begitu berhenti tertawa. Aldo manggut-manggut mendengarnya. "Zulfa ...," ulangnya seolah memproses nama itu agar terpatri kuat dalam ingatannya yang sebenarnya cukup sulit untuk mengingat-ingat nama perempuan. Buktinya, coba tanyakan saja nama-nama mantannya, sembilan puluh persen laki-laki itu tidak bisa mengingatnya---khas seorang Casanova. "Bagus, Bang, namanya," komentar Aldo setelah beberapa lama. "Emang lo tahu artinya apa?" Aldo langsung menatap sengit. "Ya tahu lah. Gini-gini, gue pernah mahir belajar bahasa Arab waktu masuk pesantren meski bertahan
- Flashback - "Eh, ciye .... Happy ending nih ceritanya. Syukur deh, pembacamu nggak akan ada yang kecewa kali ini." Pelita terhenyak. Arina, temannya yang membawa segelas thai tea di tangan kanannya mendatangi meja Pelita dan berceletuk tepat di samping telinga gadis itu sambil mencondongkan tubuh ke layar laptop Pelita, membaca beberapa kalimat terakhir yang ada di layar itu sebelum menarik sebuah kursi kayu yang ada di samping Pelita dan mendudukkan diri di sana. Pelita melirik temannya itu sekilas kemudian menghela napas lirih. Ia kembali fokus pada layar laptop lalu membubuhkan kata 'SELESAI' di bawah tulisan terakhirnya lantas menyimpan perubahan terakhir di dokumen word itu dan menutup aplikasi Microsoft Word-nya. Gadis itu baru saja mengeksekusi salah satu ceritanya. Jam di pergelangan tangan Pelita masih menunjukkan pukul 08.03 pagi. Sekali lagi Pelita menatap Arina yang kini sudah asyik memainkan ponsel sembari menyesap minumannya kemudian meraih cangkir teh miliknya s
"Satu. Dua. Tiga." Blitz kamera terus menimpa tubuh pribadi ramping yang sedang berpose di depan sana. Nur Walis Pelita. Siapa pun tahu, gadis muda yang bekerja sebagai model itu sangat cantik. Manik madunya, alis lebatnya, bulu mata yang lentik, bibir ranum berwarna merah muda, hidung mancung dengan tulang hidung tinggi, janggut lancip dan wajah memukau. Seperti tersihir, orang bisa menatapnya tanpa berkedip dalam jangka waktu lama. "Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga." Pelita terus mengganti posenya dengan blitz kamera yang tiada henti menyambar ke arahnya. Fotografer yang memotretnya tidak banyak menyuruhnya melakukan pose ini dan itu. Dengan profesional, Pelita bisa membawa dirinya sendiri. Bergaya sesuka hati yang mana posenya selalu memuaskan dan sesuai. Dug! "Udah dong, Bang! Jangan dilihatin terus!" Sebuah suara centil mengudara di samping seorang laki-laki tinggi dengan setelan kasual tak jauh dari Pelita melakukan pemotretan itu, June Aldrian Adams, sahabat kakak Peli
Menurut berbagai penelitian, mandi pada malam hari bukanlah hal yang baik untuk kesehatan. Pelita tahu itu. Namun, gadis itu tetap melakukannya setibanya di apartemen.Di kamus Pelita, pulang sore adalah sebuah berkah. Karena tuntutan pekerjaan Pelita lebih sering kembali ke apartemennya pada malam hari. Dan ia merasa tidak nyaman jika tidak mandi.Selesai mengeringkan rambut panjangnya yang basah sehabis keramas dengan hairdryer dan mengganti pakaiannya dengan setelan celana training dan sweater, Pelita turun ke lantai satu apartemennya dengan laptop di tangannya, berencana melakukan revisi dan editing salah satu naskahnya seperti yang diminta Cecilia sang editor.Ting tong!Pelita baru ingin bertolak ke dapur saat bel pintu apartemennya tiba-tiba berbunyi.Melirik jam dinding ruang tengah yang sudah menunjukkan pukul 10 malam, ia membatalkan niatnya pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh dan pergi ke depan untuk melihat siapa yang datang.Sembari melangkah, bibir tipisnya mengel
Drtt ... Drtt .... Aldo melirik ponselnya yang diletakkannya di meja kemudian menatap seorang gadis yang duduk di depannya. Sebuah pesan baru saja masuk ke dalam salah satu aplikasi perpesanannya. "Bentar ya. Aku tinggal keluar dulu sebentar. Kamu pesen-pesen makanan aja dulu," katanya sambil tersenyum manis lantas berdiri dari tempat duduknya dan keluar dari rumah makan yang berlokasi di dekat tepi jalan raya yang menjadi jalanan protokol Kota Bandung itu. "Hm. Iya." Gadis yang datang ke rumah makan bersama Aldo mengangguk sekilas lalu melihat tubuh tegap laki-laki itu yang melenggang keluar dari dalam rumah makan. Gadis itu terus memperhatikannya. Di depan rumah makan, ia bisa melihat Aldo yang menemui seseorang di dekat salah satu pilar teras melalui dinding depan rumah makan yang terbuat dari kaca transparan. Seorang laki-laki. Tampilannya cukup mencolok karena memakai pakaian serba hitam, mulai dari sepatu, celana, kaos dan hoodie hingga topi yang dikenakannya di atas kepal
Adhim baru selesai melakukan workout di apartemen yang ditinggalinya saat sebuah pesan masuk ke dalam ponsel canggih yang ia letakkan di atas salah satu meja sudut ruangan. Adhim melepas sarung tangan tinju yang baru ia gunakan untuk memukuli samsak tinju warna hitam yang menggantung di tengah ruang olahraga itu lantas menenggak air mineralnya setelah pergi mencari tempat duduk. Laki-laki berambut gondrong yang rambutnya kali ini tampak diikat menggunakan karet itu menyeka keringat yang ada di wajah, leher, dan lengannya dengan handuk kecil lalu meraih ponselnya dari meja dan menyalakannya. Sebuah pesan singkat datang dari saudara sepupunya, Shodiq Emir Bahauddin. Putra pakdenya yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya. Cak Shodiq: Gus Fatih hari ini stay di ndalem. Laki-laki itu menghela napasnya setelah membaca pesan itu. Tidak berniat membalasnya. Ndalem adalah sebutan lain untuk kediaman kiai, bu nyai beserta keluarganya di sebuah pondok pesantren. Dan yang disebut ole
"Kenapa, Bang? Tumben, pagi-pagi lo udah nyuruh anak-anak ngumpul di basecamp?" Aldo yang baru sampai dengan beberapa orang laki-laki di belakangnya menghampiri Adhim yang tampak duduk dengan tangan terlipat di atas sebuah peti kayu yang ada di sebuah ruangan mirip gudang yang luasnya hampir menyerupai lapangan sepak bola itu. Ada sebuah arena kick boxing di salah satu sudut ruangannya dengan berbagai peralatan latihan bela diri, perkakas bengkel, meja-kursi, juga barang-barang lain di tempat yang Aldo sebut basecamp itu. Adhim tidak langsung menjawab. Ia membiarkan Aldo mencari tempat duduk di meja-kursi yang ada di sekitarnya bersama pemuda-pemuda yang lain lalu mulai bersuara. "Gue mau balik ke Kediri," katanya yang langsung membuat Aldo dan pemuda-pemuda yang datang bersamanya saling menatap dengan tatapan bingung. "Maksud lo, Bang?" Aldo bertanya mewakili semuanya. Adhim tersenyum simpul. "Gue mau balik ke Kediri karena ada urusan di rumah. Dan sekarang, tujuan gue ngumpuli
Dua tahun yang lalu Tampilan sebuah layar plasma: Semua orang memiliki ketakutan terbesar masing-masing dalam hidupnya. Aku juga. Dan ketakutan terbesarku, adalah Mamaku. Bukan! Aku tidak benar-benar takut dengan Mama. Tapi aku merasa takut dengan kematiannya. Aku takut dengan apa yang menimpa Mama. Saat semua orang mengatakan Mama meninggal karena bunuh diri---bahkan Papa, laki-laki yang sangat dicintai Mama dan kepadanya Mama mengabdikan seluruh hidupnya, aku tidak mempercayainya. Aku tahu Mamaku. Dan Mamaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia adalah wanita paling baik yang pernah kutemui selama hidup. Mama yang cantik. Mama yang lemah lembut. Mama yang penuh kasih sayang. Mama yang penyabar. Mama yang perhatian. Mama adalah anugerah terbaik dari Tuhan yang pernah kupunya, juga terenggut dariku dengan begitu kejamnya. Hari itu usiaku masih tujuh belas tahun. Seorang siswi SMA. Hari di mana aku menemukan Mama sudah dalam kondisi tak bernyawa di kamarnya dengan tali ta