Menikah.
Di usianya yang sudah dua puluh tahun ini, Pelita tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Ia malah pernah berpikir bahwa dirinya tidak akan menikah untuk selamanya. Gadis itu berpikir, tidak masalah jika dirinya harus hidup sendiri di dunia. Apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya memberikan pandangan buruk pada Pelita soal keluarga dan pernikahan. Namun, setelah apa yang terjadi, dan dengan calon bayi yang sedang tumbuh di rahimnya saat ini, Pelita seolah dipaksa untuk memikirkan hal itu kembali. "Saya mohon menikahlah dengan saya," pinta Adhim yang masih duduk di sisinya, yang pada akhirnya membuat Pelita menatap laki-laki yang menjadi ayah biologis janin yang ada di kandungannya itu dengan wajah berurai air matanya setelah mengalihkan wajahnya sedari tadi. Pelita menghela napas. "Semua ini nggak mudah buat saya, Kak," sahutnya akhirnya mau bersuara meski pelan. "Kita nggak saling kenal,""Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Adhim terbatuk setelah Leon melepasnya dan berhenti memukulinya. Aldo dan Shodiq langsung menghampiri laki-laki berambut gondrong dengan tampilan urakan itu. "Bang, lo gapapa? Kenapa lo diem aja dihajar layak gitu?" tanya Aldo cemas. Adhim yang masih terbatuk mengangkat satu tangannya ke depan, "Gue nggak pa-pa, Do," katanya. "Uhuk!" Laki-laki itu terbatuk lagi. "Gue pantas menerimanya," lanjut Adhim yang langsung membuat Aldo merasa mencelus kian berdosa. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, singanya arena motor dan adu kekuatan yang ditakuti oleh semua geng motor seantero Kota Bandung karena ilmu bela dirinya pasrah dihajar seseorang karena kesalahan yang dirinya sebabkan. "Tapi ...." Aldo diam tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Maafin gue," katanya lirih tanpa suara. Adhim dan June saling berpandangan sebentar dengan June yang melempar tatapan yang sul
"Saya terima nikah dan kawinnya Nur Walis Pelita binti Herman Ludwig Wilhelm dengan mas kawin uang sepuluh juta, mukena, mushaf Al-Qur'an, dan buku seri Supernova tersebut." "Saksi, bagaimana? Sah?" "Sah." "SAH!" "Alhamdulillah rabbil 'alamin ...." Adhim langsung mengambil napasnya setelah dirinya dinyatakan sah menikahi Pelita. Laki-laki itu menahan napasnya tadi. Ia tidak langsung bernapas setelah mengucapkan qabul dalam satu tarikan napas hingga akad pernikahannya dinyatakan sah. Barusan, Leon yang menikahkannya dengan Shodiq dan Aldo yang menjadi saksi pernikahannya. Dalam ketentuan syariat, urutan wali adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, dan seterusnya. Namun Leon yang menjadi wali nikah Pelita karena Herman Ludwig Wilhelm yang berada jauh dari mereka. Selain itu, Papa Pelita itu diragukan apa keyakinannya saat ini, sebab terakhir ka
"Hoek hoek hoek." Morning sickness. Seperti biasa, pagi-pagi Pelita harus tunggang-langgang ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun kali ini ada yang berbeda. Sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya dari belakang lalu memberikan pijatan lembut di tengkuknya selama perempuan itu muntah. Pelita sempat terkejut. Namun, ia berhasil mengendalikan ekspresinya agar tidak diketahui oleh orang yang membantunya itu. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, suaminya, laki-laki yang pada malam hari sebelumnya telah menikahinya. "Apakah masih mual?" tanya Adhim penuh perhatian setelah Pelita membasuh wastafel dan mencuci mulutnya dengan air. "Saya nggak pa-pa," jawab Pelita dengan wajahnya yang masih menampakkan pucat yang kentara. "Biasanya juga begini kok," tambahnya sambil menatap Adhim. "Kalau begitu apa perlu kita tunda dulu kepulangan kita ke Bandung?" tanya Adhim. "Kamu juga baru pula
Srek srek srek ….Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom.“Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?” tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya.Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. “Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok,” jawabnya seperti gumaman. “Banyak yang lebih pantas dariku.”Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang j
Zulfa Zahra El-FazaSudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang.Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai—yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat—para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku.Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesant
Zulfa Zahra El-Faza“Neng? Neng?!”Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.“Iya?” kataku mengambil piring itu.“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan
Zulfa Zahra El-FazaLamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam peluk
Zulfa Zahra El-FazaPagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku mer