"Astaghfirullahalazim."
Shodiq hanya bisa mengucap istigfar setelah mendengar apa yang dialami oleh saudara sepupunya di kota perantauannya. Laki-laki seperempat baya itu masih tidak menyangka, hal seburuk itu bisa dialami oleh Adhim, keluarganya, orang terdekatnya. "Aku sudah mencemari nama baik Abah, Umi, dan keluarga besar kita, Cak. Aku sudah menghancurkan masa depan seorang perempuan. Aku seorang pendosa besar." Shodiq bisa melihat penyesalan dan keputusasaan tergurat sempurna dalam suara berat dan wajah murung Adhim. Sungguh, baru kali ini Shodiq melihat Adhim seterpuruk ini. Meski tidak mengalami, Shodiq bisa memahami seberat apa masalah yang tengah Adhim hadapi. "Aku akan mendoakan yang terbaik untuk sampean, Dhim. Aku juga akan membantu sampean merahasiakannya untuk sementara. Gusti Allah Maha Kuasa. Insyaallah akan ada hikmah yang besar dari kejadian ini. Allah sedang menegur kita, DhTempat dengan bau obat-obatan dan antiseptik yang khas itu tampak ingar bingar. Di salah satu bangku panjangnya, Arina mengetuk-ngetukkan sepatu sneakers warna putih yang ia kenakan dengan permukaan lantai tempat itu secara gusar berkali-kali. Kepalanya menoleh ke lorong masuk secara berkala dengan kedua netra yang menatap awas wajah setiap orang yang melintas di sana. Jantungnya berdetak kencang. Saat seseorang yang ditunggunya akhirnya datang, gadis berambut kecokelatan itu langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan cepat menghampiri laki-laki itu. "Arina, di mana Pelita?" tanya laki-laki itu dengan napas yang sedikit memburu. "Di dalam, Kak," jawab Arina. "Masih belum sadar dari tadi." Laki-laki yang tak lain adalah Aldo itu pun langsung menghela napas kasar. "Kak Adhim ... bagaimana, Kak?" tanya Arina kemudian setelah tercipta jeda. Aldo kembali menatapnya. "Bang Adhim d
Menikah. Di usianya yang sudah dua puluh tahun ini, Pelita tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Ia malah pernah berpikir bahwa dirinya tidak akan menikah untuk selamanya. Gadis itu berpikir, tidak masalah jika dirinya harus hidup sendiri di dunia. Apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya memberikan pandangan buruk pada Pelita soal keluarga dan pernikahan. Namun, setelah apa yang terjadi, dan dengan calon bayi yang sedang tumbuh di rahimnya saat ini, Pelita seolah dipaksa untuk memikirkan hal itu kembali. "Saya mohon menikahlah dengan saya," pinta Adhim yang masih duduk di sisinya, yang pada akhirnya membuat Pelita menatap laki-laki yang menjadi ayah biologis janin yang ada di kandungannya itu dengan wajah berurai air matanya setelah mengalihkan wajahnya sedari tadi. Pelita menghela napas. "Semua ini nggak mudah buat saya, Kak," sahutnya akhirnya mau bersuara meski pelan. "Kita nggak saling kenal,"
Srek srek srek ….Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom.“Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?” tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya.Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. “Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok,” jawabnya seperti gumaman. “Banyak yang lebih pantas dariku.”Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang j
Zulfa Zahra El-FazaSudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang.Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai—yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat—para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku.Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesant
Zulfa Zahra El-Faza“Neng? Neng?!”Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.“Iya?” kataku mengambil piring itu.“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan
Zulfa Zahra El-FazaLamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam peluk
Zulfa Zahra El-FazaPagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku mer
Assalamu'alaikum,Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu.Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu.Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama.Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku.Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya.Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam set